Keluar
dari Kemelut Beleid Minerba
Agus Pambagio ;
Pemerhati Kebijakan
Publik
|
TEMPO.CO,
10 Januari 2014
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara (Minerba) ditandatangani oleh Presiden SBY pada 12
Januari 2009. Undang-undang ini dimaksudkan supaya pengelolaan sisa sumber
daya alam (SDA) yang tak terbarukan dan menguasai hajat hidup orang banyak
harus dikuasai oleh negara untuk memberikan nilai tambah secara nyata pada
perekonomian nasional.
Selanjutnya ditetapkan pengaturan untuk peningkatan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batu bara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batu bara melalui berbagai aturan perundang-undangan. Persoalan utama dalam UU Nomor 4/2009 ini hanya mengatur izin pertambangan berdasarkan Izin Usaha Pertambangan/Khusus (IUP/K) untuk minerba, bukan Kontrak Karya (KK). Memang KK dibahas tiba-tiba dalam Pasal 169-170, tapi hanya membahas KK untuk sektor batu bara, tidak termasuk untuk mineral. Selain itu, UU Nomor 4/2009 ini belum mengatur tingkat kadar dan nilai kemurnian hasil smelting bijih mentah yang boleh diekspor. Selanjutnya, atas perintah undang-undang tersebut, telah diundangkan pula serangkaian peraturan perundangan. Namun pemerintah bertambah panik dan kusut ketika Mahkamah Agung (MA) melalui Keputusan MA Nomor 13/P.HUM/2013 membatalkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7/2012 yang menjadi dasar pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor mineral. Sayang, dua Permen ESDM pengganti masih menggunakan dasar Permen ESDM Nomor 7/2012 yang sudah dibatalkan, sehingga hampir tidak mungkin dijalankan. Keputusan MA di sisa tenggat waktu pemberlakuan larangan ekspor bijih mineral mentah telah menuai kepanikan yang luar biasa di tingkat pemerintah pusat dan daerah, politikus di Senayan serta perusahaan pertambangan dan kalangan tenaga kerja sektor minerba di Indonesia. Kondisi tersebut merupakan kegagalan kebijakan terbesar Presiden SBY beserta jajarannya karena lalai melaksanakan kewajibannya sebagai regulator dalam kurun waktu lima tahun sesuai dengan perintah UU Nomor 4/2009. Batasan yang ketat untuk memperoleh izin ekspor dimaksudkan agar, sekalipun diekspor, minerba tersebut telah diolah/dimurnikan di dalam negeri. Maka industri smelter (pengolah bijih mentah menjadi konsentrat) dalam negeri dapat memberikan nilai tambah yang besar atas produk yang diekspor, tidak hanya bijih mentah yang bernilai ekonomi rendah dan merusak lingkungan. Beberapa kendala yang diperkirakan muncul sebagai akibat adanya pelarangan ekspor bijih mentah minerba, antara lain sebagai berikut: 1) Daya serap industri smelter dalam negeri untuk konsentrat saat ini hanya 30 persen dari produksi bijih mentah. Keterbatasan kapasitas smelter ini membuat penambang minerba harus mengurangi produksinya. Kondisi ini berakibat besar bagi tenaga kerja dan perekonomian nasional; 2) Dampak pengurangan produksi bijih mentah akan menyebabkan pengurangan tenaga kerja (PHK), khususnya di perusahaan pertambangan pemegang KK. Kondisi ini akan menimbulkan dampak sosial-ekonomi yang besar pula; 3) Dengan larangan ekspor hasil tambang mentah, pajak ekspor dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pertambangan minerba akan berkurang sangat besar dan diperkirakan mencapai Rp 10 triliun per tahun. Pembangunan smelter memerlukan investasi dan biaya operasi yang sangat besar dan dalam kondisi Indonesia saat ini diperkirakan tidak feasible. Berikut ini saran untuk pemerintah. Pertama, Izin Usaha Pertambangan dengan IUP/K pada dasarnya berbeda dengan KK sehingga, menurut kajian publik ini, peraturan perundangan yang ditujukan untuk IUP dan IUP/K tidak serta-merta dapat diberlakukan juga untuk KK. Kedua, pembangunan smelter harus dipercepat. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga harus segera membangun infrastruktur di lokasi-lokasi akan dibangunnya smelter. Selain itu, pemerintah harus menerbitkan berbagai kebijakan yang baik supaya konsentrat minerba harganya kompetitif dengan konsentrat produk Cina. Semua smelter harus memproduksi konsentrat sesuai dengan aturan yang berlaku. Pengaturan tentang kadar dan nilai konsentrat belum diatur dalam UU Nomor 4/2009, tapi diatur oleh Permen ESDM Nomor 7/2012. Masalahnya, Permen ESDM Nomor 7/2012 sudah dibatalkan oleh MA. Nasi sudah menjadi bubur, dan kekusutan ini merupakan tanggung jawab Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri ESDM yang gagal melaksanakan koordinasi dan pengawasan implementasi UU Nomor 4 Tahun 2009. Untuk itu, Presiden SBY harus memberikan sanksi tegas pada kedua menteri kabinetnya tersebut atas langkah yang memalukan dan membuat rakyat kembali tidak dapat menikmati sisa-sisa SDA yang seharusnya dapat memakmurkan bangsa ini. Kemudian, segera Presiden SBY memerintahkan jajarannya untuk menerbitkan Perpu atau cukup PP, tapi lengkap mengatur persoalan IUP/K, KK, serta kadar dan nilai konsentrat yang dihasilkan untuk mengganti atau melengkapi UU Nomor 4/2009. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar