Jumat, 10 Januari 2014

Titip Doa

                                                                 Titip Doa

Candra Malik  ;    Praktisi Tasawuf
TEMPO.CO,  10 Januari 2014
                                                                                                                        


Jika tak punya cukup uang untuk menitipkan doamu kepada mereka yang berada di tempat-tempat yang diyakini mustajab untuk berdoa, mulailah berdoa memohon uang untuk menitipkan doa. Jika doamu terkabul, kini kau tahu bahwa doa ternyata tak perlu dititipkan. Jika doamu tidak terkabul, bolehlah kau mulai berpikir bahwa doa kini bisa menjadi komoditas. Dan penitipan doa adalah peluang baru di bidang jasa keimanan kepada Tuhan.

Allah sesungguhnya dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher, tapi manusia ternyata menganggap Dia jauh, sehingga perlu menempuh perjalanan dengan ongkos mahal. Bahkan, misalnya untuk ibadah haji, punya uang saja tak cukup untuk menjamin bisa segera menyongsong Allah. Kini setidaknya butuh lebih dari 10 tahun antre untuk bisa berangkat haji ke Mekah.

Penitipan doa menjadi ladang kebaikan bagi mereka yang jeli melihat kesempatan. Dibanding tarif asli terbang ke sana, dan tentu saja ongkos hidupnya, uang ratusan ribu rupiah menjadi terbilang sangat murah untuk biaya penitipan doa. Meski belum tentu juga berhasil, tak apalah. Anggap saja ikhtiar. Jika toh doa yang kita titipkan itu tak diijabah, itu waktu yang tepat bagi kita untuk mawas diri menyadari dosa-dosa. Secara pribadi, saya masih meyakini bahwa doa para pendosa itu pasti dikabulkan Allah. Memohon ampun saja diterima, apalagi memohon yang lebih sepele dari itu. Jika menya­dari doamu tak dikabulkan Allah karena dihalangi oleh dosa-dosa, mulailah berdoa dengan mengakui kesalahan, bertobat, dan mohon ampunan-Nya. Perasaan bersalah dan berdosa lebih penting daripada kesalahan dan dosa itu sendiri. Sebab, perasaan itulah awal mula penyesalan.

Masalahnya, kau tak bisa menitipkan rasa bersalah dan pengakuan atas dosa-dosamu kepada para pendoa di ladang jasa keimanan. Mereka bukan para petani yang menebar benih doa, menumbuhkannya, lalu memanen kemusta­jaban sebagai prestasi. Para pendoa itu pun bukan sosok yang dijamin oleh Allah telah dibersihkan dari segala dosa dan dikabulkan doa-doanya. Jika mereka orang baik, tak perlu diminta pun mereka bersedia mendoakan kita secara tanpa pamrih.

Tapi tak apalah jika doa pun kini dibisniskan. Itu artinya memang agama ini anugerah bagi semesta raya, terutama bagi mereka yang menggunakan akalnya untuk berpikir. Segala-galanya bisa dicarikan celah untuk mendapatkan rezeki. Melalui perkumpulan sedekah pun, penganut agama bisa digerakkan membangun sistem ekonomi baru berbasis pahala dan surga. Masif dan membesarnya gerakan ini sangat bagus untuk pemeringkatan dakwah di bawah sorotan kamera. Di era pengeras suara dan tata cahaya, kini sudah bukan zamannya lagi doa diucapkan dengan rendah hati dan suara lirih.

Saya tentu tidak dalam kapasitas untuk menilai apakah peni­tipan doa adalah bisnis yang layak difatwakan halal atau tidak. Berdoa sendiri saja kikuk, apalagi jika harus memimpin rombongan untuk berdoa bersama. Berdoa untuk diri sendiri saja belum tentu terkabul, apalagi berdoa untuk orang lain, apalagi ini penitipan doa secara berbayar! Saya bingung harus menjawab apa jika ditagih para penitip doa dan disodori bukti transfer.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar