Salim
Irfan Budiman ;
Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
10 Januari 2014
Saat kecil, terutama ketika Lebaran, anak-anak
selalu disuruh mencium tangan orang yang dianggap lebih tua. Istilah orang
tua saya: salim.
Mencium tangan adalah sebuah bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua atau yang kita hormati. Itu sebabnya, cium tangan pun dilakukan dengan takzim, yakni dengan menundukkan badan, lalu melekatkan punggung tangan tepat di antara kening dan hidung. Kebiasaan ini bukanlah hal yang aneh di negeri ini. Namun, di hari raya, kecuali kepada keluarga sendiri, saya termasuk yang ogah-ogahan dengan kebiasaan itu. Sebabnya, banyak. Selain kadang saya tidak mengenal orang yang kita cium tangannya, ini yang bikin kesal: jumlah mereka yang tangannya harus saya cium seperti tak pernah habis. Belum lagi beberapa tangan dari mereka beraroma tidak sedap. Bau rokok sudah pasti. Yang uzur usianya, baik lelaki maupun perempuan, tangannya kadang beraroma minyak angin. Bekasnya tersisa di hidung hingga lumayan lama. Atau juga yang unik. Di antara mereka ada yang menyorongkan tangannya, tapi tiba-tiba ditarik ketika hendak dicium. Saya tak tahu apa alasan mereka, mungkin merasa tidak layak dihormati dengan cara itu. Berbagai kekesalan itu membuat saya "membalas" perlakuan mereka. Salah satunya, setiap kali mencium tangan, saya lakukan dengan benar-benar mencium, yakni menempelkan bibir di punggung tangan mereka. Alhasil, beberapa dari mereka tangannya basah oleh ludah saya. Beberapa dari mereka ada yang cuek, tapi ada juga yang menggosok-gosokkan tangannya ke kain sarungnya, untuk mengeringkan tangannya yang basah karena ciuman saya itu. Setelah giliran beranak-pinak, persoalan salim atau cium tangan ternyata kembali menarik perhatian. Anak-anak, keponakan, atau mungkin cucu kita, sudah tidak mengenal yang namanya cium tangan. Sebabnya, gaya cium tangan mereka benar-benar berbeda. Mereka tidak lagi melakukan cium tangan secara harfiahmenempelkan hidung di punggung tanganmelainkan di pipi, jidat, bahkan ada juga yang di samping kepala mereka yakni dekat di telinga. Mereka pun tidak lagi membungkukkan badan, tapi justru menarik tangan orang yang dituakannya. Tentu saja unik. Pertama kali kita pasti akan dibuat terkejut. Bisa saja orang-orang tua menganggap itu karena mereka tidak pernah mendapatkan pelajaran yang sebenar-benarnya untuk melakukan cium tangan. Namun lama-lama barangkali kita bisa memahami hal itu sebagai cara mereka dalam melanggengkan tradisi ini, tanpa sedikit pun menghilangkan esensinya, yakni menghormati orang yang lebih tua atau yang mereka hormati. Kita tetap bisa melihat ketulusan sikap mereka. Hal yang kontras bisa kita lihat saat pamrih ikut terselip saat mencium tangan. Misalnya, ketika seseorang mencium tangan calon mertuanyayang berharap bisa segera mendapatkan izin untuk menjadikan anaknya sebagai istri. Juga yang lumrah di medan politik. Cara mencium tangan mereka terlalu serius. Badan mereka merunduk, dan dengan erat memegang kedua tangan orang yang dihormatinya itu. Seolah tak ingin lepas. Tapi, ah, marilah berbaik sangka. Mungkin itu wujud sebuah penghormatan. Karena, mereka tidak mungkin melakukan salam dengan menempelkan tangan di hidung mereka, apalagi di pipi, di jidat, atau di telinga, seperti kebanyakan anak-anak saat ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar