Larangan
Ekspor Mineral
Ferdy Hasiman ;
Peneliti di Indonesia Today, Jakarta
|
KOMPAS,
09 Januari 2014
PEMERINTAH dan DPR sepakat
melarang perusahaan tambang mengekspor mineral dalam bentuk bahan mentah
mulai 12 Januari 2014. Kebijakan itu adalah amanat UU No 4/2009 tentang
Mineral dan Pertambangan, berlaku bagi pemegang izin usaha pertambangan dan
perusahaan pemegang kontrak karya. Dengan demikian, tak ada lagi perusahaan
yang mendapat previlege mengekspor mineral.
Semua perusahaan tambang wajib
membangun pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam negeri. Sampai tahun 2013
hanya ada 11 pabrik smelter yang beroperasi. Lainnya masih dalam
tahap perencanaan; 7 perusahaan bauksit, 20 perusahaan nikel, 5 perusahaan
tembaga, 7 perusahaan bijih besi, dan 2 perusahaan membangun mangan (Dirjen
Minerba, 2013). Beberapa izin usaha pertambangan (IUP) kecil yang tidak
sanggup membangun smelter diharapkan merger atau memasok bahan baku
ke smelter terdekat.
Pelaku-pelaku pertambangan memang
banyak menolak kebijakan ini, dengan dalih produksi dan penerimaan negara
menurun sebesar 4,33 miliar dollar AS. Namun, penurunan produksi dan
penerimaan negara bukan hal esensial. Toh, menurut mantan Dirjen Minerba
Thamrin Shite, jika Indonesia konsisten mengolah bahan tambang dalam negeri,
penerimaan negara tahun 2016 mengalami surplus sebesar 9,3 miliar dollar AS.
Efek berantai
Konsistensi pelarangan ekspor
adalah preseden baik bagi masa depan pertambangan nasional. Paradigma menjual
bahan tambang dalam bentuk bahan mentah harus segera berakhir. Selama ini
para petambang serba instan, habis dikeruk, angkut sekalian dengan tanah ke
luar negeri hanya untuk mengakumulasi modal. Tak ada multiplier effect bagi
pembangunan. Rakyat hanya menjadi buruh tambang dan menerima upah tidak
wajar. Di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, petambang hanya membeli mangan
dari hasil pertambangan rakyat dengan harga murah. Lebih mengenaskan, sudah
banyak pekerja yang mati di lubang tambang.
Ironisnya, juragan kapal di daerah
ikut arus menerapkan kebijakan pertambangan dengan dalih penerimaan daerah
dan lapangan kerja. Padahal, rakyat tidak merasakan kesejahteraan dari
pertambangan. Di NTT, rakyat yang tidak berpendidikan satu per satu keluar
dari kampung halaman menjadi buruh migran.
Ribuan korporasi global-lokal
adu-gegas mengerubungi bupati/wali kota untuk mendapat konsesi tambang. Rumah
dan mobil mereka mewah-mewah di tengah ritus kemiskinan rakyat.
Demokrasi yang bertujuan memajukan
kesejahteraan umum menjadi tempat aman bagi perusahaan memburu rente. Rule of law hanya menjaga
kepentingan pengusaha tambang. Jika ada warga yang mengganggu operasi
tambang, mereka mengerahkan aparat kepolisian.
Pemerintah pusat sebenarnya punya
ruang menyelamatkan sumber daya alam (SDA) dari jarahan korporasi melalui
supervisi di bidang ekspor mineral. Itu artinya, pemerintah pusat perlu
memiliki kapasitas survilence (pemintai),
mulai dari mulut tambang sampai pelabuhan bongkar muat bahan tambang. Inspektur
tambang dan aparat keamanan perlu diperkuat.
Simak aturan peningkatan pajak
ekspor sebesar 20 persen bagi perusahaan tambang yang gagal memangkas
lonjakan ekspor mineral. Padahal, aturan ini sudah diberlakukan sejak Mei
2012. Volume penjualan China Nickel
Resources (CNR), yang memiliki konsesi bijih besi (iron ore) di Provinsi Kalimantan Selatan, adalah contoh. Volume
penjualan bijih besi CNR tahun 2013 meningkat 1,89 juta bijih kering dari
1,35 juta ton tahun 2012. Tak heran jika CNR mampu membukukan penjualan dari
Indonesia sebesar 849,5 juta dollar AS, atau naik 27 persen dari tahun 2012
(CNR, 2013).
Padahal, aturan dikeluarkan untuk
meredam lonjakan ekspor bahan tambang. Tahun 2012, misalnya, ekspor nikel
dari pemegang IUP sebesar 41 juta ton, pasir besi 10,5 juta ton, tembaga
8.000 ton, dan bauksit 30 juta ton. Risikonya, cadangan mineral tergerus;
nikel tersisa 1,028 miliar ton, tembaga 3,044 miliar ton, bijih besi 173,810
juta ton, bauksit 302,316 juta ton (Badan Geologi, 2012).
Lonjakan ekspor bahan mentah akan
meningkat tajam jika pemerintah tidak konsisten mengimplentasikan Peraturan
Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tentang batas atas ekspor mineral dan
kewajiban membangun smelter bagi KK, seperti Freeport dan Newmont.
Pengalaman membuktikan, meskipun
batubara telah masuk dalam program ketahanan energi melalui kebijakan domestic market obligation (DMO),
PLN masih mengimpor batubara untuk memenuhi kebutuhan listrik domestik.
Padahal, produksi batubara tahun 2011 mencapai 371 juta ton. Namun, 78 persen
diekspor dan hanya menyisihkan 22 persen untuk pasar domestik.
Menuju industrialisasi
Indonesia harus menuju
industrialisasi sekaligus berhenti sebagai bangsa parasit yang menggantungkan
industrinya pada pasokan bahan baku dari luar. Dengan nikel dan bijih besi
melimpah, saatnya pabrik stainless steel kelas dunia dibangun agar
industri otomotif tidak mengimpor bahan baku. Pembangunan pabrik ambisius itu
dirintis perusahaan BUMN dan pendanaannya ditopang oleh bank-bank BUMN.
Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan,
perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan, maka pembangunan ekonomi termasuk pemanfaatan sumber
daya alam untuk kepentingan jangka panjang. Maka, pemerintah mesti bijak
menggunakan kekayaan alam, fokus mengamankan energi, penataan teknologi
pertanian, air minum, dan keseimbangan lingkungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar