Selasa, 07 Januari 2014

Jaminan Sosial v Negara Bangkrut

                            Jaminan Sosial v Negara Bangkrut

Akh. Muzakki  ;   Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya,
Alumnus doktoral The University of Queensland, Australia
JAWA POS,  04 Januari 2014
                                                                                                                        


TAHUN 2014 menandai era baru sistem jaminan sosial di negeri ini. Awal tahun ini, pemerintah meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sekaligus meresmikan instrumen pendamping berupa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan sistem jaminan sosial itu, seluruh masyarakat bisa menikmati layanan berobat gratis.

Jawa Pos dalam kolom Jati Diri berjudul Negara Sosialis Terbesar (1/1/2014) mengingatkan kita bersama atas potensi ancaman kebangkrutan negara. Hal itu sangat mungkin terjadi jika negara gagal mengelola belanja keuangan sebagai akibat besarnya tanggungan negara untuk memberikan jaminan sosial tersebut. 

Kita layak mengapresiasi positif kebijakan pemerintah tersebut. Inilah saatnya masyarakat segera menikmati tata hidup modern di negeri ini. Sebab, dalam perspektif sistem jaminan sosial itu, jaminan kesehatan tersebut segera diikuti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, serta tunjangan pensiun.

Masalahnya, bagaimanakah menjauhkan negeri ini dari kebangkrutan pasca penerapan sistem jaminan sosial seperti yang diingatkan Jawa Pos tersebut? Mengacu pada pengalaman negara-negara kesejahteraan (welfare state) yang lebih maju dan lebih dulu mempraktikkan sistem tersebut, penguatan kapasitas negara di bidang itu harus diikuti kebijakan program ikutan. Yakni, menghindarkan diri dari kolaps finansial. Ada dua program besar yang harus segera diselenggarakan.

Pertama, pemerintah perlu menjamin dan mengontrol kesehatan makanan (food higinity) yang beredar di pasaran. Kini pemerintah tidak boleh hanya berhenti mengontrol dan menguji tingkat kehalalan makanan. Sertifikasi halal memang penting untuk menjamin bahwa yang dikonsumsi masyarakat tidak menabrak prinsip keyakinan yang dianut.

Tetapi, seiring dengan peluncuran jaminan sosial tersebut, pemerintah juga mulai harus menjamin bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat memenuhi prinsip kesehatan. Meminjam bahasa Alquran (2:168; 5:88), pemerintah harus menjaga dan memperkuat jaminan atas terpenuhinya dua prinsip secara complimentary, yakni halalan dan thoyyiban.

Prinsip halalan merujuk pada seiringnya status legal makanan dan minuman dengan prinsip keyakinan. Sementara itu, prinsip thoyyiban merujuk pada terpenuhinya prinsip kesehatan, terutama jaminan nilai gizi bagi kepentingan tubuh yang sehat pada satu sisi dan perlindungan makanan serta minuman dari bahan yang membahayakan kesehatan tubuh pada sisi lain. 

Sebagai referensi, pemerintah Australia yang lebih dulu menyelenggarakan sistem jaminan sosial melakukan cek dan kontrol rutin terhadap semua makanan serta minuman di pasaran. City council sebagai bagian dari struktur pemerintahan terbawah di negeri itu selalu mengadakan cek dan kontrol reguler. Pelaksanaannya secara acak. Minimal sekali dalam tiga bulan.

Program cek dan kontrol atas makanan dan minuman itu mendesak dilakukan di tengah menguatnya budaya instan dalam pola produksi serta konsumsi masyarakat kita. Pemerintah memang perlu mengedukasi pola makan dan minum yang sehat. Namun, pemerintah juga sangat perlu mengecek dan mengontrol makanan-minuman yang beredar di pasaran.

Sebab, fakta di lapangan menunjukkan, banyak kasus proses produksi makanan dan minuman yang menggunakan bahan yang membahayakan kesehatan. Sebagaimana diberitakan luas oleh berbagai media massa nasional, sebagai contoh kecil, di beberapa kota ditemukan penjual gorengan yang memproses jualannya dengan minyak goreng bercampur bahan plastik untuk menjamin nilai kerenyahan gorengan dalam waktu lama. Penggunaan formalin juga ditemukan di sejumlah bahan makanan seperti mi basah, beras, dan ikan.

Kedua, pemerintah Indonesia juga perlu melakukan program edukasi atas pola hidup yang sehat melalui olahraga rutin untuk menjaga ketahanan tubuh. Program itu penting karena masuknya makanan dan minuman yang sudah memenuhi prinsip halalan dan thoyyiban ke dalam tubuh akan menyisakan masalah jika tidak diiringi aktivitas pembakaran kalori yang rutin pula.

Saking pentingnya aktivitas pembakaran kalori secara rutin tersebut, hampir satu dekade terakhir pemerintah Negara Bagian Queensland di Australia, misalnya, mengampanyekan program 30 Minute Exercise (Gerakan 30 Menit). Program itu dimaksudkan agar semua anggota masyarakat menggunakan waktu, minimal 30 menit sehari, untuk berolahraga. Setidaknya, bentuknya adalah jalan kaki.

Program itu dikampanyekan secara masif. Bahkan, warga difasilitasi kaus bertulisan 30 Minute Exercise agar bisa dipastikan melakukan olahraga rutin harian tersebut. Dengan begitu, pembakaran kalori bisa dijamin rutin dilakukan. Diharapkan, ketahanan tubuh pun bisa ditingkatkan sedini mungkin. 

Kesehatan seharusnya dijaga, baik dalam taraf penyembuhan (curing) maupun pencegahan (preventive) dari sakit. Kebijakan jaminan layanan sosial-kesehatan yang membutuhkan anggaran besar hanya bergerak di ranah curing. Karena itu, jaminan layanan sosial-kesehatan tersebut juga harus diiringi kebijakan ikutan yang bersifat preventif. Wujudnya berupa upaya penjaminan kesehatan makanan dan minuman serta peningkatan kebugaran dan ketahanan tubuh masyarakat melalui olahraga. Bila kondisi itu bisa dicapai, kesehatan masyarakat akan terjamin serta anggaran negara aman dan tidak terkuras habis.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar