Jumat, 10 Januari 2014

Larangan Ekspor Mineral

                                        Larangan Ekspor Mineral

Ferdy Hasiman  ;    Peneliti di Indonesia Today, Jakarta
KOMPAS,  09 Januari 2014
                                                                                                                        


PEMERINTAH dan DPR sepakat melarang perusahaan tambang mengekspor mineral dalam bentuk bahan mentah mulai 12 Januari 2014. Kebijakan itu adalah amanat UU No 4/2009 tentang Mineral dan Pertambangan, berlaku bagi pemegang izin usaha pertambangan dan perusahaan pemegang kontrak karya. Dengan demikian, tak ada lagi perusahaan yang mendapat previlege mengekspor mineral.

Semua perusahaan tambang wajib membangun pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam negeri. Sampai tahun 2013 hanya ada 11 pabrik smelter yang beroperasi. Lainnya masih dalam tahap perencanaan; 7 perusahaan bauksit, 20 perusahaan nikel, 5 perusahaan tembaga, 7 perusahaan bijih besi, dan 2 perusahaan membangun mangan (Dirjen Minerba, 2013). Beberapa izin usaha pertambangan (IUP) kecil yang tidak sanggup membangun smelter diharapkan merger atau memasok bahan baku ke smelter terdekat.

Pelaku-pelaku pertambangan memang banyak menolak kebijakan ini, dengan dalih produksi dan penerimaan negara menurun sebesar 4,33 miliar dollar AS. Namun, penurunan produksi dan penerimaan negara bukan hal esensial. Toh, menurut mantan Dirjen Minerba Thamrin Shite, jika Indonesia konsisten mengolah bahan tambang dalam negeri, penerimaan negara tahun 2016 mengalami surplus sebesar 9,3 miliar dollar AS.

Efek berantai

Konsistensi pelarangan ekspor adalah preseden baik bagi masa depan pertambangan nasional. Paradigma menjual bahan tambang dalam bentuk bahan mentah harus segera berakhir. Selama ini para petambang serba instan, habis dikeruk, angkut sekalian dengan tanah ke luar negeri hanya untuk mengakumulasi modal. Tak ada multiplier effect bagi pembangunan. Rakyat hanya menjadi buruh tambang dan menerima upah tidak wajar. Di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, petambang hanya membeli mangan dari hasil pertambangan rakyat dengan harga murah. Lebih mengenaskan, sudah banyak pekerja yang mati di lubang tambang.

Ironisnya, juragan kapal di daerah ikut arus menerapkan kebijakan pertambangan dengan dalih penerimaan daerah dan lapangan kerja. Padahal, rakyat tidak merasakan kesejahteraan dari pertambangan. Di NTT, rakyat yang tidak berpendidikan satu per satu keluar dari kampung halaman menjadi buruh migran.
Ribuan korporasi global-lokal adu-gegas mengerubungi bupati/wali kota untuk mendapat konsesi tambang. Rumah dan mobil mereka mewah-mewah di tengah ritus kemiskinan rakyat.

Demokrasi yang bertujuan memajukan kesejahteraan umum menjadi tempat aman bagi perusahaan memburu rente. Rule of law hanya menjaga kepentingan pengusaha tambang. Jika ada warga yang mengganggu operasi tambang, mereka mengerahkan aparat kepolisian.

Pemerintah pusat sebenarnya punya ruang menyelamatkan sumber daya alam (SDA) dari jarahan korporasi melalui supervisi di bidang ekspor mineral. Itu artinya, pemerintah pusat perlu memiliki kapasitas survilence (pemintai), mulai dari mulut tambang sampai pelabuhan bongkar muat bahan tambang. Inspektur tambang dan aparat keamanan perlu diperkuat.

Simak aturan peningkatan pajak ekspor sebesar 20 persen bagi perusahaan tambang yang gagal memangkas lonjakan ekspor mineral. Padahal, aturan ini sudah diberlakukan sejak Mei 2012. Volume penjualan China Nickel Resources (CNR), yang memiliki konsesi bijih besi (iron ore) di Provinsi Kalimantan Selatan, adalah contoh. Volume penjualan bijih besi CNR tahun 2013 meningkat 1,89 juta bijih kering dari 1,35 juta ton tahun 2012. Tak heran jika CNR mampu membukukan penjualan dari Indonesia sebesar 849,5 juta dollar AS, atau naik 27 persen dari tahun 2012 (CNR, 2013).

Padahal, aturan dikeluarkan untuk meredam lonjakan ekspor bahan tambang. Tahun 2012, misalnya, ekspor nikel dari pemegang IUP sebesar 41 juta ton, pasir besi 10,5 juta ton, tembaga 8.000 ton, dan bauksit 30 juta ton. Risikonya, cadangan mineral tergerus; nikel tersisa 1,028 miliar ton, tembaga 3,044 miliar ton, bijih besi 173,810 juta ton, bauksit 302,316 juta ton (Badan Geologi, 2012).

Lonjakan ekspor bahan mentah akan meningkat tajam jika pemerintah tidak konsisten mengimplentasikan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tentang batas atas ekspor mineral dan kewajiban membangun smelter bagi KK, seperti Freeport dan Newmont.

Pengalaman membuktikan, meskipun batubara telah masuk dalam program ketahanan energi melalui kebijakan domestic market obligation (DMO), PLN masih mengimpor batubara untuk memenuhi kebutuhan listrik domestik. Padahal, produksi batubara tahun 2011 mencapai 371 juta ton. Namun, 78 persen diekspor dan hanya menyisihkan 22 persen untuk pasar domestik.

Menuju industrialisasi

Indonesia harus menuju industrialisasi sekaligus berhenti sebagai bangsa parasit yang menggantungkan industrinya pada pasokan bahan baku dari luar. Dengan nikel dan bijih besi melimpah, saatnya pabrik stainless steel kelas dunia dibangun agar industri otomotif tidak mengimpor bahan baku. Pembangunan pabrik ambisius itu dirintis perusahaan BUMN dan pendanaannya ditopang oleh bank-bank BUMN.

Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan, perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, maka pembangunan ekonomi termasuk pemanfaatan sumber daya alam untuk kepentingan jangka panjang. Maka, pemerintah mesti bijak menggunakan kekayaan alam, fokus mengamankan energi, penataan teknologi pertanian, air minum, dan keseimbangan lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar