Minggu, 05 Januari 2014

Mendongkrak Indeks Persepsi Korupsi

                      Mendongkrak Indeks Persepsi Korupsi

Dedi Haryadi  ;   Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
KOMPAS,  03 Januari 2014
                                                                                                                        


SKOR Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dalam dua tahun terakhir (2012-2013) stagnan pada angka 32 dari skala 0 sampai 100. Artinya, perbaikan peringkat Indonesia dari urutan 118 ke 114  dari 176 negara yang disurvei bukan disebabkan membaiknya kinerja dan prestasi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Itu lebih karena korupsi empat negara memburuk. Dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 32,  hampir pasti target pemerintah meraih skor IPK 50 pada 2014 tak mungkin tercapai.   Dalam dokumen Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi  (PPK), pemerintah sudah mengadopsi IPK sebagai tolok ukur pencapaian pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Pesan utama

Pesan utama yang kita tangkap, pertama, kita tak bisa mengandalkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain karena besar dan kompleksnya problem korupsi, kewenangan, jumlah penyidik, dan anggaran KPK amat terbatas. Dalam dua tahun terakhir gegap gempita pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dimotori KPK  tak mampu mendongkrak skor IPK.

Kedua, pendekatan dan solusi yang dikembangkan simplistik dan partikularistik, padahal  problem korupsi  kompleks dan sistemik. Apa yang harus kita lakukan untuk mendongkrak skor IPK?  Kecenderungan dan risiko koruptif  bukan hanya problem perilaku individual, melainkan terkait dengan kerangka organisasi dan sistem. Kalau korupsi terjadi, dapat dipastikan ada problem dalam kualitas dan integritas  personal, kerangka organisasi, dan sistem. Jadi, upaya mencegah dan memberantas korupsi harus menyangkut perbaikan kualitas personal, kerangka organisasi, dan sistem.

Pertama, pada tingkat personal, upaya mentransformasikan manusia Indonesia menjadi lebih jujur, tidak serakah, lebih bertanggung jawab, berdisiplin tinggi, berempati tinggi pada peningkatan kesejahteraan bersama,  dan patuh pada aturan sangat penting. Pelembagaan nilai itu melalui berbagai macam pendidikan dan pelatihan harus terus dikembangkan. Jangan menyerah dan berhenti berupaya menghasilkan manusia Indonesia yang jujur dan baik meskipun korupsi endemik di mana-mana.

Kedua, memperbaiki kerangka organisasi, baik organisasi pemerintahan, partai politik, peradilan, organisasi kemasyarakatan, militer, maupun korporasi. Ada tiga isu penting terkait dengan memperbaiki kerangka  organisasi: (1) memastikan mekanisme checks and balances bekerja dengan baik; ( 2)  mekanisme sistem koreksi diri berfungsi baik; dan (3) baik dan ajeknya  tata kelola internal organisasi. 

Kalau terjadi korupsi dalam satu organisasi, seperti di Kementerian Pertanian, SKK Migas, atau Kepolisian, dapat dipastikan ada yang tak beres dengan salah satu, dua,  atau ketiganya.

Ketiga, pada tingkat sistem kita harus memiliki lima pranata sosial antikorupsi  yang ajek: pergantian pemerintah secara tertib dan teratur, institusi peradilan yang bebas dan mandiri, partai politik oposisi yang kuat, institusi media yang bebas dan independen, serta gerakan sosial antikorupsi yang kuat.

Syukur kita sudah memiliki mekanisme pergantian pemerintahan secara tertib dan teratur. Yang masih  perlu dilakukan pada aspek ini: memperbaiki perekrut- an  politisi dan pemilihan pejabat publik/negara sehingga terpilih politisi dan pejabat unggul ulung berbiaya rendah. Praktik perekrutan yang dilakukan partai sekarang berbiaya tinggi, maka tekanan melakukan korupsi cenderung tinggi. Itulah yang memunculkan gejala korupsi politik.

Terpilihnya Jokowi dan Ahok, Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI, yang  fenomenal merupakan contoh baik pemilihan pejabat publik/negara. Perlu ditiru dan direplikasi.

Tantangan terbesar kita justru di sini:  membangun institusi peradilan yang bebas dan mandiri. Kecuali KPK, kita belum punya institusi peradilan yang bebas dan mandiri. Para penegak hukum justru terlibat dalam perilaku koruptif. Sudah banyak jaksa, polisi, hakim, plus advokat yang tersangkut kasus korupsi. Alih-alih bebas dan mandiri, institusi peradilan terjebak dalam judicial corruption.  Bagaimana bisa memberantas korupsi kalau aparat dan institusi penegak hukum justru terlibat korupsi.

Kapolri dan jaksa agung

Menjadikan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dari pusat hingga daerah  bebas dan mandiri merupakan agenda utama. Presiden hasil Pemilu 2014 harus memilih kapolri dan jaksa agung yang kepemimpinan, profesionalisme, dan komitmennya pada pemberantasan korupsi meyakinkan publik. Tak mungkin kita menggantungkan pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya kepada KPK.

Kita belum punya partai oposisi yang kuat. Kecenderungan perilaku partai di pusat maupun di daerah: membangun koalisi ketimbang oposisi. Penting menjadi bagian dari orbit kekuasaan untuk memperkuat akses dan penguasaan sumber daya. Partai oposisi yang kuat sangat penting memastikan terjadinya relasi kekuasaan yang lebih seimbang. Juga memastikan mekanisme checks and balances bekerja baik.

Partai oposisi yang kuat akan mampu memproduksi kontra-argumen dan antitesis terhadap kebijakan dan  tata kelola yang dikembangkan pemerintah yang berkuasa. Kontrol politik yang kuat dari partai oposisi akan mampu mengendalikan perilaku pemerintah yang berkuasa melaksanakan amanah dan pengelolaan sumber daya. Korupsi potensial bisa dikendalikan. 

Dikuasainya sejumlah media cetak, elektronik, dan virtual oleh pengusaha sekaligus penguasa partai tak perlu mencemaskan. Pertama, ada persaingan yang ketat di antara para baron media tersebut sehingga ”fakta”  atau informasi itu selalu ada subversinya. Kedua, masih ada media yang mengabdi dan mempromosikan kebenaran dan keadilan. Ketiga, masyarakat sudah pandai bukan hanya memilah dan memilih informasi, melainkan juga menafsir ulang, bahkan mereproduksi  setiap informasi yang disajikan media.

Kita belum punya gerakan sosial antikorupsi yang kuat. Dari segi nilai, masyarakat kita bukannya kreatif dan aktif memberikan sanksi sosial, melainkan justru proaktif memberikan kekebalan sosial kepada para koruptor. Itu sebabnya, fatwa tentang boikot terhadap mayat koruptor untuk tak dishalatkan, misalnya,  tak mendapat sambutan positif masyarakat.

Kalau semua elemen bangsa serius dan terencana mentransformasikan bangsa ini jadi bangsa yang bebas dari korupsi, mencapai skor IPK  60 atau 70 dalam satu-dua dekade nanti tidaklah mustahil. Menyamai Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Swedia, Norwegia, dan Singapura sebagai negara tebersih dari korupsi adalah mungkin.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar