Merindukan
Pemimpin Merakyat
Achmad Fauzi ; Hakim Pratama Muda pada Pengadilan Agama Kotabaru,
Kalimantan Selatan
|
KOMPAS,
13 Januari 2014
DALAM
hikayat Kerajaan Demak, amukan banteng yang meneror rakyat memunculkan tokoh Jaka
Tingkir. Ia menjadi juru selamat, membuat Sultan Demak mengangkatnya menjadi
lurah prajurit tamtama, dan akhir-nya menikah dengan putrinya. Jaka Tingkir
pun menjadi pemimpin.
Dalam kisah republik ini, suksesi
pemilihan presiden pada 2014 akan segera berlangsung. Partai politik mulai
sibuk mengusung tokoh yang bisa memikat rakyat. Rakyat tentu saja
menginginkan tokoh yang jelas rekam jejaknya dan merintis aksi nyata untuk
perubahan bangsa. Namun, banyak tokoh karbitan yang serba tiba-tiba:
tiba-tiba rajin blusukan menemui rakyat dan seolah peduli kesulitan
mereka.
Penetapan kandidat presiden memang
berpengaruh besar pada masa depan partai. Maka, ketidakoptimalan menetapkan
calon presiden bisa melahirkan stigma kerja politik yang mandul. Karena itu,
kehati-hatian dalam memilih, penelusuran rekam jejak, dan karakter calon
menjadi kata kunci.
Beberapa survei coba dilakukan
untuk menilai seberapa besar elektabilitas calon presiden di mata masyarakat
pemilih. Namun, masyarakat tetap berharap ada tokoh jelmaan Jaka Tingkir yang
punya kekuatan membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Tokoh yang
oleh Machiavelli mampu memadukan watak singa dan rubah disegani karena
kekuatannya, tetapi juga sanggup menghadapi tipu muslihat dan kelicikan.
Amukan banteng dalam hikayat di
atas bisa hadir dalam banyak wujud di dunia nyata: krisis ekonomi, paceklik
kesejahteraan, ancaman disintegrasi bangsa, konflik antar-agama dan etnik,
wabah korupsi, dan sebagainya.
Karena itu, masyarakat rindu sosok
pemimpin sekelas Mohammad Hatta yang, meskipun Wakil Presiden, tidak kemaruk.
Kesederhanaan Hatta menghalangi impiannya membeli sepatu kesukaan hingga
akhir hayat. Atau Mahatma Gandhi yang tidak pernah berkooperasi dengan para
penilap uang rakyat. Kisah-kisah para tokoh berpengaruh seperti itu
diharapkan menjadi referensi dalam mengisi kekosongan nurani dan jati diri
pemimpin kita sehingga mampu menempatkan makna kekuasaan sebagai amanah yang
harus ditunaikan.
Menuju Pemilu Presiden 2014, kita
memang perlu terus membuka mata batin. Harga diri dan masa depan bangsa
jangan mau ditukar dengan seliter beras dan minyak goreng. Barang siapa masih
melanggengkan bercokolnya politik uang, berarti ia tega menggadaikan
bangsanya pada kekuatan para politisi busuk. Di sinilah menjadi sosok pemilih
yang cerdas amat berarti sebab pemimpin adalah miniatur kualitas kolektif masyarakat.
Seburuk apa pun kualitas pemimpin, seperti itulah gambaran kualitas
masyarakat yang telah memilihnya.
Ke depan, pemilih harus mampu
menjangkau sosok mana yang dianggap paling realistis tujuan politiknya.
Tinggalkan kontestan dengan visi, misi, dan ideologi politik yang cenderung
normatif-ideal. Yang kita perlukan sekarang adalah bukti dan garansi
kepemimpinan. Masyarakat jangan mau lagi menjadi alat legitimasi permainan
politik.
Maka, kepada para kandidat,
bekerja ekstra keraslah untuk menarik simpati massa. Menunjuk tim sukses
bukan sebagai tukang obat, melainkan untuk menerjemahkan ideologi dan tujuan
politik menjadi aksi nyata yang menyejahterakan hingga ke masyarakat akar
rumput.
Huntington dalam bukunya, Political Order in Changing Societies (1968),
mengatakan, siapa menguasai pedesaan, menguasai negara. Dalam konteks
pilpres, siapa berhasil memobilisasi pedesaan, berarti sukses dalam dua hal
sekaligus: menjaring suara dan meningkatkan partisipasi politik masyarakat.
Tanpa keterlibatan masyarakat kelas bawah, pesta demokrasi seperti pohon
kehilangan akar.
Kontrak politik
Sejatinya, tidak mudah merebut
hati rakyat. Harus ada lakon-lakon yang bisa meyakinkan. Misalnya, membuat
kontrak politik yang memuat agenda pembangunan Indonesia untuk jangka pendek,
menengah, dan panjang. Jika di kemudian hari agenda tersebut terbengkalai,
ada pernyataan hitam di atas putih tentang kesediaan turun dari jabatan.
Hanya dengan cara ini, masyarakat tidak membeli kucing dalam karung.
Merumuskan visi, misi, dan pandangan
politik menuju Indonesia berkualitas tidak lepas dari prioritas penegakan
pilar-pilar good governance.
Salah satu variabelnya adalah dengan fit
and proper test kepada para pemimpin sebagai salah satu bentuk tanggung
jawab moral dan politik terhadap masyarakat. Tujuannya, agar para birokrat
dapat menjalankan roda pemerintahan dengan prinsip akuntabilitas dan
transparansi.
Menurut Thomas, editor pada The World Bank Development Report
(1993), good governance harus
dilaksanakan, terutama untuk menghadapi kompetisi ekonomi global yang semakin
ketat. Bila good governance tidak
menjadi acuan penyelenggaraan pemerintahan, Indonesia akan berada pada posisi
pinggiran (periphery) dan selalu
bergantung pada negara lain.
Memimpin rakyat adalah amanah yang
harus dipikul dengan penuh tanggung jawab. Siapa berani memimpin, berarti
bersedia menyejahterakan rakyat. Bukan sebalik-nya, malah menyengsarakan
hidup rakyat. Mari kita berharap mendapatkan tokoh jelmaan Jaka Tingkir dalam
Pilpres 2014 mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar