Mencoba
Menjadi Negara Sehat
Menaldi Rasmin ; Guru Besar Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;
Ketua Konsil Kedokteran Indonesia
|
KOMPAS,
18 Januari 2014
APABILA mengacu pada Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), yang dimaksud sehat adalah sehat jasmani, rohani, dan
sosial.
Mungkin secara umum dapat
diterjemahkan sebagai kesehatan fisik (sehat), kemampuan intelegensi, etika,
moral, dan kehidupan yang aman sejahtera. Jelas, sehat secara fisik yang
harus didahulukan agar mampu bersekolah atau mengenyam pendidikan dan
berujung pada hidup sejahtera.
Maka, kesehatan fisik, bukan saja
merupakan kebutuhan individual, melainkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 pun termaktub peran negara untuk menyehatkan masyarakatnya.
Sistem layanan kesehatan
Sejumlah upaya dilakukan untuk
itu. Dimulai sejak gerakan pemberantasan malaria oleh Presiden Soekarno
sebagai cikal bakal Hari Kesehatan Nasional, penetapan Inpres 1974 oleh
Presiden Soeharto yang mampu membangun akses masyarakat kepada dokter melalui
sekitar 8.000 puskesmas (saat itu) meski dengan jumlah lulusan dokter baru
yang hanya sekitar 4.000 dokter per tahun dibandingkan dengan sekitar 8.000
dokter baru pada masa kini.
Sekarang, kita sedang memasuki era
baru jaminan kesehatan nasional, mulai 1 Januari 2014. Beragam berita sudah
dikumandangkan, sejumlah pembenahan dan penyesuaian terus dilakukan.
Belakangan ini mulai terdengar suara tentang keyakinan, juga keraguan
terhadap kelancaran program yang seharusnya baik ini. Ada beberapa faktor
yang membuat keraguan muncul menyertai banyaknya pemberitaan bernada
optimistis.
Kehidupan konstitusi saat ini
berperan besar untuk menjawab pertanyaan di atas. Kementerian Kesehatan saat
ini bukan pengendali pusat pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Melalui
regulasi dan pengawasan yang dilakukan, Kementerian Kesehatan hanya dapat
berharap bahwa kebijakan yang dikeluarkan sebenarnya akan dilaksanakan di
tingkat provinsi, kabupaten, atau kota.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah memungkinkan interpretasi yang tidak sama
terhadap kebijakan kementerian. Ini terlihat dari berbagai macam pola
perekrutan tenaga kesehatan, kualifikasi yang kerap terdengar tidak pas,
kantor yang melakukan perizinan terkait layanan kesehatan dan jenjang rujukan
layanan kesehatan yang tidak jalan.
Bukankah sering terdengar berita
pasien dari daerah terkatung-katung mencari pelayanan kesehatan di kota
besar? Inilah salah satu contoh sederhana bahwa jenjang rujukan layanan
kesehatan masih belum berjalan baik.
Infrastruktur belum memadai
Yang lebih menyedihkan adalah alat
dan kelengkapan di setiap unit layanan kesehatan yang ada di seluruh wilayah
Tanah Air ini tidak sama. Marak dan ”laku”-nya program layanan yang dilakukan
bantuan negara asing dalam bentuk bakti sosial sebenarnya menunjukkan
kekurangan dalam kemampuan infrastruktur pusat-pusat layanan kesehatan
tersebut.
Jangankan bicara rumah sakit
bertipe sama, alat dan kelengkapan sesama puskesmas antarwilayah di Indonesia
saja bisa berbeda-beda jumlah dan masa pakainya. Padahal, menangani manusia
seharusnya semua dilakukan dengan standar alat dan kelengkapan terbaik.
Dokter adalah warga negara
biasa yang tidak kebal hukum. Namun, pemahaman tentang ini harus utuh.
Dokter memang dicetak selama 5-6 tahun masa pendidikannya untuk terjun
ke dalam situasi kritis terkait nyawa manusia, mencoba mengambil peran
di sana untuk membantu. Latihan berpikir kritis, keberanian bersikap,
mengambil keputusan, dan mempertanggungjawabkannya adalah bagian tak
terpisahkan dari pendidikan serta praktik kedokteran yang bertumpu pada
keselamatan pasien (patient safety) yang dipedomani secara universal itu.
Banyaknya syarat untuk membuka
sebuah fakultas kedokteran, syarat seorang dosen kedokteran, syarat menjadi
mahasiswa kedokteran, mengikrarkan Janji Kepaniteraan sebelum memulai tahapan
pendidikan klinik, melakukan Angkat Sumpah Dokter, dilanjutkan dengan
pengukuran kompetensi dan meregistrasinya secara berkala sampai penilaian pelaksanaan
disiplin profesi oleh majelis khusus merupakan ciri sebuah profesi yang amat
bertanggung jawab.
Namun, jika KUHP Pasal 359 dapat
secara luas digunakan pada tindak praktik kedokteran apa pun tanpa batas,
siapa dokter yang berani melakukan pembedahan sebagai bagian dari pengobatan
atau bahkan melakukan sunatan sebagai bagian dari kewajiban beragama? Jika
terjadi defensive medicine, lembaga mana yang berani menyatakan diri
sebagai pemicunya karena defensive
medicine tidak akan terjadi karena instruksi. Itu akan terjadi
spontan sebagai wujud keraguan, ketakutan seorang dokter terhadap ancaman
tidak jelas dan lebih merupakan ”hantu” ketimbang proses pembinaan
profesionalisme.
Bisakah jaminan kesehatan sukses?
Jawabannya: bisa, asal saja negara
memberikan kepastian hukum kepada semua tenaga kesehatan sebagai pendukung
utama pemberian layanan yang berkualitas serta tegas memberikan batasan
kewenangan dan tanggung jawab setiap lembaga yang ada dan terkait agar tidak
campur aduk dalam melaksanakan ranah tugas masing-masing.
Masyarakat juga harus
terus-menerus dididik tentang pengertian bahwa sehat bukanlah semata hak.
Namun, ada tanggung jawab pribadi yang bersangkutan, keluarga mereka,
lingkungan tempat tinggal, sekolah, dan tempat kerja yang membangun suasana
hidup sehat, mencegah penyakit. Selain itu, membantu menyediakan pos-pos
kesehatan sebagai garda terdepan untuk upaya edukasi serta pencegahan sakit
menurunkan jumlah orang sakit, menurunkan penggunaan biaya untuk pengobatan
serta menghilangkan karut-marut layanan yang tidak mengikuti penjenjangan.
Jangan lupa, kesehatan masyarakat
merupakan bagian dari ketahanan nasional, wujud dari daya tahan sebuah bangsa
untuk dapat berdiri sama terhormat di jajaran negara-negara di dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar