Kamis, 04 Desember 2014

Blitzkrieg ARB Jelang Munas Golkar

                        Blitzkrieg ARB Jelang Munas Golkar

Rusmin Effendy  ;   Wartawan Senior
MEDIA INDONESIA, 29 November 2014

                                                                                                                       


ESKALASI politik menjelang Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar sudah terbelah menjadi dua kubu yang samasama mengklaim akan melaksanakan munas. Para loyalis pendukung Aburizal Bakrie (ARB) memaksakan munas dipercepat pada 30 November, sedangkan kubu Agung Laksono (AL) membentuk Tim Penyelamatan Partai Golkar dan akan menggelar munas awal Januari 2015.

Sebagai partai politik tertua yang baru saja merayakan peringatan tahun emas 50 tahun, baru pertama kali dalam sejarah Golkar mengalami konflik terbuka dalam menghadapi munas. Bila konflik internal itu tidak dikelola secara profesional, bukan mustahil Golkar akan kembali melahirkan partai baru atau minimal terjadi dualisme kepemimpinan yang belakangan menjadi tren perpolitikan nasional seperti yang terjadi di PPP.

Dalam mencermati dinamika dan fenomena politik yang terjadi di Golkar ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Pertama, mencari solusi secara cerdas penyatuan kembali dua kubu yang bertikai, khususnya loyalis ARB dan pendukung AL, tentang persepsi penyelenggara munas. Kubu ARB berpegangan pada keputusan Rapimnas VII Golkar di Yogyakarta, sedangkan kubu AL berdasarkan keputusan rapat pleno 25 November yang berakhir dengan insiden di DPP Golkar.

Kedua, skenario percepatan munas yang semula dijadwalkan awal Januari 2015 kemudian dipercepat akhir November bukan saja bentuk inkonsistensi kubu ARB, melainkan juga membawa konsekuensi mengeliminasi para calon ketua umum yang akan bersaing di munas. Itulah yang disebut skenario blitzkrieg yang dilakukan ARB untuk memenangi pertarungan agar terpilih secara aklamasi, termasuk merekayasa dukungan DPD I dan II. Persoalannya, sejauh mana soliditas dukungan DPD I dan II ketika tak ada kandidat lain yang akan mengikuti Munas Bali?

Persoalan tersebut bukan saja krusial, melainkan juga dilema yang kini dihadapi Golkar yang berbeda dengan munas sebelumnya. Sejatinya, sesuai dengan ketentuan AD/ART, pelaksanaan Munas IX Golkar dilaksanakan pada 2015, tidak dipercepat seperti sekarang ini.

Hal itu sejalan dengan desakan munas yang dilakukan Ormas Trikarya (SOKSI, Kosgoro dan MKGR) untuk percepatan munas, tetapi DPP Golkar keukeuh mempertahankan keputusan Munas VIII Golkar di Pekanbaru bahwa munas baru akan dilaksanakan pada 2015, kemudian diperkuat melalui rapat pleno 13 November lalu. Bahkan dalam AD/ART, kepemimpinan ARB selalu mengacu ke konsiderans surat keputusan masa bakti 2009-2015. Termasuk semua penetapan peraturan organisasi, keputusan-keputusan Rapimnas I sampai VII, keputusankeputusan rapat pleno DPP dan peraturan-peraturan lainnya juga selalu mengacu ke konsiderans masa bakti 2009-2015.

Ada apa sebenarnya di balik upaya percepatan munas? Pelaksanaan Rapimnas VII di Yogyakarta sesungguhnya menjadi pintu masuk forum percepatan munas yang disuarakan secara aklamasi para DPD I.Kondisi itulah sebenarnya menimbulkan banyak keanehan dan kejanggalan yang dilakukan DPP Golkar sehingga bermuara melahirkan Tim Penyelamatan Partai Golkar yang dipimpin Agung Laksono.

Inkonsistensi

Inkonsistensi yang dilakukan DPP Golkar itu tentu saja menjadi sumber gerakan perlawanan dari kader partai, sekaligus memberikan kesan negatif terhadap pencitraan Golkar sendiri. Apalagi selama kepemimpinan ARB, kekuatan elektoral dan mesin politik Golkar tak mampu bekerja efektif memenangi pemilu legislatif (pileg) dan pilpres. Tiga kali pemilu sejak 2004, Golkar hanya mampu menempatkan dirinya sebagai juara bertahan runner-up, jauh di bawah target 20% suara. Yang lebih memprihatinkan pada saat pilpres lalu, Golkar tak mampu mendapatkan boarding pass mengusung kader sebagai capres/cawapres. Ironis.

Faktor lain yang turut mewarnai kegagalan ARB selama memimpin Golkar ialah lemahnya manajemen kepartaian baik di tingkat pusat sampai ke daerah, misalnya pergantian kepengurusan dan struktur DPP, pemecatan yang terjadi di daerah yang mengalami konflik internal tak mampu diselesaikan secara tuntas, termasuk program konsolidasi partai sampai ke akar rumput. Budaya politik Golkar yang berkembang belum sepenuhnya memberikan ruang perbedaan pendapat. Yang lebih memprihatinkan masih kuatnya faksionalisme yang terjadi di Golkar tidak saja menampilkan proses regenerasi yang selama ini berjalan lamban, tapi juga menimbulkan inefisiensi dan disfungsi partai yang tidak berkembang.

Akumulasi persoalan di internal partai itu yang sempat membuat perlawanan kelompok generasi muda Golkar menuntut perubahan dan mereformasi kepengurusan yang selama ini masih didominasi kalangan tua.Problem regenerasi kepengurusan itu sesungguhnya menjadi salah satu tantangan terbesar dalam mendobrak kultur politik Golkar di munas mendatang. Hal itu terlihat dengan keberanian kader-kader muda yang ingin berkompetisi dalam pencalonan ketua umum, meski hanya ada empat kandidat yang dianggap mumpuni, yakni Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Airlangga Hartarto.

Namun, dengan melihat kondisi menjelang munas yang dipercepat, rasanya kecil peluang kader-kader muda untuk bersaing, apalagi dengan majunya ARB sebagai ketua umum. Apalagi posisi DPD I secara mayoritas sudah terkooptasi dan mendapat gizi yang sehat kompak mendukung pencalonan kembali ARB.

Perpecahan

Sejatinya, munas kali ini harusnya lebih mengedepankan proses regenerasi yang selama ini berjalan lamban. Diakui atau tidak, regenerasi Golkar masih bersifat feodalistis karena kuatnya budaya patronclient relationship serta dominasi kader-kader tua yang berlindung di balik Golkar, termasuk bagi calon ketua umum yang ingin bertarung harus mendapatkan blessing dari orang-orang yang punya pengaruh (patron) untuk memimpin partai.

Pengalaman yang terjadi di Golkar dalam tiga kali munas bisa dianggap tradisi politik ala Golkar. Karena itu, bukan hal yang mustahil di Munas Golkar nanti ada penggiringan suara memenangkan ARB dengan cara-cara yang tidak sportif dan fair yang akan melahirkan resistensi politik baru.

Dengan demikian, sudah sewajarnya munas nanti mempersiapkan langkah-langkah strategis mewujudkan proses regenerasi partai di semua tingkatan, baik di pusat maupun daerah. Siapa pun yang menjadi ketua umum haruslah figur yang mampu menjadi perekat dari semua faksi yang ada serta figur yang aspiratif, progresif, dan solutif dalam menghadapi tantangan organisasi ke depan.

Paling tidak, momentum Munas Golkar benar-benar menjadi proses konsolidasi, regenerasi, revitalisasi partai dalam melahirkan kepemimpinan yang bisa diterima semua pihak. Jika tidak, itulah tanda-tanda awal kehancuran Golkar yang belum sepenuhnya mampu mempraktikkan demokrasi secara dewasa. Mudahan-mudahan munas kali ini bukanlah akhir masa keemasan Golkar sebagai partai tertua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar