Pemilu
Berlalu, Ekonomi Melaju
Arif Afandi ; Presiden Direktur Wira Jatim Group
|
JAWA
POS, 23 Januari 2014
PEMILU legislatif tinggal hitungan bulan. Demikian pula pemilu presiden.
Akankah gawe besar politik itu berpengaruh terhadap dinamika ekonomi nasional
kita? Akankah pesta demokrasi lima tahunan tersebut memperlambat pertumbuhan
perekonomian Indonesia?
Saya yakin tidak. Perekonomian nasional akan berlaku seperti biasanya, as usual. Kalaupun ada perlambatan, itu bukan karena ada gawe politik. Juga bukan karena kelak ada pergantian partai penguasa maupun presiden baru. Bukan karena variabel politik, melainkan variabel ekonomi lainnya. Pemilu legislatif maupun presiden tahun ini baru akan berdampak negatif pada laju ekonomi kalau peristiwa politik tersebut menimbulkan kerusuhan massa. Menghasilkan chaos politik. Dan menimbulkan ketidakpastian pada proses peralihan kekuasaan di negeri ini. Namun, berdasar pengalaman politik sejak reformasi, kemungkinan buruk tersebut amat kecil. Pertanyaannya, mengapa gawe politik besar itu tidak akan berpengaruh terhadap dinamika ekonomi bangsa? Mengapa pemilu dua kali pada tahun ini tetap tidak mengubah optimisme para pebisnis untuk melaju dan berpacu seperti tahun-tahun biasanya? Mengapa tidak ada lagi sikap melihat dan menunggu, wait and see, seperti pemilu masa lalu? Pertama, demokratisasi sejak jatuhnya rezim Soeharto ternyata betul-betul menjadikan kegiatan bisnis terpisah dari politik. Dinamika ekonomi kebal terhadap dinamika politik. Ibaratnya: politik menggonggong, bisnis tetap berlalu. Keterbukaan yang berlangsung sejak reformasi memperkecil kemungkinan elite merekayasa massa untuk bertindak anarkistis. Semua isu politik semakin transparan. Semua orang bisa mengakses dan terakses informasi politik. Mereka makin cerdas dalam melihat setiap manuver aktor politik. Ditambah teknologi komunikasi yang makin merata, rakyat pemilih memiliki lebih banyak ruang untuk memilih. Mobilisasi massa menjadi tidak segampang dalam sistem yang tertutup. Apalagi langkah penegakan hukum menunjukkan arah yang makin berarti. Penguasa tidak lagi bisa semena-mena. Tidak gampang mengintervensi lembaga hukum. Karena itu, dinamika chaos hukum makin hari makin bisa dihindarkan. Semua itu memperkuat kematangan politik bangsa ini. Pemilu yang demokratis sejak 1999 menjadikan menang dan kalah dalam berpolitik sebagai hal biasa. Bukan sesuatu yang istimewa dan harus diperjuangkan dengan pertaruhan hidup dan mati. Rakyat makin pintar untuk tidak menjadi korban permainan segelintir elite politik. Kedua, pebisnis sekarang berbeda dengan pebisnis masa Orde Baru. Dulu sebagian besar pebisnis nasional besar karena fasilitas yang diberi pemerintah. Sebagian besar adalah kroni penguasa. Dengan demikian, gejolak di pemerintahan akan langsung berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi bisnis. Patronase pebisnis kepada penguasa sangat kuat. Pelakunya juga sangat sedikit dengan penguasaan ekonomi yang besar. Sejak reformasi politik berlangsung, pelan tapi pasti pusat-pusat penguasaan ekonomi bisnis makin menyebar. Apalagi kemudian diikuti desentralisasi pemerintahan yang berarti pula penyebaran uang ke daerah. Keterbukaan politik secara tidak langsung membuka akses ekonomi pula. Itulah yang kemudian menimbulkan makin banyaknya pelaku bisnis. Keterbukaan politik dan penegakan hukum pemerintahan mengakibatkan peluang untuk tumbuhnya pebisnis fasilitas makin berkurang. Persaingan bisnis makin terbuka. Karena itu, sukses tidaknya pebisnis tidak ditentukan sejauh mana mereka dekat dengan pemerintah atau penguasa, tapi seberapa keras mereka bekerja. Menyebarnya pusat-pusat kekuasaan dan transparansi pemerintahan memperkecil peluang pebisnis yang hanya mengandalkan kroniisme. Pemberantasan korupsi yang tegas dan berkesinambungan ikut mendorong lahirnya pebisnis-pebisnis golongan putih. Yakni, pebisnis yang memang besar berdasar kerja keras dan menjaga etika berbisnis. Apalagi kontribusi anggaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi makin lama makin kecil. Secara nasional, Gross National Product (GNP) Indonesia 2013 mencapai Rp 684.950 triliun. Sementara itu, belanja pemerintah dalam APBN kita hanya Rp 1.657 triliun. Komposisi tersebut jelas menunjukkan bahwa kontribusi belanja pemerintah terhadap GNP kita sangat kecil. Mengecilnya kontribusi belanja pemerintah terhadap GNP itu akan terus berlangsung. Ketiga, semakin besarnya kelas menengah baru Indonesia membuat kegiatan bisnis di negeri kita makin menggeliat. Menurut data Bank Mandiri, jumlah kelas menengah kita dengan penghasilan lebih dari Rp 5 juta per bulan telah mencapai 140 juta jiwa. Itu adalah pasar yang sangat besar. Itu paralel dengan pendapatan per kapita kita yang sudah lebih dari USD 4 ribu. Biasanya, ketika sudah menembus angka psikologis pendapatan per kapita USD 3 ribu, untuk tumbuh menjadi USD 6 ribu maupun USD 9 ribu, bisa makin cepat lagi. Untuk menangkap pasar yang sangat besar tersebut, pebisnis tidak boleh berhenti. Mereka harus terus bergerak, bekerja keras, dan memeras otak untuk memenangi persaingan dalam berebut pasar. Dalam situasi demikian, para pelaku bisnis tidak akan mau disibukkan dengan urusan politik. Pasar yang terus tumbuh itu juga menambah optimisme baru untuk terus mengembangkan bisnis. Tiga hal yang saya sebut itu memperkuat keyakinan bahwa tahun politik ini tidak banyak berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi kita. Para pebisnis akan berteriak: Biarlah para politikus menggonggong, bisnis akan terus melaju. Bahkan, mereka akan semakin berteriak girang jika partai pemenang maupun presiden terpilih kelak bersikap business friendly. Mereka akan dengan lantang berteriak: Merdeka untuk Indonesia! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar