Ekonomi
2014 : Cenderung Kontraksi
Anthony Budiawan ; Rektor Kwik Kian Gie School of
Business
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Desember 2013
EKONOMI Indonesia 2013
melemah cukup signifikan ketimbang perkiraan awal. Pada APBN 2013, pemerintah
memperkirakan tingkat pertumbuhan ekonomi kita 6,8% dan nilai tukar rupiah
Rp9.300 per dolar AS. Pada perubahan APBN (APBN-P) 2013, prakiraan
pertumbuhan ekonomi diturunkan menjadi 6,3% dan nilai tukar rupiah menjadi
Rp9.600 per dolar AS. Akan tetapi, realisasi kinerja ekonomi 2013 dipastikan
jauh di bawah itu, yaitu 5,5%–5,8% saja. Sementara itu, realisasi nilai tukar
rupiah bahkan jauh lebih buruk lagi. Pada 27 Desember 2013, nilai tukar
rupiah tercatat Rp12.321 per dolar AS (kurs jual Bank Indonesia/BI). Di
samping itu, defi sit neraca perdagangan dan defi sit transaksi berjalan tahun
ini juga semakin memburuk ketimbang 2012.
Kepanikan ekonomi di
2013 membuat BI menaikkan suku bunga acuan (BI rate) hingga lima kali selama
kurun waktu lima bulan, terhitung Juni sampai November 2013. BI rate saat ini
sebesar 7,5%, dan mungkin masih dapat naik lagi mengingat nilai tukar rupiah
masih cenderung melemah terus. Jika melihat kondisi perekonomian seperti ini,
bagaimana prospek ekonomi 2014, apakah akan membaik atau masih akan
melanjutkan tren penurunan 2013?
Pemerintah sepertinya
sangat optimistis terhadap ekonomi 2014. Tren penurunan ekonomi tahun ini
tidak menghalangi pemerintah untuk memprediksi ekonomi tahun depan akan lebih
baik. Pemerintah memperkirakan ekonomi kita akan bertumbuh 6,0% pada 2014
seperti tertuang di APBN 2014. Pemerintah juga memperkirakan nilai tukar
rupiah akan menguat menjadi Rp10.500 per dolar AS. Seperti halnya pemerintah,
BI juga menaruh optimisme cukup besar pada perekonomian kita tahun depan
dengan perkiraan pertumbuhan 5,8%–6,2%. Sementara itu, Bank Dunia dan IMF
(International Monetary Fund) cukup berhati-hati dalam meramal perekonomian
kita 2014, yaitu 5,4% dan 5,3%. Dengan demikian, terjadi perbedaan prediksi
yang cukup besar antara prediksi local institutions jika dibandingkan dengan
prediksi world institutions.
Menurut saya,
pemerintah dan BI terlalu optimistis dengan prediksi mereka. Jika melihat
perkembangan indikator ekonomi makro terkini yang serbatidak mendukung
pertumbuhan, timbul pertanyaan besar apakah mungkin ekonomi 2014 akan lebih
baik daripada 2013? Pada beberapa kesempatan, Kementerian Keuangan dan BI
bahkan mengakui bahwa ekonomi kita akan mengalami pelambatan (yang memang
disengaja melalui kebijakan moneter ketat).
Lalu, bagaimana
mungkin pelambatan ekonomi yang disengaja ini dapat menciptakan pertumbuhan
yang lebih baik daripada tahun ini? Oleh karena itu, prediksi ekonomi 2014
versi local institutions bukan saja terlalu optimistis, melainkan juga
kontradiktif antara fakta kebijakan dan perbuatan (baca: prediksi);
kebijakannya pelambatan ekonomi, tetapi prediksinya pertumbuhan meningkat.
Bukankah itu kontradiktif?
Bagaimana ekonomi 2014?
Untuk itu, mari kita
lihat faktor apa saja yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi agar kita dapat
melihat prediksi ekonomi menjadi lebih transparan. Pertama, BI rate dan suku
bunga pinjaman 2014 akan jauh lebih tinggi daripada 2013, dengan kemungkinan
BI rate ini masih akan naik lagi pada awal tahun depan. Hal itu tentu saja
akan membuat pertumbuhan ekonomi 2014 melambat; pertumbuhan kredit berkurang,
investasi melambat. Di samping itu, penaikan suku bunga juga akan menahan
laju pertumbuhan konsumsi masyarakat karena suku bunga yang tinggi cenderung
membuat masyarakat menunda konsumsi dan lebih memilih menabung.
Sektor
perumahan dan otomotif akan terkena dampak yang cukup serius, selain
barang-barang tahan lama lainnya (durable
goods) yang biasanya dibeli dengan cara kredit. Pertumbuhan konsumsi
masyarakat 2014 akan melambat.
Bagaimana dengan nilai
tukar rupiah? Merosotnya nilai tukar rupiah dapat memberi dampak positif dan
negatif terhadap perkembangan ekonomi. Dampak negatifnya, akan membuat harga
barang yang mempunyai komponen impor akan menjadi lebih mahal. Sekali lagi,
konsumsi akan tertahan. Dampak positifnya, merosotnya nilai tukar rupiah akan
membuat permintaan impor berkurang dan permintaan ekspor naik.
Artinya,
rupiah yang murah akan memperbaiki neraca perdagangan. Dan, itu diperlukan
untuk mengurangi defisit neraca perdagangan yang cenderung melemah terus.
Namun, defisit neraca perdagangan juga tergantung dari perkembangan harga
komoditas utama ekspor kita, khususnya kelapa sawit (CPO), batu bara, dan
karet.
Saya perkirakan harga komoditas ekspor tersebut masih akan tertekan
akibat pengurangan stimulus (QE tapering) oleh The Fed (Bank Sentral AS)
yang, menurut saya, masih akan berlanjut di 2014.
Dari uraian itu
terlihat tidak ada alasan kuat ekonomi 2014 akan lebih baik daripada 2013.
Satu-satunya alasan yang cukup masuk akal ialah perkiraan membaiknya
perekonomian dunia, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang diharapkan
akan meningkatkan permintaan ekspor. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor
itu, saya perkirakan ekonomi 2014 hanya akan bertumbuh sekitar 4,5%-5,0%.
Amat mungkin tapering off tahap II akan berlanjut lagi di semester I 2014,
yang akan mengakibatkan nilai tukar rupiah merosot lagi, akan berada pada
kisaran Rp12.000–Rp13.500 per dolar AS, setidak-tidaknya untuk semester
pertama 2014. Kalau BI rate naik lagi, pertumbuhan ekonomi 2014 dapat
terancam menjadi lebih buruk lagi.
Pesta demokrasi
Banyak pihak berpendapat pesta
demokrasi 2014 akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lumayan, dan ada
yang memperkirakan dapat mencapai hingga 0,3%. Menurut saya, hal itu sangat
berlebihan dan penuh dengan spekulasi. Untuk memperoleh pertumbuhan 0,1%
mungkin diperlukan sekitar Rp45 triliun tambahan konsumsi netto (= konsumsi
baru). Artinya, bukan dari peningkatan konsumsi yang berasal dari substitusi
atau pengalihan konsumsi lainnya. Semua pengeluaran pemilu yang berasal dari
dana APBN tidak akan menambah pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, belanja KPU
tidak menambah pertumbuhan ekonomi. Belanja partai yang berasal dari APBN
juga tidak menambah pertumbuhan ekonomi.
Belanja kampanye calon legislatif juga tidak
menambah pertumbuhan ekonomi apabila belanja tersebut hanya substitusi dari
belanja lainnya saja, bukan dari savings mereka. Sejauh ini, kebijakan
ekonomi pemerintah, baik moneter maupun fiskal, tidak terlihat dapat
menstimulasi ekonomi. Kebijakan tersebut cenderung kontraksi melalui
kebijakan uang ketat dengan menaikkan suku bunga cukup tinggi. Kita hanya
bisa berharap agar harga komoditas bisa segera naik lagi sehingga dapat
mengurangi defisit neraca perdagangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar