Awasi Perbaikan Infrastruktur
Tasroh ; Penulis
bertugas mengadakan barang dan jasa infrastruktur Pemkab Banyumas, Lulusan
Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
|
KORAN
JAKARTA, 24 Januari 2014
Bandingkan dengan artikel Tasroh di MEDIA INDONESIA 23 Januari
2014
Salah satu dampak langsung
bencana banjir, erupsi gunung berapi, dan longsor adalah banyak pekerjaan
rumah untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak. Kementerian PU dalam
Renstra (2014) tahun 2014 untuk membangun, memperbaiki, dan memelihara
infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan fasilitas publik lainya diperlukan
anggaran 867 triliun triliun. Ini sebanding anggaran APBD 34 provinsi dan 543
kabupaten/kota.
Bencana harus diantisipasi guna mengurangi dampaknya seperti kerusakan jalan-jalan, jembatan, serta fasilitas publik lain. Dampak ini secara langsung jelas mengganggu aktivitas sosial-ekonomi dunia usaha/perusahaan dan pengusaha/investor. Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman, misalnya, mengakui banjir di wilayah Jabodetabek telah merugikan 1,2 triliun rupiah. Demikian pula aktivitas perusahaan di berbagai bidang, khususnya distribusi logistik, kacau. Kerugiannya tak kurang dari 9,5 triliun rupiah, kemacetan total di mana-mana. Ini belum termasuk dampak sosial dan psikologis seperti stres dan depresi pengungsi. Banyak yang harus direhabilitasi, termasuk keamanan dan kesehatan masyarakat. Karena itu, wajar apabila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan Kementerian Keuangan agar bergerak cepat merealisasikan anggaran-anggara penanggulangan bencana. Pernyataan pejabat bahwa bencana banjir tidak mengganggu ekonomi nasional karena semua sudah ada anggarannya sangat menyesatkan. Opini tersebut juga meniscayakan hilangnya sense of disaster pejabat, termasuk para wakil rakyat. Lihat, ketika terjadi bencana di mana-mana dan warga butuh bantuan langsung secara cepat, para wakil rakyat justru melakukan “kunjungan kerja” ke luar negeri. Entah apa yang ada dalam otak mereka sehingga bencana demi bencana yang terus terjadi justru memuluskan mereka untuk menjadikannya sebagai “banjir proyek”. Sungguh memalukan sekaligus memilukan!
Dikontrol
Perbaikan kerusakan parah
infrastruktur tetap perlu pengawasan dan pengendalian. Bank Dunia, baru-baru
ini, juga mengingatkan semua negara bahwa bencana global warming sedang terjadi dan berbagai proyek hasil utang
luar negeri, termasuk proyek-proyek infrastruktur di negara-negara miskin
tetap diawasi secara maksimal. Peringatan itu bukan tanpa alasan. Disadari
atau tidak, dana proyek infrastruktur, baik yang bersumber dari APBN, APBD,
maupun pinjaman, diketahui kurang produktif mewujudkan proyek yang berkulitas
tinggi.
Hal ini ternyata bukan disebabkan minimnya anggaran, tetapi justru lantaran banyaknya dana yang tidak digunakan secara jujur, adil, dan bersih. Sudah menjadi rahasia umum, satire bahwa dana infrastruktur tidak 100 persen untuk meningkatkan mutu proyek. Banyak yang justru masuk kantong. Kasus-kasus korupsi, suap, gratifikasi, dan pencucian uang berbagai proyek infrastruktur, seperti Hambalang, membuktikan banyak uang lari ke kantong orang. Sebagai catatan, dana proyek infrastruktur tahun 2013 lalu 399 triliun rupiah (lebih tinggi dari target investasi 2013 yang hanya 390 triliun). Dari jumlah itu, 55 persennya talangan dari berbagai pihak, termasuk OCDC, yang dikendalikan Jepang. Ada juga pinjaman Bank Dunia. Tragisnya, proses penggunaan dana-dana proyek infrastruktur itu belum memenuhi kualifikasi negara donor khususnya terkait mutu proyek. Laporan BPKP (2013) bidang infrastruktur memperlihatkan dari 9.235 proyek Jawa-Sumatra, hanya 25 persen yang memenuhi spek standar mutu proyek. Lainnya tidak sesuai dengan harga dan jumlah dana yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai proyek tersebut. Akibatnya, di samping jalan dan jembatan mudah rontok dan longsor dalam waktu kurang dari setahun, proyek infrastruktur seperti digarap bukan ahlinya dan tanpa teknologi. Perbaikan jalan dan jembatan jauh dari ilmu teknik infrastruktur. Yang dikerjakan hanya memoles jalan-jalan, tanpa got di pinggir untuk aliran air/drainase. Maka, saat hujan, jalan banjir dan rusak. Jangan heran bila kerusakan demi kerusakan infrastruktur, meski tidak terjadi banjir, terus terjadi. Padahal, anggaran terus meningkat setiap tahun, tetapi kondisi infrastruktur tak pernah bagus. Di negara maju seperti Jepang, rata-rata kerusakan infrastruktur baru terjadi 20-30 tahun ke depan. Ini ternyata bukan semata anggaran, tetapi lantaran kejujuran, kecermatan, ketelitian, dan keberlanjutan eksekusi pembangunan infrastruktur yang diawasi sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi secara terintegrasi. Jadi, untuk mencegah bencana sebagai alibi baru banjir proyek infrastruktur, pemerintah melalui Kementerian PU, Bappenas, BPK, Kementerian Keuangan, lembaga/instansi pemerintah, dan legislatif harus mampu mengendalikan dan mengawasi pembangunan infrastruktur. Dengan begitu, mutu infrastruktur terjaga. Bahkan, bila perlu, jauh hari sebelum dana-dana rakyat khususnya dari APBN/D dibombardir untuk dan atas nama penanggulangan bencana, KPK dilibatkan sejak perencanaan anggaran. Ini bukan dalam rangka menghambat eksekutif melaksanakan tugas, semata-mata agar pembangunan, perbaikan, dan pemeliharaan infrastruktur berjalan baik. Di sini diperlukan revolusi pembangunan infrastruktur.
Dalam pelaksanaannya harus menggunakan tenaga ahli dan
teknologi terbaru. Pemerintah harus mengecek mutu dan kesesuaian dengan harga
proyek itu sendiri. Hanya dengan begitu jalan dan jembatan bisa bertahan
lama. Jangan seperti jalur pantai utara Jawa (pantura) yang rusak terus,
alias selalu ada proyek perbaikan sepanjang tahun. Jalur pantura menjadi
proyek abadi karena disinyalemen sebagai area bancakan anggaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar