Semiotik
Politik Terimakasih
Stanislaus Sandarupa ; Dosen
Antropolinguistik
pada Fakultas Ilmu-ilmu Budaya, Unhas
|
KOMPAS,
18 Januari 2014
WALAUPUN ditahan
KPK, Anas Urbaningrum tetap mengucapkan terima kasih yang ditujukan kepada
sejumlah pihak. Tidak ada satu ahli komunikasi politik pun yang
menginterpretasinya dalam makna denotasi. Lalu, masyarakat juga bertanya-tanya:
makna apakah sebenarnya yang berada di belakang terima kasih itu?
Dalam bahasa dibedakan
makna denotasi dan makna konotasi. Makna denotasi merujuk makna kata atau
makna kamus, sedangkan makna konotasi adalah sejumlah makna tambahan pada
makna denotasi. Misalnya, makna denotasi Mercedes adalah mobil dengan buatan khusus.
Karena mobil ini luks dan mahal, maka masyarakat memberinya makna konotasi
’kekayaan, kemewahan, dan status’.
Ucapan terima kasih terdapat dalam berbagai budaya dan
bahasa di dunia. Walaupun berbeda-beda, makna denotasinya kurang lebih sama,
yaitu ’ucapan syukur atau ucapan balas budi setelah menerima kebaikan dari
seseorang’.
Berdasarkan pemahaman itu, ucapan terima kasih Anas tidaklah
merupakan ucapan syukur yang tulus atas apa yang didapatkannya. Terima kasih
dan penahanan tidak koheren. Lalu makna apakah yang dimasukkan Anas ke
dalamnya?
Untuk memahami hal ini
teori semiotik Peirce membantu. Peirce melihat kata, frasa, ujaran, dan
wacana sebagai tanda. Bagi Peirce, tanda terlibat dalam suatu proses semiosis
triadik.
Tanda terhubungkan dengan
obyeknya lewat sebuah ide atau konsep. Obyek bisa berarti benda-benda,
kelompok benda, bahkan konsep. Yang menarik di sana adalah hakikat hubungan
antara tanda dan obyek. Apabila dibandingkan dengan semiologi Saussure yang
melihat hubungan antara kata dan konsep (obyek) sebagai sebuah koin yang
punya dua sisi yang tak terpisahkan, Peirce malah melihat adanya keterpisahan
antara keduanya. Keterpisahan semacam itu disebut ruptur.
Dalam hal ini semiologi
Saussure akan melihat ucapan terima kasih Anas sebagai kesalahan dalam
berbahasa. Ia mempertahankan makna harfiah sebuah kata. Semiotik Peirce, pada
pihak lain, mengatakan karena adanyaruptur antara
kata dan benda, ucapan terima kasih dapat diisi dengan makna apa saja. Hal
ini menunjukkan kebebasan manusia dalam memakai tanda dan kebebasan mengisi
makna apa saja ke dalam sebuah kata.
Di sini Peirce
mempertahankan makna penutur yang berbeda dari makna kata. Jadi, makna apakah
yang ada di belakang kepala Anas ketika memakai ungkapan terima kasih itu?
Jujur, untuk mengetahui
hal itu hanya Anas-lah yang bisa menjawabnya. Namun, dalam semiotik dikenal
ungkapan the death of author,
’kematian seorang pengarang’. Karena telah dilempar ke ruang publik, makna
pengarang dinyatakan tidak berlaku dan hak pendengar dan pembaca untuk
menggerakkan interpretan sebagai tanda yang diterima dan
memaknainya.
Masyarakat politik
menginterpretasinya secara bermacam-macam. Walaupun setiap penutur bebas
memasukkan makna ke dalam interpretasinya, yang terpenting diingat ialah
menghindari interpretasi yang sangat individualistis dan berpihak kepada yang
konvensional. Selain itu, sebuah interpretasi harus mempunyai dasar ilmiah
empiris.
Terima kasih
bertingkat
Ucapan terima kasih Anas
diatur secara bertingkat. Ucapan terima kasih pertama-tama ditujukan kepada
satu kelompok orang, yaitu Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham
Samad serta tim penyidik dan penyelidik KPK. Kemudian, kepada (Presiden) SBY
ia mengatakan: ”Di atas segalanya, saya berterima kasih yang besar kepada Pak
SBY. Mudah-mudahan peristiwa ini punya arti, punya makna, dan jadi hadiah
Tahun Baru 2014” (Kompas, 11/1/14).
Penataan penyebutan satu
per satu penerima ucapan terima kasih mengindeks pengategorisasian kedua
kelompok ini ke dalam satu kelompok saja. Walaupun ia berada dalam konteks
hukum, kedua kelompok dikategorikan sebagai kelompok politisi atau tepatnya
kelompok politisi yang mengatasnamakan hukum. Diyakini, unsur politiklah yang
menyeretnya ke ranah hukum yang kemudian akan menghancurkan karier politik.
Kedua kelompok ini jadi lawan bicaranya yang juga jadi lawan politiknya.
Karena itu, dia ragu apakah ia akan mendapatkan keadilan.
Penambahan kata-kata ’yang
lain-lain nanti saja’ mungkin menunjuk pada halaman-halaman penting berikutnya.
Karena lawan politiknya memakai politik untuk menjerumuskannya ke hukum,
kemungkinan metode ini yang dipakainya. Anas dikenal pandai memakai senjata
lawan.
Dapat diduga, seperti kata
para ahli komunikasi politik di satu stasiun televisi swasta, ia akan
memanfaatkan sidang pengadilan untuk mengungkap kebenaran tentang aliran uang
Hambalang yang mengalir ke Cikeas. Tentu saja ini suatu pernyataan politis
yang akan menyeret lawan politiknya ke ranah hukum dengan tujuan
menghancurkan karier politiknya.
Kalau tujuan itu tercapai,
penahanannya boleh jadi diterimakasihi secara tulus, apalagi setelah menunggu
statusnya sebagai tersangka terlalu lama sejak setahun. Pembeberan
keterlibatan Cikeas di pengadilan mungkin akan menghancurkan karier politik
mereka, apalagi kalau bisa terlaksana sebelum April 2014.
Pedang bermata dua
Ucapan terima kasih
semacam ini mengingatkan saya pada satu adegan di sebuah film koboi pada era
1970-an. Dalam salah satu adegan di film itu, seorang koboi mengucapkan
terima kasih kepada bosnya dengan meninju sang pemimpin.
Lalu, apakah kehebatan
politik terima kasih bertingkat ini? Secara semiotik kehebatannya terletak
pada tatanan di mana makna politik berkendaraan di atas makna denotasi.
Keduanya melakukan kerja berbeda, membangun suatu ambiguitas efektif dalam
penyerangan politik. Apabila makna politik berfungsi ’menghancurkan’ lawan
secara sinis, makna denotasi mengokohkan diri dengan merendah (biarpun
ditahan aku terima kasih juga). Dalam penyerangan ada ke-alus-an.
Terima kasih adalah pedang
bermata dua yang dipakai dalam perang simbolis para politisi di permulaan
tahun politik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar