Minggu, 05 Januari 2014

Ekonomi 2014 : Cenderung Kontraksi

                       Ekonomi 2014 : Cenderung Kontraksi

Anthony Budiawan  ;   Rektor Kwik Kian Gie School of Business
MEDIA INDONESIA,  31 Desember 2013

                                                                                                                       


EKONOMI Indonesia 2013 melemah cukup signifikan ketimbang perkiraan awal. Pada APBN 2013, pemerintah memperkirakan tingkat pertumbuhan ekonomi kita 6,8% dan nilai tukar rupiah Rp9.300 per dolar AS. Pada perubahan APBN (APBN-P) 2013, prakiraan pertumbuhan ekonomi diturunkan menjadi 6,3% dan nilai tukar rupiah menjadi Rp9.600 per dolar AS. Akan tetapi, realisasi kinerja ekonomi 2013 dipastikan jauh di bawah itu, yaitu 5,5%–5,8% saja. Sementara itu, realisasi nilai tukar rupiah bahkan jauh lebih buruk lagi. Pada 27 Desember 2013, nilai tukar rupiah tercatat Rp12.321 per dolar AS (kurs jual Bank Indonesia/BI). Di samping itu, defi sit neraca perdagangan dan defi sit transaksi berjalan tahun ini juga semakin memburuk ketimbang 2012.

Kepanikan ekonomi di 2013 membuat BI menaikkan suku bunga acuan (BI rate) hingga lima kali selama kurun waktu lima bulan, terhitung Juni sampai November 2013. BI rate saat ini sebesar 7,5%, dan mungkin masih dapat naik lagi mengingat nilai tukar rupiah masih cenderung melemah terus. Jika melihat kondisi perekonomian seperti ini, bagaimana prospek ekonomi 2014, apakah akan membaik atau masih akan melanjutkan tren penurunan 2013?

Pemerintah sepertinya sangat optimistis terhadap ekonomi 2014. Tren penurunan ekonomi tahun ini tidak menghalangi pemerintah untuk memprediksi ekonomi tahun depan akan lebih baik. Pemerintah memperkirakan ekonomi kita akan bertumbuh 6,0% pada 2014 seperti tertuang di APBN 2014. Pemerintah juga memperkirakan nilai tukar rupiah akan menguat menjadi Rp10.500 per dolar AS. Seperti halnya pemerintah, BI juga menaruh optimisme cukup besar pada perekonomian kita tahun depan dengan perkiraan pertumbuhan 5,8%–6,2%. Sementara itu, Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund) cukup berhati-hati dalam meramal perekonomian kita 2014, yaitu 5,4% dan 5,3%. Dengan demikian, terjadi perbedaan prediksi yang cukup besar antara prediksi local institutions jika dibandingkan dengan prediksi world institutions.

Menurut saya, pemerintah dan BI terlalu optimistis dengan prediksi mereka. Jika melihat perkembangan indikator ekonomi makro terkini yang serbatidak mendukung pertumbuhan, timbul pertanyaan besar apakah mungkin ekonomi 2014 akan lebih baik daripada 2013? Pada beberapa kesempatan, Kementerian Keuangan dan BI bahkan mengakui bahwa ekonomi kita akan mengalami pelambatan (yang memang disengaja melalui kebijakan moneter ketat).

Lalu, bagaimana mungkin pelambatan ekonomi yang disengaja ini dapat menciptakan pertumbuhan yang lebih baik daripada tahun ini? Oleh karena itu, prediksi ekonomi 2014 versi local institutions bukan saja terlalu optimistis, melainkan juga kontradiktif antara fakta kebijakan dan perbuatan (baca: prediksi); kebijakannya pelambatan ekonomi, tetapi prediksinya pertumbuhan meningkat. Bukankah itu kontradiktif?

Bagaimana ekonomi 2014?

Untuk itu, mari kita lihat faktor apa saja yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi agar kita dapat melihat prediksi ekonomi menjadi lebih transparan. Pertama, BI rate dan suku bunga pinjaman 2014 akan jauh lebih tinggi daripada 2013, dengan kemungkinan BI rate ini masih akan naik lagi pada awal tahun depan. Hal itu tentu saja akan membuat pertumbuhan ekonomi 2014 melambat; pertumbuhan kredit berkurang, investasi melambat. Di samping itu, penaikan suku bunga juga akan menahan laju pertumbuhan konsumsi masyarakat karena suku bunga yang tinggi cenderung membuat masyarakat menunda konsumsi dan lebih memilih menabung. 

Sektor perumahan dan otomotif akan terkena dampak yang cukup serius, selain barang-barang tahan lama lainnya (durable goods) yang biasanya dibeli dengan cara kredit. Pertumbuhan konsumsi masyarakat 2014 akan melambat.

Bagaimana dengan nilai tukar rupiah? Merosotnya nilai tukar rupiah dapat memberi dampak positif dan negatif terhadap perkembangan ekonomi. Dampak negatifnya, akan membuat harga barang yang mempunyai komponen impor akan menjadi lebih mahal. Sekali lagi, konsumsi akan tertahan. Dampak positifnya, merosotnya nilai tukar rupiah akan membuat permintaan impor berkurang dan permintaan ekspor naik. 

Artinya, rupiah yang murah akan memperbaiki neraca perdagangan. Dan, itu diperlukan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan yang cenderung melemah terus. Namun, defisit neraca perdagangan juga tergantung dari perkembangan harga komoditas utama ekspor kita, khususnya kelapa sawit (CPO), batu bara, dan karet. 

Saya perkirakan harga komoditas ekspor tersebut masih akan tertekan akibat pengurangan stimulus (QE tapering) oleh The Fed (Bank Sentral AS) yang, menurut saya, masih akan berlanjut di 2014.

Dari uraian itu terlihat tidak ada alasan kuat ekonomi 2014 akan lebih baik daripada 2013. Satu-satunya alasan yang cukup masuk akal ialah perkiraan membaiknya perekonomian dunia, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang diharapkan akan meningkatkan permintaan ekspor. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor itu, saya perkirakan ekonomi 2014 hanya akan bertumbuh sekitar 4,5%-5,0%. Amat mungkin tapering off tahap II akan berlanjut lagi di semester I 2014, yang akan mengakibatkan nilai tukar rupiah merosot lagi, akan berada pada kisaran Rp12.000–Rp13.500 per dolar AS, setidak-tidaknya untuk semester pertama 2014. Kalau BI rate naik lagi, pertumbuhan ekonomi 2014 dapat terancam menjadi lebih buruk lagi.

Pesta demokrasi

Banyak pihak berpendapat pesta demokrasi 2014 akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lumayan, dan ada yang memperkirakan dapat mencapai hingga 0,3%. Menurut saya, hal itu sangat berlebihan dan penuh dengan spekulasi. Untuk memperoleh pertumbuhan 0,1% mungkin diperlukan sekitar Rp45 triliun tambahan konsumsi netto (= konsumsi baru). Artinya, bukan dari peningkatan konsumsi yang berasal dari substitusi atau pengalihan konsumsi lainnya. Semua pengeluaran pemilu yang berasal dari dana APBN tidak akan menambah pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, belanja KPU tidak menambah pertumbuhan ekonomi. Belanja partai yang berasal dari APBN juga tidak menambah pertumbuhan ekonomi.

Belanja kampanye calon legislatif juga tidak menambah pertumbuhan ekonomi apabila belanja tersebut hanya substitusi dari belanja lainnya saja, bukan dari savings mereka. Sejauh ini, kebijakan ekonomi pemerintah, baik moneter maupun fiskal, tidak terlihat dapat menstimulasi ekonomi. Kebijakan tersebut cenderung kontraksi melalui kebijakan uang ketat dengan menaikkan suku bunga cukup tinggi. Kita hanya bisa berharap agar harga komoditas bisa segera naik lagi sehingga dapat mengurangi defisit neraca perdagangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar