Wacana
Penghapusan Pekerja Alih Daya
Muhammad Shodiq ; Human Capital Development Sampoerna Financial
Group
|
KOMPAS,
03 Januari 2014
DEMO buruh 31 Oktober-1 November
2013 mengusung tiga tuntutan besar.
Pertama, menaikkan upah minimum
provinsi 50 persen. Kedua, penghapusan sistem kerja alih
daya (outsourcing). Ketiga, pelaksanaan jaminan kesehatan secara
langsung tanpa tahapan.
Tulisan ini hanya akan membahas
perihal usulan penghapusan sistem alih daya. Apakah hal ini dimungkinkan
untuk dihapuskan? Apakah permasalahannya serta bagaimana solusinya?
Kontroversial alih daya
Konsep sistem alih daya pertama
kali diperkenalkan pada tahun 1990 oleh CK Prahalad dan Gary Hamel melalui
sebuah artikel berjudul ”The Core Competences of the
Corporations”. Disebutkan bahwa dalam persaingan bisnis global saat ini,
agar bisa bertahan hidup serta sukses dalam jangka panjang setiap perusahaan
harus memiliki keunggulan kompetitif dalam menjalankan bisnisnya. Di
antaranya dengan cara penerapan konsep pekerja alih daya.
Secara sederhana, alih daya
artinya menyerahkan pekerjaan yang bukan pekerjaan pokok perusahaan tersebut
kepada pihak di luar perusahaan. Diharapkan perusahaan hanya fokus pada pekerjaan
pokoknya sehingga dapat mengurangi biaya perusahaan secara keseluruhan.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Pasal 64 disebutkan, ”Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”. Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain, antara lain dalam Pasal 2 disebutkan, ”Penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain dapat dilakukan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh”.
Butir-butir ketentuan inilah yang dijadikan landasan legalitas bagi perusahaan
di Indonesia dalam menerapkan sistem alih daya.
Pelaksanaan sistem alih daya
menuai kontroversi dikarenakan kurang berperannya sistem kontrol pihak
Kemenakertrans dalam pelaksanaan amanat UU dan peraturan menteri di atas.
Tuntutan buruh bahwa sistem alih daya harus dihapuskan jelas bukan merupakan
solusi yang tepat. Hal ini mengingat sistem alih daya merupakan sebuah
keniscayaan yang dibutuhkan agar perusahaan tetap dapat beroperasi secara
efisien dan menguntungkan, yang pada akhirnya juga menguntungkan semua pihak,
termasuk buruh, pemerintah, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Namun, apakah pelaksanaan sistem
alih daya yang dijalankan perusahaan telah mengikuti ketentuan yang berlaku,
sebagaimana yang disampaikan para demonstran buruh tersebut, harus dilakukan
klarifikasi dan dilakukan pengecekan oleh instansi ketenagakerjaan, baik di
tingkat kabupaten/kota maupun provinsi, bahkan di pusat.
Ada dua hal pokok
yang berpotensi menjadi penyebab masalah sistem alih daya ini. Pertama,
perihal definisi kegiatan utama dan kegiatan penunjang perusahaan. Kedua,
perihal konsistensi pemberian perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja alih daya.
Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003
Pasal 65 bahwa kegiatan yang dapat dikerjakan secara alih daya antara lain
adalah bukan kegiatan utama, bukan kegiatan penunjang perusahaan. Pasal ini
merupakan pasal karet yang dapat dijadikan justifikasi oleh perusahaan dalam
mendefinisikan kegiatan utama dan kegiatan penunjang. Sepanjang perusahaan
dapat menjelaskan bisnis modelnya perihal definisi kegiatan perusahaan, maka
perusahaan telah mengikuti UU dan Permenakertrans tersebut.
Namun pertanyaannya adalah siapa
yang berhak menghakimi bahwa definisi sebuah perusahaan A telah sesuai dan
perusahaan B belum sesuai? Hal ini adalah yang paling sulit karena ini
adalah judgment masing-masing perusahaan. Berdasarkan Pasal 4
Permenakertrans No 19 Tahun 2012, masalah alur proses serta definisi kegiatan
perusahaan tersebut diserahkan kepada asosiasi industri masing-masing.
Pertanyaan berikutnya adalah
apakah Kemenakertrans telah mendapatkan alur proses dan definisi dari setiap
asosiasi serta telah melakukan pengontrolan di lapangan? Aspek ini juga
merupakan hal yang harus dijelaskan kepada publik oleh pihak Kemenakertrans.
Konsistensi perlindungan
Sepanjang perusahaan telah
memberikan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja sesuai undang-undang,
maka tidak ada alasan untuk menuntut penghapusan sistem alih daya. Namun jika
yang terjadi adalah sebaliknya, yang harus dituntut juga bukan sistemnya
melainkan konsistensi pelaksanaannya.
Dengan hal ini telah jelas bahwa
semua pihak memiliki kontribusi atas terjadinya kontroversial ini. Oleh
karena itu, semua pihak hendaknya dapat berdiskusi dengan akal pikiran yang
jernih dan melakukan introspeksi bukan untuk saling menyalahkan, melainkan
untuk menyelesaikan PR masing-masing.
Pihak buruh hendaknya bekerja
secara produktif dan dapat menyampaikan aspirasi secara argumentatif disertai
data dan fakta secara spesifik dan tak terjebak dengan generalisasi.
Pengusaha hendaknya menjalankan bisnis dengan etika dan memperhatikan hak dan
kewajiban karyawan sesuai amanat UU. Pemerintah hendaknya menjalankan amanah
UU secara konsisten dengan melakukan fungsi pengontrolan dan pengawasan
secara adil.
Semoga kita semua dapat bekerja
sama membangun bangsa Indonesia menuju bangsa yang makmur dan sejahtera.
Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar