Revisi
Kebijakan Ekspor Mineral
Ima Mayasari ;
Doktor di Bidang Hukum Pertambangan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Januari 2014
MENJELANG pem berlakuan larangan
penjualan bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri,
pemerintah perlu melakukan adaptasi dan antisipasi.
Adaptasi larangan penjualan bijih mineral ke luar negeri mulai 12 Januari
2014, sesuai Pasal 112 angka 4 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara jo
Pasal 21 A Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai
Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian, menuai pro dan
kontra.
Sedikitnya ada 14 komoditas
tambang mineral logam yang wajib dilakukan pengolahan dan pemurnian di dalam
negeri, antara lain tembaga, emas, perak, timah, timbal dan seng, kromium,
molibdenum, platinum group metals, bauksit, bijih besi, pasir besi, nikel,
mangan, dan antimon. Pemerintah pun menetapkan batasan minimum pengolahan dan
pemurnian komoditas tambang mineral logam dalam Permen ESDM Nomor 20 Tahun
2013. Ketentuan mengenai batasan produk minimum (persentase kadar minimum)
untuk dijual ke luar negeri menjadi perdebatan antara pemerintah dan
pengusaha pertambangan. Contoh, batasan produk minimum logam tembaga (Cu)
untuk dijual ke luar negeri ialah 99,9% Cu. Pemerintah pun turut melarang ekspor
produk samping tembaga, yaitu lumpur anoda (anode slime). Anode slime merupakan
salah satu produk samping yang dihasilkan dalam proses peleburan dan
pemurnian tembaga yang di dalamnya mengandung emas dan perak. Dengan alasan
itulah pemerintah pun tak luput memberikan batasan produk minimum dari anode
slime untuk dijual ke luar negeri.
Minimnya
industri pengolahan, pemurnian
PT Smelting Indonesia, perusahaan
pengolahan dan pemurnian tembaga, menuturkan bahwa kebijakan larangan ekspor
anode slime tidak hanya berpengaruh terhadap perusahaan, tetapi juga industri
hilir seperti kawat, kabel, pupuk, dan industri semen.
Namun, di balik
kebijakan pelarangan ekspor produk samping tembaga tersebut, pemerintah
mendorong BUMN PT Aneka Tambang (Persero) Tbk untuk mem bangun pabrik
pengolahan anode slime menjadi dore yang merupakan bahan baku logam mulia.
Hal itu memberikan dampak positif bagi PT Antam, mengingat anode slime selama
ini diekspor untuk dimurnikan ke luar negeri karena ketiadaan pabrik peleburan
dan pemurnian di dalam negeri.
Larangan ekspor bijih mineral
mendorong tumbuhnya industri pengolahan dan pemurnian mineral logam di
Indonesia. Meskipun kenyataan masih sedikit jumlahnya, Kementerian ESDM terus
mendorong agar perusahaan tambang memperkuat sektor hilir. Tercatat dari 253
perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang mengajukan pembangunan
smelter, setelah diverifikasi terdapat 178 perusahaan yang berkomitmen
melaksanakan, itu pun baru 15 perusahaan yang telah mencapai commisioning/produksi.
Salah satunya PT Antam, yang pada akhir Oktober 2013 memulai proses
penyelesaian tahap akhir dan uji coba (commisioning)
di pabrik pengolahan bijih bauksit menjadi produk chemical grade alumina
(CGA) di Tayan, Kalimantan Barat. Proses konstruksi pabrik tersebut dimulai
Maret 2011 dan menelan biaya US$492 juta.
Biaya yang cukup besar menjadi
kendala beberapa perusahaan mengimplementasikan aturan tersebut, terlebih
lamanya proses studi kelayakan (feasibility
study) yang dilakukan oleh perusahaan, sehingga bagi perusahaan pemegang
IUP--sebagian besar penyesuaian dari kuasa pertambangan, aturan Pasal 112
angka 4 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 perlu direvisi,
dengan memberikan kelonggaran.
Arahan
revisi kebijakan
Pemerintah perlu melakukan langkah
antisipasi terhadap pemberlakuan kebijakan larangan ekspor bijih mineral. Salah
satunya dengan melakukan revisi Pasal 112 angka 4 huruf c PP No 23 Tahun
2010. Pengolahan dan pemurnian untuk seluruh hasil produksi mineral di dalam
negeri dilaksanakan secara bertahap, mulai tahapan studi kelayakan, tahapan
pembangunan fasilitas, sampai terlaksananya pengolahan dan pemurnian untuk
seluruh produksi mineral. Pemerintah perlu memberikan toleransi waktu bagi
pemegang IUP operasi produksi untuk melaksanakan penahapan tersebut,
mengingat sebagian besar perusahaan pemegang IUP operasi produksi yang
terverifikasi Kementerian ESDM masih berada pada tahapan studi kelayakan.
Kelonggaran untuk tetap dapat
menjual bijih mineral ke luar negeri menjadi kewenangan penuh pemerintah
pusat cq Kementerian ESDM. Penting persyaratan mengenai penempatan jaminan
kesungguhan untuk pelaksanaan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian
dalam bentuk bank garansi pada pemerintah, dengan konsekuensi bahwa jaminan kesungguhan
tersebut menjadi milik negara apabila pemegang IUP tidak mampu menyelesaikan
pembangunan fasilitas tersebut.
Aspek penting lainnya, terdapat kecukupan
cadangan untuk menjamin pasokan pabrik. Dengan demikian jumlah ekspor bijih
ditentukan berdasarkan kapasitas umpan pabrik.
Kinerja kebijakan kewajiban pengolahan dan pemurnian
mineral di dalam negeri tetap dilanjutkan (policy continuation), tetapi memerlukan revisi sehingga kebijakan
tersebut berhasil diimplementasikan (successful
implemented). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar