Mendongkrak
Indeks Persepsi Korupsi
Dedi Haryadi ; Deputi Sekjen Transparansi Internasional
Indonesia
|
KOMPAS,
03 Januari 2014
SKOR Indeks Persepsi Korupsi
Indonesia dalam dua tahun terakhir (2012-2013) stagnan pada angka 32 dari
skala 0 sampai 100. Artinya, perbaikan peringkat
Indonesia dari urutan 118 ke 114 dari 176 negara yang disurvei bukan
disebabkan membaiknya kinerja dan prestasi pencegahan dan pemberantasan
korupsi. Itu lebih karena korupsi empat negara memburuk. Dengan skor Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) 32, hampir pasti target pemerintah meraih skor
IPK 50 pada 2014 tak mungkin tercapai. Dalam dokumen Strategi
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK), pemerintah sudah
mengadopsi IPK sebagai tolok ukur pencapaian pencegahan dan pemberantasan
korupsi.
Pesan utama
Pesan utama yang kita tangkap,
pertama, kita tak bisa mengandalkan upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi hanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain karena besar
dan kompleksnya problem korupsi, kewenangan, jumlah penyidik, dan anggaran
KPK amat terbatas. Dalam dua tahun terakhir gegap gempita pencegahan dan
pemberantasan korupsi yang dimotori KPK tak mampu mendongkrak skor IPK.
Kedua, pendekatan dan solusi
yang dikembangkan simplistik dan partikularistik, padahal problem
korupsi kompleks dan sistemik. Apa yang harus kita lakukan untuk
mendongkrak skor IPK? Kecenderungan dan risiko koruptif bukan
hanya problem perilaku individual, melainkan terkait dengan kerangka
organisasi dan sistem. Kalau korupsi terjadi, dapat dipastikan ada problem
dalam kualitas dan integritas personal, kerangka organisasi, dan
sistem. Jadi, upaya mencegah dan memberantas korupsi harus menyangkut perbaikan
kualitas personal, kerangka organisasi, dan sistem.
Pertama, pada tingkat personal,
upaya mentransformasikan manusia Indonesia menjadi lebih jujur, tidak
serakah, lebih bertanggung jawab, berdisiplin tinggi, berempati tinggi pada
peningkatan kesejahteraan bersama, dan patuh pada aturan sangat
penting. Pelembagaan nilai itu melalui berbagai macam pendidikan dan
pelatihan harus terus dikembangkan. Jangan menyerah dan berhenti berupaya
menghasilkan manusia Indonesia yang jujur dan baik meskipun korupsi endemik
di mana-mana.
Kedua, memperbaiki kerangka
organisasi, baik organisasi pemerintahan, partai politik, peradilan,
organisasi kemasyarakatan, militer, maupun korporasi. Ada tiga isu penting
terkait dengan memperbaiki kerangka organisasi: (1) memastikan mekanisme checks
and balances bekerja dengan baik; ( 2) mekanisme sistem
koreksi diri berfungsi baik; dan (3) baik dan ajeknya tata kelola
internal organisasi.
Kalau terjadi korupsi dalam satu organisasi, seperti di
Kementerian Pertanian, SKK Migas, atau Kepolisian, dapat dipastikan ada yang
tak beres dengan salah satu, dua, atau ketiganya.
Ketiga, pada tingkat sistem kita
harus memiliki lima pranata sosial antikorupsi yang ajek: pergantian
pemerintah secara tertib dan teratur, institusi peradilan yang bebas dan
mandiri, partai politik oposisi yang kuat, institusi media yang bebas dan
independen, serta gerakan sosial antikorupsi yang kuat.
Syukur kita sudah memiliki
mekanisme pergantian pemerintahan secara tertib dan teratur. Yang masih
perlu dilakukan pada aspek ini: memperbaiki perekrut- an politisi
dan pemilihan pejabat publik/negara sehingga terpilih politisi dan pejabat
unggul ulung berbiaya rendah. Praktik perekrutan yang dilakukan partai
sekarang berbiaya tinggi, maka tekanan melakukan korupsi cenderung tinggi.
Itulah yang memunculkan gejala korupsi politik.
Terpilihnya Jokowi dan Ahok,
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI, yang fenomenal merupakan
contoh baik pemilihan pejabat publik/negara. Perlu ditiru dan direplikasi.
Tantangan terbesar kita justru di
sini: membangun institusi peradilan yang bebas dan mandiri. Kecuali
KPK, kita belum punya institusi peradilan yang bebas dan mandiri. Para
penegak hukum justru terlibat dalam perilaku koruptif. Sudah banyak jaksa,
polisi, hakim, plus advokat yang tersangkut kasus korupsi. Alih-alih bebas
dan mandiri, institusi peradilan terjebak dalam judicial corruption. Bagaimana bisa memberantas
korupsi kalau aparat dan institusi penegak hukum justru terlibat korupsi.
Kapolri dan jaksa agung
Menjadikan kepolisian, kejaksaan,
dan pengadilan dari pusat hingga daerah bebas dan mandiri merupakan
agenda utama. Presiden hasil Pemilu 2014 harus memilih kapolri dan jaksa
agung yang kepemimpinan, profesionalisme, dan komitmennya pada pemberantasan
korupsi meyakinkan publik. Tak mungkin kita menggantungkan pencegahan dan
pemberantasan korupsi hanya kepada KPK.
Kita belum punya partai oposisi
yang kuat. Kecenderungan perilaku partai di pusat maupun di daerah: membangun
koalisi ketimbang oposisi. Penting menjadi bagian dari orbit kekuasaan untuk
memperkuat akses dan penguasaan sumber daya. Partai oposisi yang kuat sangat
penting memastikan terjadinya relasi kekuasaan yang lebih seimbang. Juga
memastikan mekanisme checks and
balances bekerja baik.
Partai oposisi yang kuat akan
mampu memproduksi kontra-argumen dan antitesis terhadap kebijakan dan
tata kelola yang dikembangkan pemerintah yang berkuasa. Kontrol politik
yang kuat dari partai oposisi akan mampu mengendalikan perilaku pemerintah
yang berkuasa melaksanakan amanah dan pengelolaan sumber daya. Korupsi
potensial bisa dikendalikan.
Dikuasainya sejumlah media cetak,
elektronik, dan virtual oleh pengusaha sekaligus penguasa partai tak perlu
mencemaskan. Pertama, ada persaingan yang ketat di antara para baron media
tersebut sehingga ”fakta” atau informasi itu selalu ada subversinya.
Kedua, masih ada media yang mengabdi dan mempromosikan kebenaran dan
keadilan. Ketiga, masyarakat sudah pandai bukan hanya memilah dan memilih
informasi, melainkan juga menafsir ulang, bahkan mereproduksi setiap
informasi yang disajikan media.
Kita belum punya gerakan sosial
antikorupsi yang kuat. Dari segi nilai, masyarakat kita bukannya kreatif
dan aktif memberikan sanksi sosial, melainkan justru proaktif memberikan
kekebalan sosial kepada para koruptor. Itu sebabnya, fatwa tentang boikot
terhadap mayat koruptor untuk tak dishalatkan, misalnya, tak mendapat
sambutan positif masyarakat.
Kalau semua elemen bangsa serius
dan terencana mentransformasikan bangsa ini jadi bangsa yang bebas dari
korupsi, mencapai skor IPK 60 atau 70 dalam satu-dua dekade nanti
tidaklah mustahil. Menyamai Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Swedia,
Norwegia, dan Singapura sebagai negara tebersih dari korupsi adalah mungkin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar