WEF
di Davos dan Neoliberalisme
Djoko Susilo ; Duta Besar RI di Swiss
|
JAWA
POS, 23 Januari 2014
SETIAP tahun, pada akhir Januari, Davos, kota kecil di
Pegunungan Alpen, Switzerland, sibuk luar biasa. Puluhan ribu orang dari
berbagai penjuru dunia hadir untuk acara tiga hari: World Economic Forum annual meeting. Tahun ini WEF
diselenggarakan sejak 23 Januari sampai 25 Januari 2014. Dari Indonesia,
sejumlah menteri, pengusaha, pejabat BKPM, dan lain-lain orang penting juga
hadir
Sudah hampir empat tahun saya bertugas di Swiss dan, karena saya adalah duta besar RI, hampir setiap tahun saya juga ke Davos, umumnya untuk menghadiri "Indonesia Night", yakni sebuah acara promosi yang biasanya dilakukan dengan sponsor BKPM atau Kemendag. Meski sebagai duta besar, saya tidak ikut-ikutan menghadiri pertemuan WEF yang bagi banyak ekonom kritis dunia dijuluki sebagai "embahnya" kapitalisme dan liberalisme. Bahkan, saya dan teman-teman duta besar dari negara lain umumnya juga tidak bisa tinggal di hotel sekitar Davos karena tarifnya terlampau mahal. Memang, acara WEF ini hanya bisa dihadiri oleh orang superkaya, perusahaan besar, atau pejabat tinggi negara. Bayangkan, satu malam hotel, yang dalam hari-hari biasa bertarif sekitar USD 250, dalam masa WEF ini bisa jadi USD 3.000. Bahkan, kamar apartemen pun, yang normalnya sekitar USD 1.500 per bulan untuk dua kamar, harus kita sewa sampai USD 15.000 untuk satu minggu. Ongkos transpor dan makanan juga naik dari kondisi normal. Pendek kata, jika belum jadi orang superkaya seperti Bill Gates, Warren Buffet, atau minimal masuk daftar orang terkaya di tingkat nasional, sebaiknya mikir dua kali sebelum datang ke Davos. Davos saya kenal sebagai merek permen pelega tenggorokan sewaktu saya masih tinggal di kampung Boyolali. Namun, Davos yang saya kunjungi tiap tahun ini adalah kota kecil yang mendadak menjadi ramai karena banyaknya orang penting yang hadir. Perhelatan ini bukan kegiatan resmi negara Switzerland, tetapi hasil karya yayasan WEF yang digagas Prof Karl Schwabb, mantan guru besar di Universitas Geneva. Tidak jelas bagaimana mulanya, tetapi sekarang ini orang merasa bangga kalau diundang untuk hadir di WEF. Bagi saya, ini pintar-pintarnya Karl Schwabb merayu para tokoh itu agar hadir di forumnya sehingga WEF menjadi penting karena dihadiri orang-orang penting dari seluruh dunia. Dari pengamatan saya, WEF itu menjadi penting untuk ajang promosi dan networking. Karena itu, sekalipun berbiaya mahal, pemerintah Indonesia tiap tahun menyelenggarakan acara Indonesian Night. Namun, materi diskusi atau ceramahnya sering tidak membumi dengan persoalan dunia. Betapapun WEF bukan forum WTO atau PBB, para pentolan pendukung liberalisasi perdagangan dunia selalu hadir dalam pertemuan WEF. Karena itu, penjagaan menuju Davos sangat ketat, khususnya untuk kendaraan nondiplomatik. Hampir setiap tahun, ketika acara WEF, selalu ada gerakan demonstrasi para penentang liberalisasi ekonomi. Bahkan, beberapa tahun lalu, mereka menyerang dan merusak kedai McDonalds di Davos yang dianggap sebagai lambang kapitalisme dunia. Akibatnya, sampai sekarang, tidak ada restoran fast food di Davos. Bahkan, di seluruh Swiss jumlahnya sangat terbatas. Warga Swiss lebih suka makan makanan sehat, tidak terbujuk iklan kedai cepat saji ala Amerika. Dalam berbagai pertemuan WEF, arah diskusi secara umum ditujukan untuk perbaikan ekonomi dunia. Tetapi, ibarat dokter, resep WEF ini mengambil prinsip kalangan neoliberal, antara lain perdagangan bebas, privatisasi perusahaan negara, small government, dan kurangi subsidi. Resep ini memang manjur untuk memakmurkan negara-negara kaya, tetapi belum tentu cocok bagi negara-negara berkembang. Ha joon-chang, ekonom Cambridge University kelahiran Korea Selatan, menulis bahwa semua resep itu merupakan racun dan sesat pikir yang membahayakan. Dari studinya, negara-negara yang sekarang ini merupakan kampiun liberalisasi perdagangan di masa lalu terkenal proteksionis dan anti-perdagangan yang fair. Mereka memaksakan prinsipnya ini karena sudah telanjur diuntungkan dengan sistem yang ada. Contoh yang jelas, Inggris pernah menyerang Tiongkok dalam Perang Candu karena tidak mampu berdagang secara fair. Awalnya, karena tergila-gila dengan teh Tiongkok, rakyat Inggris mengimpor banyak teh dari Tiongkok. Akibatnya, neraca pembayaran Inggris mengalami defisit, sedangkan saat itu tidak ada komoditas Inggris yang layak dijual ke pasar Tiongkok. Akhirnya, mereka menemukan candu yang ditanam di daerah jajahannya di India dan diekspor ke Tiongkok. Padahal, candu merupakan barang haram di Tiongkok. Tentu, Inggris marah. Penolakan perdagangan candu ini yang jadi alasan Inggris menyerang Tiongkok. Bayangkan kalau saat ini ada negara yang berani mengekspor heroin secara resmi ke Amerika atau Eropa? Nenek moyang kita di kepulauan nusantara pun sudah mengalami kejamnya perdagangan yang tidak fair dengan Eropa, baik dengan bangsa Portugis maupun Belanda. Pada abad XVII di Kepulauan Maluku dikenal pelayaran Hongi, yakni pelayaran patroli kapal kumpeni VOC yang akan menebang atau membakar perkebunan pala dan cengkih milik rakyat yang ditanam tanpa izin kompeni. Mereka juga merampas rempah-rempah rakyat agar hanya dijual ke VOC. Pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan VOC melanjutkan kebijaksanaan kejam dan eksploitatif ini dalam bentuk politik "Tanam Paksa". Saking kejamnya politik tanam paksa ini, seorang asisten residen atau camat Lebak di Banten, Eduard Douwes Dekker yang memakai nama samaran Multatuli, terinspirasi untuk menulis novel Max Havelaar. Novel ini menceriterakan sistem tanam paksa yang menyengsarakan rakyat. Novel ini menginspirasi gerakan fair trade Max Havelaar yang sangat berpengaruh di Eropa. Novel ini jadi bacaan wajib anak-anak SMP/SMA di Belanda. Bahkan, sewaktu ada pameran bisnis yang diselenggarakan Kedubes Belanda di Bern beberapa waktu lalu, novel Max Havelaar juga dipamerkan dan dengan mengutip pendapat Pramoedya Ananta Toer disebut sebagai "novel yang mengubah dunia". Sayang, Kemendiknas tidak menjadikan novel tersebut sebagai bacaan wajib para pelajar kita. Bahkan, di zaman Orde Baru, film Saijah dan Adinda yang diangkat dari novel Max Havelaar dilarang beredar. Memang, kalau kita mau berkaca dari sejarah, sebaiknya kita tidak ikut arus sesat pikir ekonom liberal. Kita harus berpijak pada kepentingan nasional. Stop ekspor bahan mentah baik mineral atau tambang. Sangat benar pernyataan Dahlan Iskan belum lama ini yang mengingatkan ingin melarang ekspor batu bara selama 100 tahun. Juga mestinya pemerintah tidak ragu-ragu melarang ekspor bahan mentah barang tambang sepert diamanatkan UU Minerba 2009. Selain mengamankan bahan mentah, Indonesia harus meningkatkan produksi secara efisien. Berikan subsidi untuk sektor yang produktif dan kurangi impor barang konsumtif. Tidak masuk akal kita mengekspor batu bara ke Tiongkok dan India yang cadangan batu baranya lebih besar daripada Indonesia. Dulu kita bangga sebagai negara pengekspor minyak, tetapi sekarang setiap bulan kita menghabiskan devisa sekitar USD 3,5 milliar untuk membeli minyak dan gas. Jangan lupa bahwa selain memiliki minyak, Indonesia juga kaya akan gas. Sayang sekali gas kita pun dijual teramat murah ke Tiongkok untuk waktu 25 tahun atau lebih. Masyarakat pun sudah lupa dengan pemerintah yang memutuskan menjual aset-aset negara dengan sangat murah tersebut. Majalah Foreign Affairs terbaru Januari 2014 memuat artikel yang membandingkan Indonesia dengan Filipina. Keduanya disebut sebagai negara ASEAN yang mampu lepas dari krisis ekonomi dunia 2008 dengan baik, tetapi nanti Filipina akan jauh lebih baik karena Presiden Benigno Aquino III berani mengambil langkah rasional. Di satu posisi memberikan proteksi dalam negeri, tetapi di lain pihak merealokasi subsidi secara lebih tepat sasaran. Dalam musim kampanye, baik pileg atau pilpres, sekarang ini, kita tanyakan komitmen para caleg atau capres kita. Sayangnya, kita tidak punya banyak pilihan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar