Terasingnya
Bahasa Indonesia
Rahardi Ramelan ;
Pengamat Teknologi dan Masyarakat
|
JAWA
POS, 10 Januari 2014
AKHIR November
2013 telah diselenggarakan World
Culture Forum (WCF) di Nusa Dua, Bali. Suatu konferensi yang bergengsi
dengan mendatangkan peraih penghargaan Nobel, Amartya Sen, sebagai pembicara
kunci. Bali didambakan menjadi Global Forum untuk kebudayaan, seperti Rio de
Janeiro menjadi Global Forum untuk lingkungan hidup. Simposium yang
diselenggarakan terasa sangat terbatas dan tidak memberikan roh kepada
konferensi tersebut. Kegiatan pun tidak menyebar luas, kecuali dalam bidang
kesenian, antara lain di Beach Walk Kuta.
Pemilihan Beach Walk Kuta (BWK), sebagai salah satu tempat dalam kegiatan World Culture Forum tersebut, sungguh sesuatu yang keliru dan patut disesalkan, karena ada masalah pada pemakaian bahasa. Bahasa adalah komponen penting, kalau tidak yang terpenting, dari budaya satu bangsa. Masuk ke BWK kita tidak tahu bahwa kita berada di Indonesia atau Bali. Tidak ada satu pun petunjuk publik dalam bahasa Indonesia. Termasuk kamar kecil dan tempat parkir. Semuanya ditulis dalam bahasa Inggris. Toko dan restoran sebagian besar dengan merek dan waralaba luar negeri. Tentu dalam bahasa Inggris. Ada yang menarik, yaitu petunjuk untuk keadaan darurat kebakaran dan tsunami. Tetapi, sayangnya, lagi-lagi dalam bahasa Inggris dan tidak ada bahasa Indonesianya. Bagaimana Bali bisa menjadi Global Forum Budaya kalau kita sendiri mengesampingkan bahasa kita sendiri? Dalam Kongres Bahasa Indonesia (KBI) X beberapa waktu lalu, berbagai tanggapan, pendapat, dan pandangan mengenai keberadaan bahasa Nasional kita Bahasa Indonesia, telah menggugah banyak perhatian. Mulai yang mengkhawatirkan perkembangannya, sampai yang menginginkan bahasa Indonesia menjadi referensi bahasa di ASEAN. Mari kita simak bersama apa yang didapati sehari-hari, baik di media maupun ruang publik. Kita kesampingkan dulu yang terjadi di dunia maya dan bahasa lisan. Bangun pagi, begitu menghidupkan televisi, kita mendapatkan tayangan live dengan acara eight eleven dengan headline news-nya. Ataupun good morning Indonesia. Siaran televisi yang sudah menjangkau hampir seluruh wilayah Nusantara, dari ibu kota sampai ke desa, masih banyak membuat program yang menggunakan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Misalnya, lawyers club, cooking with chef X, coffee break, prime time, dan wide shot. Hal serupa terjadi di media cetak. Padahal, bahasa Indonesia mempunyai padanan untuk beberapa kata asing, juga terbentuk Indonesiasi kata-kata asing. Contohnya toll menjadi tol, mall/mal, furniture/furnitur, significant/signifikan, competition/kompetisi, culture/kultur, research/riset, dan masih banyak lagi. Kata-kata tersebut sepertinya sudah baku menjadi bahasa Indonesia. Tetapi, siapa atau lembaga mana yang menetapkannya? Banyak juga bahasa asing, yang sepertinya sudah tidak asing, dan tidak ada yang peduli. Penggunaan kata-kata seperti wifi atau copy-paste. In-out/exit, sebagai pengganti masuk-keluar. Di gedung-gedung dan pusat perbelanjaan tersedia valet service. Bandara Soekarno-Hatta, misalnya, memakai kata toilet sebagai kamar kecil. Pintu darurat dan keluar ditandai dengan kata exit. Pemakaian bahasa nasional di ruang publik, seperti bandara, sangatlah penting. Di Singapura, Bandara Changi dan MRT, petunjuk publik ditulis dalam empat bahasa; Melayu, China, India, dan Inggris. Bandara Internasional Ataturk di Istanbul menggunakan dua bahasa, Turki dan Inggris. Bahasa nasional selalu dikedepankan. Setiap hari masyarakat pemakai angkutan umum harus menunggu kendaraan di terminal atau halte. Di beberapa kota namanya shelter. Demikian juga sebutan taxi atau taksi. Pusat pengendali lalu lintas kepolisian menamakannya NTMC -National Traffic Management Center, lampu pengendali lalu lintas dinamakan Traffic Light atau TL. Jalan khusus angkutan umum cepat disebut busway. Para pejabat (tinggi) yang sering muncul di layar televisi masih terus menyelip-nyelipkan bahasa Inggris dalam pernyataannya. Ketidakseriusan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa nasional kita, dalam ruang publik, oleh para pejabat sudah sangat mengkhawatirkan. Bahasa sebagai salah satu ekspresi budaya yang penting sepertinya terabaikan. Sudah saatnya kita membenahi dulu pemakaian bahasa nasional kita, sebelum ingin menjadikan Bali sebagai tempat Global Forum Budaya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar