UU
Desa dan Pelarian Modal
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Januari 2014
DI akhir 2013, pemerintah dan DPR
memberi kado istimewa buat warga desa: UU Desa. Lewat produk hukum baru itu,
desa bisa berdiri otonom, sama dengan provinsi, kabupaten atau kota, dalam
menentukan arah pembangunan. Dengan otonomi itu desa bisa membangun otonomi
berbasis ‘otonomi asli desa’ yang berbasis nilai dan identitas lokal. Desa
tidak lagi objek, tapi subjek yang memiliki wewenang penuh, baik politik
maupun ekonomi. Tak ada lagi penyeragaman model desa ‘Jawa’, tak ada lagi
kooptasi perencanaan, penganggaran pembangunan dan redistribusi sumber daya. Pendek
kata, tidak ada lagi model ‘pembangunan di desa’ yang sekadar objek, tapi
‘desa membangun’ yang menjadi subjek.
Secara ekonomi, UU Desa juga
memuat kewajiban penting terkait dengan penganggaran. Pasal 72 UU Desa
menyebut, dana alokasi desa berasal dari APBN diambil sebesar 10% dari dana
on top (dana dari dan untuk transfer daerah). Dalam APBN 2014 dana transfer
daerah mencapai Rp590,2 triliun. Jadi alokasi anggaran desa Rp59,02 triliun.
Sebanyak 72 ribu desa akan
menerima aliran dana Rp0,7 miliar-Rp1,4 miliar, tergantung jumlah penduduk,
angka kemiskinan, kesulitan geografi s, dan luas wilayah.
Harus diakui, derap pembangunan
selama ini menempatkan desa di pinggir, bahkan jauh di belakang, baik dalam
perencanaan maupun penganggaran. Desa hanya jadi objek, terutama objek
eksploitasi. Terjadilah pelarian modal dari desa. Pertanyaannya, akankah UU
Desa bisa mengakhiri pelarian modal dari desa?
Selama beberapa dekade, derap
pembangunan perdesaan lewat introduksi teknologi bernama revolusi hijau pada
1970-an tidak membuat masyarakat menjadi sejahtera. Kesejahteraan semakin
jauh, petani dan warga desa makin tak berdaya, dan kearifan lokal tergerus.
Ujung dari semua ini, nilai tambah usaha tani terkuras keluar dari desa,
keluar dari sektor pertanian. Ironisnya, pelarian modal dari desa dari tahun
ke tahun semakin deras.
Ibarat pedang bermata dua, di satu
sisi revolusi hijau membawa Indonesia mencapai swasembada beras 1984. Ini
menjadi tonggak keberhasilan pembangunan ekonomi umumnya dan pertanian
khususnya. Bersamaan dengan itu, tingkat kemiskinan menurun. Di sisi lain,
introduksi revolusi hijau membuat sistem usaha tani tanaman pangan sangat
tergantung pada faktor produksi dari luar ekonomi perdesaan. Industri pupuk
dan pestisida tumbuh pesat. Petani sebagai inovator dan pribadi yang mandiri
berubah jadi pelaksana program. Petani menjadi sangat pasif, kearifan lokal
dan modal sosial menjadi pudar. Nilai tambah usaha tani semakin besar keluar
dari ekonomi pedesaan untuk membayar faktor produksi dan jasa.
Pada 1983, pengeluaran usaha tani
padi sawah untuk membayar pupuk kimia, pestisida, sewa mesin pertanian
(traktor) dan ongkos transpor mencapai 25% atau sekitar 7,5% nilai produksi.
Pada 1998, berdasarkan data BPS, pengeluaran ini naik jadi 46% dari total
biaya atau 12% dari nilai produksi. Seiring makin rendahnya nilai tukar hasil
pertanian, porsi pengeluaran usaha tani ini diperkirakan semakin besar. Modal
dari desa mengalir kian deras keluar desa. Pengurasan itu berlangsung sampai
kini tanpa ada usaha membendungnya.
Pelarian modal juga terjadi dari
tabungan warga. Sebagian warga desa yang berhasil `menjadi kaya' menyimpan
dana mereka di bank. Oleh bank, dana tersebut bukan dipakai untuk
memberdayakan ekonomi rakyat agar keluar dari kubangan kemiskinan. Sebagai
agen pembangunan, bank tidak tertarik menyalurkan kredit mereka ke petani
atau usaha kecil-menengah. Menurut kalkulasi almarhum Mubyarto dalam pelbagai
penelitian di daerah, hanya 25% tabungan warga desa yang mengalir ke desa.
Sisanya mengalir deras ke kota.
Yang tragis adalah pelarian modal
sumber daya manusia. Ingin nasibnya berubah, petani menyekolahkan anaknya
hingga jenjang perguruan tinggi. Biaya yang besar bersumber dari hasil usaha
tani. Namun, petani dan anak-anaknya terpasung praanggapan yang salah kaprah
bahwa budaya tani harus dimodernkan. Dari segi pendidikan, anak-anak petani
dididik untuk cita-cita di luar pertanian, yakni menjadi salah satu faktor
produksi bagi industri yang tak berbasis pertanian. Ilmu mereka muspro.
Ditambah kebijakan politik-ekonomi yang memarginalisasi pertanian membuat
sektor ini seolah-olah tidak menjanjikan masa depan. Akhirnya, sektor ini
identik dengan guram, udik, miskin, dan tidak menarik tenaga terdidik.
Uraian di atas menunjuk pada dua
hal: selama puluhan tahun desa tersubordinasi, baik secara ekonomi maupun
politik. Prakarsa, inovasi, dan kemandirian terpasung. Sumber daya (ekonomi
dan SDM) terkuras. Karena itu, serta-merta berharap ada perubahan besar di
desa sepertinya kurang masuk akal. Belajar lebih satu dekade otonomi daerah,
jangan-jangan otonomi desa hanya bernasib sama: menciptakan oligarki atau
raja-raja kecil di desa disertai desentralisasi korupsi. Dengan cengkeraman
ideologi neoliberal yang merasuk hingga ke desa, otonomi desa bakal jadi
ajang akumulasi kapital para pebisnis dan komprador. Jangan-jangan elite desa
terjebak penyakit rabun yang sama dengan elite kabupaten/kota: cenderung
berorientasi pembangunan fisik (jembatan, gapura, jalan raya dan gedung-gedung).
Jika ini yang terjadi, pelarian modal (uang dan sumber daya manusia) dari
desa akan tetap langgeng.
Pelarian modal dari desa bisa
dikurangi, bahkan mungkin dicegah, apabila para elite desa tak tergoda
orientasi fisik, tapi pemberdayaan. Untuk memutus ketergantungan akut dari
input luar misalnya, petani harus diberdayakan bisa memproduksi sarana
produksi sendiri, mulai bibit, pupuk, pestisida hingga rakitan teknologi.
Secara teknis hal ini mestinya tidak terlalu sulit karena pelbagai temuan
sudah ada. Berikutnya, otonomi desa akan sulit membendung pelarian sumber
daya manusia apabila tidak tercipta peluang usaha dan kerja di desa. Peluang
usaha dan kerja di desa akan menekan pengangguran dan kemiskinan. Ini hanya
bisa dilakukan bila ada perubahan strategi industrialisasi dan pembangunan
nasional.
Untuk menghapus kemiskinan di
perdesaan harus dilakukan pembangunan perdesaan. Terkait dengan ini, tidak
ada pembangunan perdesaan tanpa pembangunan pertanian. Oleh karena itu, usaha
menciptakan peluang kerja tidak akan berhasil tanpa upaya sistematis
membenahi kebijakan dan keberpihakan pada sektor pertanian dan industri
pengolahan yang memiliki kaitan erat dengan sektor pertanian. Dari sisi
petani tanah, modal, pengetahuan dan teknologi, serta akses pasar jadi kebutuhan
primer. Tidak cukup hanya redistribusi tanah.
Arah pembangunan juga
harus dibalik: dari sektor nontradable (sektor keuangan, jasa, real estat,
transportasi, dan komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran) yang
bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable
(pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan
berbasis lokal.
Pasalnya, orientasi pembangunan semacam itu telah menciptakan
kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan.
Orientasi ini harus dihentikan. Melihat luasnya cakupan dan dimensi yang
harus ditangani, prasyarat ini tak bisa diselesaikan sendiri oleh desa.
Justru peran pemerintah pusat amat menentukan berhasil tidaknya pelarian
modal desa dibendung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar