Selasa, 07 Januari 2014

UU Desa dan Pelarian Modal

                                    UU Desa dan Pelarian Modal

Khudori  ;   Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
MEDIA INDONESIA,  02 Januari 2014
                                                                                                                       


DI akhir 2013, pemerintah dan DPR memberi kado istimewa buat warga desa: UU Desa. Lewat produk hukum baru itu, desa bisa berdiri otonom, sama dengan provinsi, kabupaten atau kota, dalam menentukan arah pembangunan. Dengan otonomi itu desa bisa membangun otonomi berbasis ‘otonomi asli desa’ yang berbasis nilai dan identitas lokal. Desa tidak lagi objek, tapi subjek yang memiliki wewenang penuh, baik politik maupun ekonomi. Tak ada lagi penyeragaman model desa ‘Jawa’, tak ada lagi kooptasi perencanaan, penganggaran pembangunan dan redistribusi sumber daya. Pendek kata, tidak ada lagi model ‘pembangunan di desa’ yang sekadar objek, tapi ‘desa membangun’ yang menjadi subjek.

Secara ekonomi, UU Desa juga memuat kewajiban penting terkait dengan penganggaran. Pasal 72 UU Desa menyebut, dana alokasi desa berasal dari APBN diambil sebesar 10% dari dana on top (dana dari dan untuk transfer daerah). Dalam APBN 2014 dana transfer daerah mencapai Rp590,2 triliun. Jadi alokasi anggaran desa Rp59,02 triliun.

Sebanyak 72 ribu desa akan menerima aliran dana Rp0,7 miliar-Rp1,4 miliar, tergantung jumlah penduduk, angka kemiskinan, kesulitan geografi s, dan luas wilayah.

Harus diakui, derap pembangunan selama ini menempatkan desa di pinggir, bahkan jauh di belakang, baik dalam perencanaan maupun penganggaran. Desa hanya jadi objek, terutama objek eksploitasi. Terjadilah pelarian modal dari desa. Pertanyaannya, akankah UU Desa bisa mengakhiri pelarian modal dari desa?

Selama beberapa dekade, derap pembangunan perdesaan lewat introduksi teknologi bernama revolusi hijau pada 1970-an tidak membuat masyarakat menjadi sejahtera. Kesejahteraan semakin jauh, petani dan warga desa makin tak berdaya, dan kearifan lokal tergerus. Ujung dari semua ini, nilai tambah usaha tani terkuras keluar dari desa, keluar dari sektor pertanian. Ironisnya, pelarian modal dari desa dari tahun ke tahun semakin deras.

Ibarat pedang bermata dua, di satu sisi revolusi hijau membawa Indonesia mencapai swasembada beras 1984. Ini menjadi tonggak keberhasilan pembangunan ekonomi umumnya dan pertanian khususnya. Bersamaan dengan itu, tingkat kemiskinan menurun. Di sisi lain, introduksi revolusi hijau membuat sistem usaha tani tanaman pangan sangat tergantung pada faktor produksi dari luar ekonomi perdesaan. Industri pupuk dan pestisida tumbuh pesat. Petani sebagai inovator dan pribadi yang mandiri berubah jadi pelaksana program. Petani menjadi sangat pasif, kearifan lokal dan modal sosial menjadi pudar. Nilai tambah usaha tani semakin besar keluar dari ekonomi pedesaan untuk membayar faktor produksi dan jasa.

Pada 1983, pengeluaran usaha tani padi sawah untuk membayar pupuk kimia, pestisida, sewa mesin pertanian (traktor) dan ongkos transpor mencapai 25% atau sekitar 7,5% nilai produksi. Pada 1998, berdasarkan data BPS, pengeluaran ini naik jadi 46% dari total biaya atau 12% dari nilai produksi. Seiring makin rendahnya nilai tukar hasil pertanian, porsi pengeluaran usaha tani ini diperkirakan semakin besar. Modal dari desa mengalir kian deras keluar desa. Pengurasan itu berlangsung sampai kini tanpa ada usaha membendungnya.

Pelarian modal juga terjadi dari tabungan warga. Sebagian warga desa yang berhasil `menjadi kaya' menyimpan dana mereka di bank. Oleh bank, dana tersebut bukan dipakai untuk memberdayakan ekonomi rakyat agar keluar dari kubangan kemiskinan. Sebagai agen pembangunan, bank tidak tertarik menyalurkan kredit mereka ke petani atau usaha kecil-menengah. Menurut kalkulasi almarhum Mubyarto dalam pelbagai penelitian di daerah, hanya 25% tabungan warga desa yang mengalir ke desa. Sisanya mengalir deras ke kota.

Yang tragis adalah pelarian modal sumber daya manusia. Ingin nasibnya berubah, petani menyekolahkan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Biaya yang besar bersumber dari hasil usaha tani. Namun, petani dan anak-anaknya terpasung praanggapan yang salah kaprah bahwa budaya tani harus dimodernkan. Dari segi pendidikan, anak-anak petani dididik untuk cita-cita di luar pertanian, yakni menjadi salah satu faktor produksi bagi industri yang tak berbasis pertanian. Ilmu mereka muspro. Ditambah kebijakan politik-ekonomi yang memarginalisasi pertanian membuat sektor ini seolah-olah tidak menjanjikan masa depan. Akhirnya, sektor ini identik dengan guram, udik, miskin, dan tidak menarik tenaga terdidik.

Uraian di atas menunjuk pada dua hal: selama puluhan tahun desa tersubordinasi, baik secara ekonomi maupun politik. Prakarsa, inovasi, dan kemandirian terpasung. Sumber daya (ekonomi dan SDM) terkuras. Karena itu, serta-merta berharap ada perubahan besar di desa sepertinya kurang masuk akal. Belajar lebih satu dekade otonomi daerah, jangan-jangan otonomi desa hanya bernasib sama: menciptakan oligarki atau raja-raja kecil di desa disertai desentralisasi korupsi. Dengan cengkeraman ideologi neoliberal yang merasuk hingga ke desa, otonomi desa bakal jadi ajang akumulasi kapital para pebisnis dan komprador. Jangan-jangan elite desa terjebak penyakit rabun yang sama dengan elite kabupaten/kota: cenderung berorientasi pembangunan fisik (jembatan, gapura, jalan raya dan gedung-gedung). Jika ini yang terjadi, pelarian modal (uang dan sumber daya manusia) dari desa akan tetap langgeng.

Pelarian modal dari desa bisa dikurangi, bahkan mungkin dicegah, apabila para elite desa tak tergoda orientasi fisik, tapi pemberdayaan. Untuk memutus ketergantungan akut dari input luar misalnya, petani harus diberdayakan bisa memproduksi sarana produksi sendiri, mulai bibit, pupuk, pestisida hingga rakitan teknologi. Secara teknis hal ini mestinya tidak terlalu sulit karena pelbagai temuan sudah ada. Berikutnya, otonomi desa akan sulit membendung pelarian sumber daya manusia apabila tidak tercipta peluang usaha dan kerja di desa. Peluang usaha dan kerja di desa akan menekan pengangguran dan kemiskinan. Ini hanya bisa dilakukan bila ada perubahan strategi industrialisasi dan pembangunan nasional.

Untuk menghapus kemiskinan di perdesaan harus dilakukan pembangunan perdesaan. Terkait dengan ini, tidak ada pembangunan perdesaan tanpa pembangunan pertanian. Oleh karena itu, usaha menciptakan peluang kerja tidak akan berhasil tanpa upaya sistematis membenahi kebijakan dan keberpihakan pada sektor pertanian dan industri pengolahan yang memiliki kaitan erat dengan sektor pertanian. Dari sisi petani tanah, modal, pengetahuan dan teknologi, serta akses pasar jadi kebutuhan primer. Tidak cukup hanya redistribusi tanah.

Arah pembangunan juga harus dibalik: dari sektor nontradable (sektor keuangan, jasa, real estat, transportasi, dan komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal. 

Pasalnya, orientasi pembangunan semacam itu telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan. Orientasi ini harus dihentikan. Melihat luasnya cakupan dan dimensi yang harus ditangani, prasyarat ini tak bisa diselesaikan sendiri oleh desa. Justru peran pemerintah pusat amat menentukan berhasil tidaknya pelarian modal desa dibendung. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar