Selubung Kartel Parpol
Ahan Syahrul Arifin ; Ketua PB HMI 2013-2015
|
HALUAN,
24 Januari 2014
Artikel ini telah dimuat di KORAN JAKARTA 23 Januari 2014
Reformasi dibarengi pembukaan
keran kebebasan sempat memberi setumpuk harapan. Sekat selama 32 tahun dalam
kekang Orde Baru ambrol. Euforia kebebasan tumbuh bak cendawan di musim
hujan. Partai-partai politik (parpol) bermunculan. Ini menjadi sebuah
konstelasi yang mengingatkan kita pada peta politik pemilu 1955.
Euforia pendirian parpol tidak
bisa dilepaskan dari keterkekangan sejak tahun 1975, melalui UU No 3/1975,
lalu diubah dengan UU No 3/1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Peserta pemilu hanya parpol PPP dan PDI serta Golkar.
Berdasarkan UU No 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik, di Departemen Kehakiman tercatat 93 parpol, namun
hanya 48 parpol yang bisa mengikuti pemilu 7 Juni 1999. Jumlah parpol makin
meningkat menjelang pemilu 2004, yakni mencapai 237. Kemudian, berkurang
menjadi 50 dan hanya 24 yang ikut mengikuti pemilu 2004.
Pada pemilu 2009, peserta
pemilu menjadi 38 dan 4 partai lokal. Sedangkan pada 2014 ini, terdapat 12
parpol dan 3 partai lokal. Reformasi juga memperbanyak ideologi partai, tak
hanya Pancasila. Berdasar ideologi, parpol tak hanya mencantumkan Pancasila
sebagai tujuan dan cita-cita. Ditilik dari warnanya, ideologi partai pada
pemilu 2004 dapat dipilah menjadi enam bagian.
Keenamnya ialah (1) Pancasila
dianut 13 parpol PAN, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK), Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Penegak Demokrasi Indonesia
(PPDI), Partai Karya Peduli Bangsa (PK PB), dan Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB).
Kemudian juga Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Golkar,
Partai Patriot, Partai Sarikat Indonesia (PSI), Partai Persatuan Daerah, dan
Partai Pelopor. (2) Pancasila dan UUD 1945 dianut Partai Buruh Sosial Demorat
(PBSD).
Lalu (3) Pancasila berasaskan
kekeluargaan dan gotong royong dianut Partai Merdeka. (4) Keadilan, Demokrasi
dan Pancasila dianut Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB). (5) Marhaenisme,
ajaran Bung Karno dianut PNI Marhenisme dan Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan (PNBK).
Lalu (6) Islam dianut Partai
Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Persatuan
Nahdlatul Umat Indonesia (PPNUI), Partai Keadailan Sejahtera (PKS) dan
Partai Bintang Reformasi (PBR).
Ideologi disusun dengan maksud
menarik konstituen. Tetapi dalam praktik, hanya cantolan artifisial tanpa
implementasi. Begitu pertarungan dan penggalangan suara usai, kompetisi dengan
sendirinya tutup buku. Semua ingin terlibat dalam penyusunan dan pembentukan
pemerintahan.
Koalisi dibangun. Ideologi tak
jadi soal. Aroma kepentingan kekuasaan terasa lebih kental daripada persaingan.
Ideologi, program, dan platform tak lagi menjadi penghalang dalam membangun
pemerintahan kuat. Partai-partai yang kalah berusaha merapat ke pemenang.
Sebaliknya, para pemenang, demi stabilitas pemerintahan, menggandeng seluruh
stakeholder yang hendak bergabung.
Ideologi telah dikesampingkan,
bahkan mati. Kepentingan, kekuasaan, dan jabatan lebih nyaman dipilih.
Bahkan, posisi oposisi tidak dipilih secara tegas oleh parpol yang mengatasnamakan
oposisi, nyaris tanpa oposisi berarti. Seluruh faktor persaingan luruh.
Hilang tanpa bekas. Parpol bercengkerama dalam aturan koalisi, apalagi yang
terbangun bukan sebelum, tapi setelah pemilu. Mau tak mau, dasar koalisi
yang dirajut berlandaskan hasil elektoral dalam pemilu. Koalisi dibangun
tidak berdasarkan platform partai, visi misi, maupun ideologinya, tapi
banyaknya hasil suara.
Pemilu pertama reformasi tahun
1999 sebetulnya juga telah mengindikasikan berakhirnya tipologi partai
ideologis, elite, dan massa. Sebagai gantinya, muncul partai lintas kelompok,
catch-all party. Pemilihan langsung membuat partai harus bisa meraup suara
berbagai kelompok. Tak ada yang benar-benar berbasis ideologis. Dalam konteks
Indonesia, basis-basis ideologis yang sedang diusung parpol seperti
digembar-gemborkan tidak lebih sekadar cara menarik suara.
Ada yang menilai parpol sejak
reformasi bergulir telah membangun sistem mirip kartel, antara lain ditandai
dengan hilangnya peran idelogi partai sebagai penentu koalisi, sikap permisif
pembentukan partai, ketiadaan oposisi, hasil-hasil pemilu yang hampir-hampir
tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku parpol, serta kecenderungan
partai bertindak secara kolektif.
Tak ada ruang pengaderan.
Kepemimpinan partai hanya beredar pada elite-elite tertentu, pemilik modal,
atau anak biologis pendiri partai. Kartelisasi sangat erat kaitanya dengan
tumbuhnya oligarki dalam tubuh partai. Hal itu makin nyata ketika parpol
dipimpin segelintir elite dengan legitimasi kekuasaan sangat besar.
Legitimasi lain karena karisma, pendukung fanatik, kekuatan modal, manajemen
yang baik.
Modal finansial juga telah
menjadi panglima. Akibatnya, ketika oligarki telah tumbuh subur, parpol
hanya dijadikan kendaraan politik untuk meraih kekuasaan. Kekuasaan
selanjutnya bukan sebagai lahan pengabdian, melainkan sarana mencari
penghasilan, pengamanan bisnis, dan penguatan kelompok. Akhirnya elite
partai yang memiliki kewenangan lebih menyelewengkan kekuasaan untuk kepentingan
sendiri.
Watak kartel dalam tubuh
partai-partai makin mengemuka bila dianalisis dari penerapan sistem
presidensial dengan multipartai. Secara teoretis, multipartai sangat tidak
memungkinkan. Kemungkinan kemacetan antara legislatif dan eksekutif sangat
besar. Deadlock akan sangat sering terjadi, apalagi di tengah perbedaan
ideologi partai-partai di parlemen.
Tetapi nyatanya, di Indonesia,
sistem ini bisa diterapkan dengan model koalisi lintas parpol dan ideologi.
Meski terkadang terjadi friksi, koalisi pemerintahan di parlemen terbukti
cukup manjur mendukung pemerintahan. Artinya, ada kekuatan tersembunyi yang
mengatur gerak kebijakan parpol, yaitu pemimpin-pemimpin partai yang bisa
terhubung dalam satu kepentingan kekuasaan ansich. Kartelisasi yang tumbuh
bersama dengan oligarki dalam tubuh partai-partai menyiratkan ada sesuatu di
baliknya.
Tak sekadar kepentingan
kekuasaan, perebutan konstituen, massa, dan kepemimpinan, tetapi merembet
pada aset-aset ekonomi, yang berkaitan erat dengan sumber-sumber pendapatan
dan bisnis. Masalah mendasar perpecahan, kartelisasi, dan oligarki tidak
lepas dari hilangnya ideologi sebagai pandangan, cita-cita, nilai-nilai
dasar, dan keyakinan pedoman normatif kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meredupnya faktor ideologi dalam tubuh parpol melahirkan pragmatisme
politik. Politik bak transaksi jual-beli, untung, dan rugi yang dihitung
sebagai fondasi skema serta konsep, tak berlaku lagi keinginan membangun
bangsa dan negara. Parpol wajib berbenah dengan mengader lewat merit system
agar transparan dalam pengelolaan dana politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar