Memupus
Radikalisme Kaum Muda
Zuly Qodir ; Sosiolog UMY dan
Jemaah Muhammadiyah;
Peneliti Senior Maarif Institute
|
KOMPAS,
18 Januari 2014
DI saat
sebagian masyarakat tengah merayakan pergantian tahun dari 2013 ke 2014, kita
dikejutkan oleh adanya penangkapan sejumlah orang yang diduga teroris di
Ciputat, Banten.
Lima teroris
ditembak mati Densus 88 setelah terjadi baku tembak. Kelompok teroris Ciputat
diduga bagian dari aktivis jemaah teroris yang berkeliaran di Indonesia,
seperti di Banyumas, Surakarta, Poso, Ambon, dan Makassar.
Kasus-kasus
pengeboman dan perusakan rumah ibadah yang dilakukan kaum muda dalam lima
tahun terakhir adalah fenomena sosial yang tidak bisa kita anggap sederhana
oleh kaum beriman di Indonesia. Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian
menunjukkan, gerakan radikalisme di Indonesia tahun 2012 mengalami
peningkatan tajam sehingga sangat mengkhawatirkan publik di Indonesia.
Ruang publik
keagamaan mendapatkan tantangan sangat serius dari hadirnya gerakan
radikalisme yang negatif, yang dilakukan kaum muda. Oleh sebab itu, ia harus
jadi perhatian banyak pihak yang memiliki kepedulian dalam gerakan antariman
dan perdamaian antarumat beriman di Indonesia.
Radikalisme
negatif merupakan paham keagamaan yang mengkhawatirkan keutuhan bangsa
Indonesia. Suatu gerakan radikalisme yang dipahami sebagai sebuah gerakan
jihad oleh sekelompok umat beragama (Islam) di Indonesia, sekalipun pemahaman
jihad seperti itu masih dapat diperdebatkan karena sejatinya mendistorsi
pemahaman tentang jihad itu sendiri.
Sekalipun
pemahaman jihad tersebut menyebabkan distorsi agama itu sendiri, tetap saja
sebagian dari para penganut agama (mayoritas) sering kali melakukan perbuatan
yang mendistorsi itu sebagai gerakan ”pembelaan dan menjaga Tuhan”. Sungguh
merupakan persoalan pemahaman keagamaan yang harus mendapatkan perhatian agar
tak meluas di seantero Indonesia.
Saat ini
pendekatan monolitik, hanya sacred
textual, perlu mendapatkan perhatian. Kehadiran teks Kitab Suci beberapa abad
yang lalu tentu tidak bebas konteks. Jika pemahaman atas konteks sosial
historis tidak dilakukan, pemahaman keagamaan kita niscaya akan mengalami
kemunduran dan dapat berdampak fatal dalam beragama.
Oleh sebab
itu, pendekatan- pendekatan humanistik, melihat konteks sosial historis dan
multi- disiplin, tak bisa dielakkan untuk pemahaman teks suci keagamaan
sekarang dan mendatang. Pendekatan multidisplin yang mengutamakan pendekatan
kemanusiaan—karena mempertimbangkan banyak disiplin ilmu pengetahuan, seperti
ilmu sosial humaniora, psikologis, sejarah, dan filsafat—perlu
dipertimbangkan.
Toleransi
altruistik
Sosiolog Emile
Durkheim (Suicide, 1954) menyatakan bahwa seseorang dalam beragama dapat
melakukan aktivitas bunuh diri altruistik. Sebuah bunuh yang dilakukan para
penganut agama karena keyakinannya pada paham yang dianutnya.
Dari paham
yang dianut, seseorang dan kelompok beragama dalam masyarakat yang melakukan
bunuh diri dianggap sebagai ”alternatif beragama” untuk mencapai tujuan
mulia. Kasus bunuh diri massal di Texas, Amerika Serikat, dan bunuh diri
massal di Jepang oleh sekte Aum Shinry Kyo adalah contoh.
Toleransi
altruistik adalah sebuah gagasan dan gerakan toleransi yang mendasarkan pada
keyakinan dan pemahaman bahwa menghargai, menghormati, dan melihat orang lain
sebagai sesama orang atau kelompok harus mendapatkan simpati dan empati.
Bukan justru mendapatkan perlawanan, diskriminasi, apalagi kekerasan.
Pendek kata,
toleransi altruistik merupakan pemahaman dan gerakan keagamaan yang
menghindari adanya aktivitas menyakiti pihak lain, yang menekan adanya nafsu
yang ada pada diri dan kelompoknya sendiri. Oleh sebab itu, seseorang dan
kelompok beragama yang memiliki sikap toleransi altruistik berusaha menciptakan
kedamaian, keselamatan, dan mengayomi pihak lain yang berbeda sebagai
kewajiban.
Indonesia
sebagai negara yang beragam agama dan paham keagamaan, baik intern maupun
ekstern, harus berani memiliki paham dan gerakan toleransi altruistik yang
mampu mendasari gerakan antar-iman untuk menumbuhkan kedamaian di bumi
Indonesia berlandaskan keyakinan keagamaan.
Sudah saatnya
umat beragama mengembangkan paham toleransi altruistik agar bangsa ini tidak
terpuruk karena pertengkaran, kegaduhan, dan kekacauan yang didasarkan pada
motif-motif keagamaan. Bahkan secara khusus, umat Islam sebagai mayoritas
harus menjadi contoh umat agama lain, yang jumlah pengikutnya di bawahnya,
dalam pengembangan toleransi altruistik.
Sementara itu,
kaum minoritas, seperti Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu, serta agama- agama
lokal juga harus bersama- sama dengan umat mayoritas menjaga secara
sungguh-sungguh toleransi altruistik sehingga bangsa ini benar-benar jadi
contoh dunia dalam gerakan membangun kedamaian yang berbasis keagamaan. Dari
sana kita berharap radikalisme keagamaan di kalangan kaum muda dapat
diminalkan, kalaupun tidak dapat dihapuskan sama sekali.
Kaum muda jadi
perhatian dalam gerakan membendung radikalisme keagamaan. Sebab, kaum muda
merupakan segmen masyarakat paling mudah terpengaruh paham keagamaan yang
dianggapnya ”baru” sehingga kaum muda tertarik untuk mengikuti sekalipun
akhirnya harus mengorbankan dirinya sebagai martir. Martir itulah yang dalam
bahasa Emile Durkheim sebagai bunuh diri altruistik karena keyakinan yang
diterima dari para mentor, para guru, dan pemberi nasihat keagamaan. Akankah
kaum muda kita dijadikan martir dalam beragama? Harusnya tidak demikian sebab
masa depan ada di tangan kaum muda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar