Minggu, 05 Januari 2014

Teladan Kerukunan Gus Dur

                                    Teladan Kerukunan Gus Dur

Hasibullah Satrawi  ;   Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida), Jakarta
MEDIA INDONESIA,  31 Desember 2013
                                                                                                     


PADA 30 Desember 2013, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur genap empat tahun meninggalkan kita dengan semua persoalan yang bertambah hari justru semakin kompleks, khususnya persoalan intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Selama hayatnya, Gus Dur secara konsisten memperjuangkan pentingnya kerukunan dan saling menghormati di kalangan umat beragama yang berbeda-beda.

Perjuangan seperti diteladankan Gus Dur teramat penting untuk terus dikembangkan. Di satu sisi, karena secara prinsip satu agama pasti berbeda dengan agama yang lain. Di sisi lain, karena Indonesia merupakan negara majemuk yang dihuni umat yang berbeda-beda agama dan keyakinan. Tanpa adanya komitmen kerukunan dan saling menghormati di kalangan umat beragama, perbedaan-perbedaan yang ada akan berkembang menjadi sebuah laku kekerasan yang justru mencoreng wajah indah agama. Bahkan kekerasan yang ada berpotensi meruntuhkan bangunan keindonesiaan yang berdiri tegak di atas dasar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Itulah yang kerap terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Kekerasan atas nama agama terus mengalami peningkatan. Tak sedikit nyawa yang telah melayang akibat perbedaanperbedaan yang bersifat keagamaan dan keyakinan. Sudah tak terhitung rumah ibadah yang hancur akibat konflik yang bercorak keagamaan. Di sinilah pentingnya teladan dakwah Gus Dur. Sebagai seorang ulama, Gus Dur nyaris menghabiskan waktunya di jalan dakwah, tapi bukan dakwah yang berapi-api untuk menghasut dan memprovokasi umat, melainkan dakwah kerukunan dan perdamaian.

Batasan amar makruf

Di internal umat Islam, ada beberapa ajaran yang oleh sebagian pihak dianggap membenarkan dakwah dengan cara kekerasan. Salah satunya ialah ajaran tentang amar makruf (menyeru pada kebaikan) dan nahi mungkar (menghindari kekerasan) yang sangat dianjurkan dalam Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW. Atas dasar ajaran itu, terdapat kelompok tertentu dalam Islam yang tak lagi memedulikan cara menegakkan ajaran tersebut. Apakah dengan cara kekerasan atau tidak?

Itulah yang disebut Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama) sebagai gerakan memakrufkan kemungkaran dan memungkarkan kemakrufan. Istilah itu digunakan Hadratus Syeikh sebagai kritik terhadap gerakan keagamaan yang cenderung menggunakan cara-cara kekerasan dalam berdakwah (Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011: 46).

Apa yang disampaikan dua ulama terkemuka Jamaah Islamiyah Mesir yang sudah bertobat dari dakwah bernuansa kekerasan, Syeikh Ali Muhammad Ali Syarif dan Syeikh Usamah Ibrahim Hafiz, menarik untuk diperhatikan bersama.

Dalam sebuah buku berjudul An-Nushuh wa At-Tabyin fi Tashihi Mafahimi Al-Muhtasibin (Nasihat bagi Para Penegak Amar Makruf Nahi Mungkar), kedua ulama tersebut menegaskan penegakan ajaran amar makruf dan nahi mungkar harus mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan. Sekiranya akan menimbulkan kemungkaran yang lain, penegakan ajaran tersebut tidak boleh dilakukan. Terlebih lagi bila kemungkaran tersebut menimbulkan kekerasan dengan mengorbankan mereka yang tidak bersalah.

Hal itu sesuai dengan salah satu kaidah dalam hukum Islam yang berbunyi, dar`ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaleh (menghindari kemudaratan harus diutamakan atas kehendak melipatgandakan kebaikan). Sejalan dengan kaidah tersebut, gerak dakwah dalam Islam harus lebih mempertimbangkan dampak buruknya daripada kehendak melipatgandakan kebaikan yang dicitacitakan. Kebaikan yang dicitacitakan menjadi tak bermakna bila hal itu dilakukan dengan cara-cara yang justru menimbulkan keburukan.

Pesan kurang lebih sama juga disampaikan Imam Al-Ghazali yang menjadi anutan mayoritas umat Islam di Indonesia. Dalam kitabnya, Ihya' Ulumiddin, Imam Al-Ghazali memberi batasan yang jelas dalam menghadapi kemungkaran, yaitu kemungkaran yang tampak kasatmata di depan umum. Kemungkaran yang ada di dalam gedung ataupun di area terbatas tidak bisa diganggu (apalagi dibubarkan) atas nama penegakan amar makruf dan nahi mungkar. Islam melarang keras umatnya mencari-cari (wala tajassasu) dan menyebarkan kesalahan orang lain (QS Al-Hujurat [49]: 12). Sebaliknya Islam menyediakan surga bagi mereka yang sudi menutupi aib/atau keburukan orang lain.

Untuk memperkuat pandangan tersebut, Imam Al-Ghazali melansir suatu riwayat penegakan amar makruf dan nahi mungkar yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab dengan cara mengintip suatu rumah. Orang yang di dalam rumah kemudian menegur sahabat Umar dengan mengatakan, “Mungkin saya memang melakukan satu kemungkaran, tapi dengan cara penegakan amar makruf dan nahi mungkar seperti ini, Tuan Khalifah telah melakukan tiga kesalahan sekaligus. Pertama, mencari-cari kesalahan orang yang dilarang dalam Islam (QS Al-Hujurat [49]: 12). Kedua, mendatangi rumah orang lain tanpa melalui pintu (QS Al-Baqarah [2]: 189) (dalam riwayat ini sahabat Umar dikisahkan mengintip dari atap rumah). Ketiga, men datangi rumah orang tanpa mengucapkan salam. Padahal Islam mengajarkan agar umatnya senantiasa mengucapkan salam, khususnya ketika hendak mendatangi rumah orang lain (QS An-Nur [24]: 27).“

Apa yang disampaikan para ulama di atas penting untuk diperhatikan sebagai batasan dalam penegakan ajaran amar makruf dan nahi mungkar, khususnya bagi mereka yang gemar melakukan penegakan ajaran itu yang tidak jarang berakhir dengan aksi anarkistis, mengingat kemungkaran laiknya `penyakit warisan' yang senantiasa ada di dalam perjalanan panjang peradaban umat manusia. Bahkan kemungkaran juga terdapat di masa hidup para manusia pilihan, termasuk para nabi sekalipun.

Tanpa memperhatikan batasan-batasan itu, kemungkaran akan terus melahirkan kemungkaran yang lain. Begitu seterusnya hingga mereka yang mengklaim menegakkan ajaran itu justru terjebak dalam perbuatan memakrufkan kemungkaran, bahkan memungkarkan kemakrufan.

Gus Dur telah memberikan keteladanan luhur dalam mendakwahkan ajaran-ajaran agama secara damai, baik dalam konteks eksternal yang bersifat antaragama maupun dalam konteks internal yang bersifat intraagama. Semoga kebesaran perjuangan Gus Dur tak hanya kita kenang setiap saat, tetapi kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Atas semua perjuangan luhurnya kepada umat manusia secara umum dan bangsa Indonesia secara khusus, mari kita doakan almarhum Gus Dur. Semoga beliau diterima di sisi Allah SWT dan kita mampu menjalankan keteladanannya, terutama dalam menyemai perdamaian. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar