Menaikkan
Level Survei Capres
Samsudin Adlawi ;
Wartawan Jawa Pos, Gemar mengamati Survei Capres
|
JAWA
POS, 10 Januari 2014
SECARA berkala, lembaga survei rajin mengumumkan hasil survei soal
calon presiden (capres). Sejumlah nama pun selalu muncul dalam survei oleh
sejumlah lembaga survei tersebut. Nama-nama itu, antara lain, Joko Widodo
(Jokowi), Prabowo, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, serta
Rhoma Irama. Ada juga nama lain yang posisinya tidak beranjak-anjak dari
posisi bawah.
Meski bisa memengaruhi persepsi rakyat yang notabene calon pemilih, siapa lembaga pembuat survei -yang independen maupun yang ''pesanan'' sponsor- itu tidak terlalu penting dibahas pada kesempatan ini. Yang patut dicermati saat ini adalah parameter yang digunakan untuk menilai layak tidaknya seorang figur dicapreskan. Seperti sering kita lihat, dengar, dan baca di media, ada dua ukuran utama yang disodorkan dalam proses survei. Yakni, popularitas dan tingkat elektabilitas seorang figur. Hingga laporan berkala terakhir yang di-publish sejumlah lembaga survei pada Desember tahun lalu, pertanyaan yang dijaring dari responden masih berfokus pada dua parameter itu. Mengingat makin dekatnya pelaksanaan pilpres (pemilihan presiden), sudah tiba waktunya bagi penyelenggara survei capres untuk menaikkan level survei mereka. Sudah saatnya menaikkan level survei yang lebih mencerdaskan calon pemilih. Tidak salah menjadikan popularitas sebagai ukuran untuk tingkat elektabilitas seorang figur capres. Tapi, untuk menyongsong pilpres yang kurang enam bulan lagi, masih menggunakan tingkat popularitas semata sama dengan menyesatkan calon pemilih. Sebab, popularitas itu abstrak. Tingkat popularitas tidak selamanya berbanding lurus dengan kemampuan seseorang untuk kebutuhan tertentu . Apalagi untuk mengukur layak tidaknya seseorang menjadi presiden. Seperti kita tahu, popularitas itu bisa dibikin. Diciptakan. Dan, maaf, direkayasa. Popularitas seseorang bisa dengan mudah melambung tinggi karena dia sedang menjadi media darling. Yakni, ketika media rajin memberitakan apa pun dan ke mana pun dia beraktivitas. Misalnya, blusukan meninjau kondisi wilayahnya dan bertemu rakyat yang dipimpinnya. Lalu, menjadikan hasil blusukan itu sebagai dasar membuat jalan keluar dengan cepat. Untuk pembanding, kebiasaan seperti itu juga dilakukan banyak pemimpin yang lain. Namun, aktivitas mereka tenggelam begitu saja ditelan bumi karena tidak ter-cover media. Padahal, dia jauh lebih dekat dengan rakyatnya, kegiatan blusukannya jauh lebih menyengsarakan diri, dan penampilan sehari-harinya lebih sederhana daripada figur yang selama ini menjadi media darling. Seharusnya orang seperti merekalah yang layak dijadikan media darling. Kembali ke survei, popularitas memang merupakan faktor utama pendongkrak elektabilitas. Tapi, sekali lagi, popularitas saja tidak cukup dijadikan garansi seseorang bisa memimpin negara. Ada baiknya, dalam survei-survei di sisa waktu menjelang pilpres ini, lembaga survei mulai memasukkan pemikiran atau ide besar para capres dalam menyelesaikan persoalan bangsa ke dalam materi surveinya. Dengan begitu, masyarakat (responden) bisa menilai figur mana yang benar-benar layak memimpin negara ini. Bisa jadi, ide besar soal negara muncul dari figur populer yang selama ini selalu memimpin hasil survei. Tapi, bisa juga sebaliknya. Para figur yang telanjur populer dan merajai semua survei saat ini malah tidak memiliki ide besar yang bisa dijadikan bekal memimpin negara besar bernama Indonesia. Jika langkah menaikkan level survei itu dilakukan, bukan tidak mungkin para figur yang selama ini mendominasi hasil survei akan bertumbangan. Ingat, sejatinya masyarakat kian pintar. Mereka sudah bisa memilah dan memilih figur capres yang layak memimpin negara ini lima tahun ke depan. Kalau lembaga survei masih saja menyodorkan pertanyaan dan membeber hasil surveinya sama seperti yang sudah-sudah, mereka harus siap-siap menanggung malu di kemudian hari: figur capres yang selalu memimpin surveinya ternyata tidak mencerminkan keinginan rakyat yang sesungguhnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar