Selasa, 07 Januari 2014

Teror Tahun Baru

                                                    Teror Tahun Baru

Ismatillah A Nu’ad  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan,
Universitas Paramadina, Jakarta
JAWA POS,  03 Januari 2014
                                                                                                                        


PENGGEREBEKAN oleh Densus 88 terhadap kelompok teroris di Ciputat, Tangerang Selatan, pada malam tahun baru kemarin sungguh mengejutkan banyak pihak. Pasalnya, telah begitu lama isu terorisme seakan lenyap dari permukaan, namun kembali muncul secara tiba-tiba. 

Tesis bahwa terorisme di Indonesia akan berakhir pasca terbunuhnya Dr Azhari (2005) dan Noordin M. Top (2009) ternyata tidak terbukti. Kalangan yang pesimistis menyebut bahwa ini hanya politik proyek aparatus. Namun, ini dibantah dengan logika bahwa ada korban jiwa lebih dari seorang dalam tiap aksi terorisme. 

Bruce Hoffman dalam Inside Terrorism (2009) menjawab perihal agenda kaum teroris yang kira-kira mulai muncul dan populer semenjak peristiwa 11 September di AS. Dalam karyanya, Bruce Hoffman tidak hanya menjelaskan soal definisi, organisasi, teknologi yang digunakan kaum teroris dan peristiwa-peristiwa yang melibatkan aksi terorisme yang berjubah fundamentalisme keagamaan, melainkan juga mengurai misi sucinya. 

Bruce menjelaskan bahwa terorisme jenis ini bersifat global atau transnasionalistis. Mereka berani melakukan aksi-aksi bom bunuh diri demi mencapai tujuan sucinya. Penyebab dasarnya adalah adanya interaksi penetrasi serta penjajahan Barat atas hampir seluruh wilayah muslim dalam masa modern yang tidak hanya mengakibatkan disintergrasi politik muslim, tetapi juga memunculkan pergumulan yang sangat intens di kalangan muslim sendiri, terutama muslim fundamentalis. Superioritas Barat, selain memunculkan gerakan pembaruan Islam di satu sisi, juga di sisi lain memunculkan gelombang fundamentalisme Islam yang kemudian melakukan aksi-aksi terorisme.

Agenda terorisme berdalih keagamaan. Salah satunya ingin menghancurkan aset-aset yang diindikasi milik Barat dan ingin menciptakan stigma kengerian terhadap Barat supaya hengkang dari negeri-negeri muslim.

Karena itu, rentetan kejadian aksi bom bunuh diri dan teror yang terjadi khususnya di Indonesia dilakukan di tempat-tempat yang diindikasi aset milik Barat, seperti JW Marriott, Ritz-Carlton, McDonald, kafe atau kelab seperti yang terjadi di Legian Bali. Bagi kaum fundamentalis yang melakukan aksi teror bom, aset Barat seperti itu ditengarai telah menghasilkan devisa yang banyak. Sebagian kemudian disumbangkan untuk memerangi kaum muslim seperti di Irak, Afghanistan, Palestina, muslim Moro, dan Pattaya. 

Sebetulnya salah kiranya jika menjadikan Indonesia juga sebagai "daerah perang" (dar al-Harb) dalam arti benturan Islam-Barat. Sebab, Indonesia, adalah negeri damai dan sebetulnya tidak memiliki akar bagi muslim radikal dan ekstrem. Muslim Indonesia terkenal karena kemoderatannya. 

Namun, warna keberagamaan Islam yang khas Indonesia memang tengah menghadapi gugatan dengan hadirnya gerakan fundamentalis. Pemahaman keagamaan mainstream yang dianut mayoritas muslim dinilai bukan pemahaman Islam yang benar karena mengakomodasi dan berakulturasi dengan budaya dan sistem sosial-politik lokal maupun sekuler. Pendeknya, menurut kaum fundamentalis, otentisitas Islam telah hilang dan karena itu perlu purifikasi Islam dan sistem Islam (nizam al-Islam). 

Kelompok fundamentalis ini memang tidaklah tunggal. Artikel berjudul Anatomy of Salafi Movement yang ditulis oleh Quintan Wiktorowicz (2003) mengidentifikasi tiga varian kelompok salafi, yaitu purist, politicos, dan jihadis. Kelompok pertama memberikan penekanan pada metode non kekerasan seperti dakwah, purifikasi, dan pendidikan. 

Kelompok kedua menekankan penerapan kredo salafi yang antipluralisme pada arena politik yang oleh mereka dianggap sangat penting. Sebab, politik secara langsung memberikan pengaruh terhadap keadilan sosial. Jenis ketiga mengambil posisi yang jauh lebih militan. Mereka mengusung keyakinan bahwa situasi yang dihadapi umat Islam saat ini menyerukan adanya kekerasan dan revolusi. Yang ketiga inilah yang kemudian sering melakukan teror bom bunuh diri. 

Islam memang memiliki potensi untuk melahirkan pluralitas kebenaran. Istilah lainnya, Alquran sendiri melahirkan double discourse. Menurut pemikir muslim liberal dari India Ashgar Ali-Engineer (1999), penafsiran yang beragam terhadap Islam adalah sesuatu yang inheren. Itu bisa terjadi karena teks-teks Alquran sangat kaya serta bisa didekati dengan berbagai cara, termasuk saat kaum fundamentalis yang mengartikan teror sebagai tindakan jihad. Kaum fundamentalis yang menganggap teror sebagai jihad menganggap Barat sebagai musuh, bukan sebagai partner dialog. 

Jihad yang dilakukan untuk membunuh mereka yang tidak bersalah bagaimanapun tidak bisa dibenarkan. Alih-alih melakukan jihad, kaum fundamentalis sebenarnya melakukan martyr atau bom bunuh tanpa mewakili kepentingan agama apa pun. Terorisme tidak bisa dikaitkan dengan ajaran agama. Ia hanyalah penyimpangan dalam mengartikan agama. 

Itulah tantangan bagi dunia Islam, yakni mengembalikan wajah Islam yang ramah dan toleran. Gerakan fundamentalisme yang ekstrem dan radikal seperti melakukan aksi terorisme itu memang bersifat peripheral (pinggiran) dalam arti sangat minoritas. Namun, justru dari celah itulah jika tidak ditanggapi serius, terorisme bisa menjadi bumerang bagi komunitas muslim dalam arti mayoritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar