Menggugat Hedonisme,
Menegakkan Moralitas
Muhammadun ; Analis Studi Politik, Tinggal di
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Januari 2014
TAHUN baru selama ini
masih dipahami sebatas pesta. Tidak sedikit yang justru menghamburkan diri
dengan kemewahan sehingga terjebak dalam sikap hedonisme. Bagi kaum elite,
2014 menjadi tahun sibuk menyusun strategi untuk Pemilu 2014. Sangat
berbahaya kalau beberapa kementerian akan semakin malas, karena sibuk
menyandera kementerian mereka untuk kepentingan partai. Praktis, kaum elite
pada 2014 ini terjebak dalam pragmatisme kepentingan sesaat untuk Pemilu
2014.
Kondisi demikian
memang memprihatinkan. Arus hedonisme kaum elite merupakan wujud runtuhnya
moralitas politik pejabat. Di tengah kondisi rakyat yang masih didera beragam
kesulitan, budaya hedonis jelas mencederai rakyat. Sungguh sakit hati rakyat
ketika pejabat yang sejatinya adalah ‘buruh rakyat’ justru menikmati kekayaan
rakyat. Inilah tragedi politik yang makin menjauhkan rakyat dengan partai
politik. Ini juga yang membuktikan bahwa kepentingan rakyat sama sekali tak
pernah ketemu dengan kepentingan partai politik sehingga yang dilakukan elite
politik selalu paradoks dengan yang terjadi dalam diri rakyat.
Kalau kita kilas
balik, diskursus moral dalam panggung politik dewasa ini tidak bisa
dilepaskan dari akar-akarnya di masa pra dan pascapencerahan di Barat. Ian
Shapiro (2006) menjelaskan secara gamblang berbagai ideologi politik masa
pencerahan yang berkembang di Barat. Shapiro melihat ada empat gerakan
ideologis yang paling signifi kan dalam membedah fenomena politik di Barat,
yakni utilitarian, tradisi Marxis, tradisi kontrak sosial, dan demokrasi.
Tiga tradisi pertama dinilai gagal oleh sejarah, dan demokrasi menjadi
pemenangnya sampai detik ini. demokrasi menjadi pemenangnya sampai detik ini.
Gagasan kaum
utilitarian absurd dan gagal menjawab problem kontemporer. Para utilitarian
menjawab pertanyaan dengan satu varian klaim bahwa legitimasi pemerintah
tergantung pada kesediaan dan kapasitasnya untuk memaksimalkan kebahagiaan. Tokoh
utama gerakan ini adalah Jeremy Bentham (1748-1832), dalam karyanya berjudul Introduction to the Principles of Morals
and Legislation (1789) yang menjadi diktum utama dan rujukan primer kaum
utilitarian.
Sementara itu, tradisi
Marxis adalah gagasan eksploitasi sebagai tolok ukur untuk menilai legitimasi
sebagai tolok ukur untuk menilai legitimasi politik. Institusi politik tidak
memiliki legitimasi ketika mereka mendukung eksploitasi dan memperolehnya
ketika mendukung kebalikannya, yakni kebebasan manusia. Dari sudut pandang
kaum Marxis, setiap sistem politik dalam sejarah mendukung sejumlah sistem
eksploitasi, tetapi sosialisme dan komunisme dianggap menawarkan kemungkinan
adanya dunia yang bebas eksploitasi. Tradisi ketiga, tradisi kontrak sosial,
menawarkan argumen tradisi kontrak sosial, menawarkan argumen argumennya
berdasarkan pada Leviathan (1651) karya Thomas Hobbes dan Second Treatise on Government (1980an)
karya John Locke.
Bagi para penggagas
teori kontrak sosial, legitimasi negara berakar pada gagasan tentang
kesepakatan. Kita harus memberikan dukungan bagi negara kalau itu
mencerminkan kesepakatan kita dan kita bebas (dan dalam beberapa rumusan
bahkan diwajibkan) untuk menolaknya kalau tidak sesuai kesepakatan.
Gagasan tradisi kontraktarian pada 1960-an mengalami kebangkitan ditangan
John Rawl lewat karya monumentalnya A Theory of Justise (1999). Kontraktarian
bagi Rawl harus didasarkan pada aspek keadilan. Kesepakatan yang tidak
berdasarkan, dalam bentuk apa pun, harus ditolak. Walaupun demikian, tradisi
kontraktarian dinilai masih absurd, karena berbagai pendapat belum menemukan
titik temu tentang apa dan bagaimana kontrak dijalankan.
Untuk itu, tradisi
demokrasi merupakan tradisi agung yang paling representatif di era
kontemporer. Para demokrat bisa berbeda pendapat dalam banyak hal tentang
bagai mana pemerintah dan oposisi dapat diatur, siapa yang berhak memi lih,
bagaimana suara mereka dapat dihitung. Namun, kaum demokrat mempunyai satu komitmen
yang sama terhadap prosedur demokratis sebagai sumber legitimasi politik
paling ideal.
Demokrasi dibangun
berdasarkan nilai-nilai rasional yang dalam perjalanan sejarahnya hingga
dewasa ini selalu membuka pencerahan demi pencerahan di berbagai negara
belahan dunia. Walaupun masih ada ketimpangan, tradisi demo krasi dinilai
paling akomodatif terhadap berbagai pendapat sehingga gerakan pencerahan
berupa masyarakat demokratis selalu disambut meriah dan antusias. Di sinilah
demokrasi mendapatkan tempat sebagai gerakan politik yang mengedepankan
pencerahan di masyarakat.
Gerakan pencerahan
berupa demokrasi dalam sejarahnya di Barat juga mendapatkan perlawanan yang
serius. Filsuf besar yang menentang pencerahan adalah Edmund Burke (1729-1797
dari Irlandia (h 162). Burke yang merupakan pengikut Kristen Katolik sangat
bertentangan dengan gagasan ideal kekaryaan dan egaliterisme yang dilontarkan
Locke. Burke menilai doktrin tersebut sangat aneh ditengah semua bukti alam dan
sejarah.
Terlebih, gagasan
bahwa manusia dapat menciptakan dunia sosial dari fabrikasi semata merupakan
kesombongan berbahaya yang mencapai puncaknya dalam peristiwa paling
traumatis dalam hidupnya: revolusi Prancis. Burke juga mengkritik ilmu
pengetahuan yang melandasi pencerahan, khususnya dari cogito-nya Descartes.
Sebagai sosok konservatif tradisional, eksistensi Burke sebenarnya sangat
penting untuk menjaga legitimasi pencerahan menuju proses penyempurnaan.
Ketika pencerahan
dianggap sebagai final, di situlah sebenarnya pencerahan sedang menuju proses
pembusukan. Demikian juga dalam berdemokrasi. Karena itu, gerakan
antikemapanan sangat krusial sehingga politik 2014 bukanlah medan untuk
menemukan kemapanan dan kepentingan sesaat. Politik 2014 adalah medan
membangun kreasi kesejahteraan masyarakat tanpa henti. Kemuliaan pejabat dan
elite politik terletak pada terselenggaranya kesejahteraan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar