Teladan
Kerukunan Gus Dur
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida), Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Desember 2013
PADA 30 Desember 2013,
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur genap empat tahun meninggalkan kita dengan
semua persoalan yang bertambah hari justru semakin kompleks, khususnya
persoalan intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Selama hayatnya, Gus Dur
secara konsisten memperjuangkan pentingnya kerukunan dan saling menghormati
di kalangan umat beragama yang berbeda-beda.
Perjuangan seperti
diteladankan Gus Dur teramat penting untuk terus dikembangkan. Di satu sisi,
karena secara prinsip satu agama pasti berbeda dengan agama yang lain. Di
sisi lain, karena Indonesia merupakan negara majemuk yang dihuni umat yang
berbeda-beda agama dan keyakinan. Tanpa adanya komitmen kerukunan dan saling
menghormati di kalangan umat beragama, perbedaan-perbedaan yang ada akan
berkembang menjadi sebuah laku kekerasan yang justru mencoreng wajah indah
agama. Bahkan kekerasan yang ada berpotensi meruntuhkan bangunan
keindonesiaan yang berdiri tegak di atas dasar Pancasila dan Bhinneka Tunggal
Ika.
Itulah yang kerap
terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Kekerasan atas nama agama terus
mengalami peningkatan. Tak sedikit nyawa yang telah melayang akibat
perbedaanperbedaan yang bersifat keagamaan dan keyakinan. Sudah tak terhitung
rumah ibadah yang hancur akibat konflik yang bercorak keagamaan. Di sinilah
pentingnya teladan dakwah Gus Dur. Sebagai seorang ulama, Gus Dur nyaris
menghabiskan waktunya di jalan dakwah, tapi bukan dakwah yang berapi-api
untuk menghasut dan memprovokasi umat, melainkan dakwah kerukunan dan
perdamaian.
Batasan amar makruf
Di internal umat
Islam, ada beberapa ajaran yang oleh sebagian pihak dianggap membenarkan
dakwah dengan cara kekerasan. Salah satunya ialah ajaran tentang amar makruf
(menyeru pada kebaikan) dan nahi mungkar (menghindari kekerasan) yang sangat
dianjurkan dalam Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW. Atas dasar ajaran itu,
terdapat kelompok tertentu dalam Islam yang tak lagi memedulikan cara
menegakkan ajaran tersebut. Apakah dengan cara kekerasan atau tidak?
Itulah yang disebut
Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama) sebagai gerakan
memakrufkan kemungkaran dan memungkarkan kemakrufan. Istilah itu digunakan
Hadratus Syeikh sebagai kritik terhadap gerakan keagamaan yang cenderung
menggunakan cara-cara kekerasan dalam berdakwah (Piagam Perjuangan
Kebangsaan, 2011: 46).
Apa yang disampaikan
dua ulama terkemuka Jamaah Islamiyah Mesir yang sudah bertobat dari dakwah
bernuansa kekerasan, Syeikh Ali Muhammad Ali Syarif dan Syeikh Usamah Ibrahim
Hafiz, menarik untuk diperhatikan bersama.
Dalam sebuah buku berjudul An-Nushuh wa At-Tabyin fi Tashihi Mafahimi
Al-Muhtasibin (Nasihat bagi Para Penegak Amar Makruf Nahi Mungkar), kedua
ulama tersebut menegaskan penegakan ajaran amar makruf dan nahi mungkar harus
mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan. Sekiranya akan menimbulkan
kemungkaran yang lain, penegakan ajaran tersebut tidak boleh dilakukan.
Terlebih lagi bila kemungkaran tersebut menimbulkan kekerasan dengan
mengorbankan mereka yang tidak bersalah.
Hal itu sesuai dengan
salah satu kaidah dalam hukum Islam yang berbunyi, dar`ul mafasid muqaddamun
‘ala jalbil mashaleh (menghindari kemudaratan harus diutamakan atas kehendak
melipatgandakan kebaikan). Sejalan dengan kaidah tersebut, gerak dakwah dalam
Islam harus lebih mempertimbangkan dampak buruknya daripada kehendak
melipatgandakan kebaikan yang dicitacitakan. Kebaikan yang dicitacitakan
menjadi tak bermakna bila hal itu dilakukan dengan cara-cara yang justru
menimbulkan keburukan.
Pesan kurang lebih
sama juga disampaikan Imam Al-Ghazali yang menjadi anutan mayoritas umat
Islam di Indonesia. Dalam kitabnya, Ihya' Ulumiddin, Imam Al-Ghazali memberi
batasan yang jelas dalam menghadapi kemungkaran, yaitu kemungkaran yang
tampak kasatmata di depan umum. Kemungkaran yang ada di dalam gedung ataupun
di area terbatas tidak bisa diganggu (apalagi dibubarkan) atas nama penegakan
amar makruf dan nahi mungkar. Islam melarang keras umatnya mencari-cari (wala
tajassasu) dan menyebarkan kesalahan orang lain (QS Al-Hujurat [49]: 12).
Sebaliknya Islam menyediakan surga bagi mereka yang sudi menutupi aib/atau
keburukan orang lain.
Untuk memperkuat
pandangan tersebut, Imam Al-Ghazali melansir suatu riwayat penegakan amar
makruf dan nahi mungkar yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab dengan cara
mengintip suatu rumah. Orang yang di dalam rumah kemudian menegur sahabat
Umar dengan mengatakan, “Mungkin saya
memang melakukan satu kemungkaran, tapi dengan cara penegakan amar makruf dan
nahi mungkar seperti ini, Tuan Khalifah telah melakukan tiga kesalahan
sekaligus. Pertama, mencari-cari kesalahan orang yang dilarang dalam Islam
(QS Al-Hujurat [49]: 12). Kedua, mendatangi rumah orang lain tanpa melalui
pintu (QS Al-Baqarah [2]: 189) (dalam riwayat ini sahabat Umar dikisahkan
mengintip dari atap rumah). Ketiga, men datangi rumah orang tanpa mengucapkan
salam. Padahal Islam mengajarkan agar umatnya senantiasa mengucapkan salam,
khususnya ketika hendak mendatangi rumah orang lain (QS An-Nur [24]: 27).“
Apa yang disampaikan
para ulama di atas penting untuk diperhatikan sebagai batasan dalam penegakan
ajaran amar makruf dan nahi mungkar, khususnya bagi mereka yang gemar
melakukan penegakan ajaran itu yang tidak jarang berakhir dengan aksi
anarkistis, mengingat kemungkaran laiknya `penyakit warisan' yang senantiasa
ada di dalam perjalanan panjang peradaban umat manusia. Bahkan kemungkaran
juga terdapat di masa hidup para manusia pilihan, termasuk para nabi
sekalipun.
Tanpa memperhatikan
batasan-batasan itu, kemungkaran akan terus melahirkan kemungkaran yang lain.
Begitu seterusnya hingga mereka yang mengklaim menegakkan ajaran itu justru
terjebak dalam perbuatan memakrufkan kemungkaran, bahkan memungkarkan
kemakrufan.
Gus Dur telah
memberikan keteladanan luhur dalam mendakwahkan ajaran-ajaran agama secara
damai, baik dalam konteks eksternal yang bersifat antaragama maupun dalam
konteks internal yang bersifat intraagama. Semoga kebesaran perjuangan Gus
Dur tak hanya kita kenang setiap saat, tetapi kita wujudkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Atas semua perjuangan luhurnya kepada umat manusia
secara umum dan bangsa Indonesia secara khusus, mari kita doakan almarhum Gus
Dur. Semoga beliau diterima di sisi Allah SWT dan kita mampu menjalankan
keteladanannya, terutama dalam menyemai perdamaian. Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar