Selasa, 07 Januari 2014

Menggugat Hedonisme, Menegakkan Moralitas

          Menggugat Hedonisme, Menegakkan Moralitas

Muhammadun  ;   Analis Studi Politik, Tinggal di Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  02 Januari 2014
                                                                                                                        


TAHUN baru selama ini masih dipahami sebatas pesta. Tidak sedikit yang justru menghamburkan diri dengan kemewahan sehingga terjebak dalam sikap hedonisme. Bagi kaum elite, 2014 menjadi tahun sibuk menyusun strategi untuk Pemilu 2014. Sangat berbahaya kalau beberapa kementerian akan semakin malas, karena sibuk menyandera kementerian mereka untuk kepentingan partai. Praktis, kaum elite pada 2014 ini terjebak dalam pragmatisme kepentingan sesaat untuk Pemilu 2014.

Kondisi demikian memang memprihatinkan. Arus hedonisme kaum elite merupakan wujud runtuhnya moralitas politik pejabat. Di tengah kondisi rakyat yang masih didera beragam kesulitan, budaya hedonis jelas mencederai rakyat. Sungguh sakit hati rakyat ketika pejabat yang sejatinya adalah ‘buruh rakyat’ justru menikmati kekayaan rakyat. Inilah tragedi politik yang makin menjauhkan rakyat dengan partai politik. Ini juga yang membuktikan bahwa kepentingan rakyat sama sekali tak pernah ketemu dengan kepentingan partai politik sehingga yang dilakukan elite politik selalu paradoks dengan yang terjadi dalam diri rakyat.

Kalau kita kilas balik, diskursus moral dalam panggung politik dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari akar-akarnya di masa pra dan pascapencerahan di Barat. Ian Shapiro (2006) menjelaskan secara gamblang berbagai ideologi politik masa pencerahan yang berkembang di Barat. Shapiro melihat ada empat gerakan ideologis yang paling signifi kan dalam membedah fenomena politik di Barat, yakni utilitarian, tradisi Marxis, tradisi kontrak sosial, dan demokrasi. Tiga tradisi pertama dinilai gagal oleh sejarah, dan demokrasi menjadi pemenangnya sampai detik ini. demokrasi menjadi pemenangnya sampai detik ini.

Gagasan kaum utilitarian absurd dan gagal menjawab problem kontemporer. Para utilitarian menjawab pertanyaan dengan satu varian klaim bahwa legitimasi pemerintah tergantung pada kesediaan dan kapasitasnya untuk memaksimalkan kebahagiaan. Tokoh utama gerakan ini adalah Jeremy Bentham (1748-1832), dalam karyanya berjudul Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789) yang menjadi diktum utama dan rujukan primer kaum utilitarian.

Sementara itu, tradisi Marxis adalah gagasan eksploitasi sebagai tolok ukur untuk menilai legitimasi sebagai tolok ukur untuk menilai legitimasi politik. Institusi politik tidak memiliki legitimasi ketika mereka mendukung eksploitasi dan memperolehnya ketika mendukung kebalikannya, yakni kebebasan manusia. Dari sudut pandang kaum Marxis, setiap sistem politik dalam sejarah mendukung sejumlah sistem eksploitasi, tetapi sosialisme dan komunisme dianggap menawarkan kemungkinan adanya dunia yang bebas eksploitasi. Tradisi ketiga, tradisi kontrak sosial, menawarkan argumen tradisi kontrak sosial, menawarkan argumen argumennya berdasarkan pada Leviathan (1651) karya Thomas Hobbes dan Second Treatise on Government (1980an) karya John Locke.

Bagi para penggagas teori kontrak sosial, legitimasi negara berakar pada gagasan tentang kesepakatan. Kita harus memberikan dukungan bagi negara kalau itu mencerminkan kesepakatan kita dan kita bebas (dan dalam beberapa rumusan bahkan diwajibkan) untuk menolaknya kalau tidak sesuai kesepakatan.

Gagasan tradisi kontraktarian pada 1960-an mengalami kebangkitan ditangan John Rawl lewat karya monumentalnya A Theory of Justise (1999). Kontraktarian bagi Rawl harus didasarkan pada aspek keadilan. Kesepakatan yang tidak berdasarkan, dalam bentuk apa pun, harus ditolak. Walaupun demikian, tradisi kontraktarian dinilai masih absurd, karena berbagai pendapat belum menemukan titik temu tentang apa dan bagaimana kontrak dijalankan.

Untuk itu, tradisi demokrasi merupakan tradisi agung yang paling representatif di era kontemporer. Para demokrat bisa berbeda pendapat dalam banyak hal tentang bagai mana pemerintah dan oposisi dapat diatur, siapa yang berhak memi lih, bagaimana suara mereka dapat dihitung. Namun, kaum demokrat mempunyai satu komitmen yang sama terhadap prosedur demokratis sebagai sumber legitimasi politik paling ideal.

Demokrasi dibangun berdasarkan nilai-nilai rasional yang dalam perjalanan sejarahnya hingga dewasa ini selalu membuka pencerahan demi pencerahan di berbagai negara belahan dunia. Walaupun masih ada ketimpangan, tradisi demo krasi dinilai paling akomodatif terhadap berbagai pendapat sehingga gerakan pencerahan berupa masyarakat demokratis selalu disambut meriah dan antusias. Di sinilah demokrasi mendapatkan tempat sebagai gerakan politik yang mengedepankan pencerahan di masyarakat.

Gerakan pencerahan berupa demokrasi dalam sejarahnya di Barat juga mendapatkan perlawanan yang serius. Filsuf besar yang menentang pencerahan adalah Edmund Burke (1729-1797 dari Irlandia (h 162). Burke yang merupakan pengikut Kristen Katolik sangat bertentangan dengan gagasan ideal kekaryaan dan egaliterisme yang dilontarkan Locke. Burke menilai doktrin tersebut sangat aneh ditengah semua bukti alam dan sejarah.

Terlebih, gagasan bahwa manusia dapat menciptakan dunia sosial dari fabrikasi semata merupakan kesombongan berbahaya yang mencapai puncaknya dalam peristiwa paling traumatis dalam hidupnya: revolusi Prancis. Burke juga mengkritik ilmu pengetahuan yang melandasi pencerahan, khususnya dari cogito-nya Descartes. Sebagai sosok konservatif tradisional, eksistensi Burke sebenarnya sangat penting untuk menjaga legitimasi pencerahan menuju proses penyempurnaan.

Ketika pencerahan dianggap sebagai final, di situlah sebenarnya pencerahan sedang menuju proses pembusukan. Demikian juga dalam berdemokrasi. Karena itu, gerakan antikemapanan sangat krusial sehingga politik 2014 bukanlah medan untuk menemukan kemapanan dan kepentingan sesaat. Politik 2014 adalah medan membangun kreasi kesejahteraan masyarakat tanpa henti. Kemuliaan pejabat dan elite politik terletak pada terselenggaranya kesejahteraan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar