Jumat, 10 Januari 2014

Revisi Kebijakan Ekspor Mineral

                             Revisi Kebijakan Ekspor Mineral

Ima Mayasari  ;   Doktor di Bidang Hukum Pertambangan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
MEDIA INDONESIA,  09 Januari 2014
                                                                                                                        


MENJELANG pem berlakuan larangan penjualan bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri, pemerintah perlu melakukan adaptasi dan antisipasi.

Adaptasi larangan penjualan bijih mineral ke luar negeri mulai 12 Januari 2014, sesuai Pasal 112 angka 4 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara jo Pasal 21 A Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian, menuai pro dan kontra.

Sedikitnya ada 14 komoditas tambang mineral logam yang wajib dilakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, antara lain tembaga, emas, perak, timah, timbal dan seng, kromium, molibdenum, platinum group metals, bauksit, bijih besi, pasir besi, nikel, mangan, dan antimon. Pemerintah pun menetapkan batasan minimum pengolahan dan pemurnian komoditas tambang mineral logam dalam Permen ESDM Nomor 20 Tahun 2013. Ketentuan mengenai batasan produk minimum (persentase kadar minimum) untuk dijual ke luar negeri menjadi perdebatan antara pemerintah dan pengusaha pertambangan. Contoh, batasan produk minimum logam tembaga (Cu) untuk dijual ke luar negeri ialah 99,9% Cu. Pemerintah pun turut melarang ekspor produk samping tembaga, yaitu lumpur anoda (anode slime). Anode slime merupakan salah satu produk samping yang dihasilkan dalam proses peleburan dan pemurnian tembaga yang di dalamnya mengandung emas dan perak. Dengan alasan itulah pemerintah pun tak luput memberikan batasan produk minimum dari anode slime untuk dijual ke luar negeri.

Minimnya industri pengolahan, pemurnian

PT Smelting Indonesia, perusahaan pengolahan dan pemurnian tembaga, menuturkan bahwa kebijakan larangan ekspor anode slime tidak hanya berpengaruh terhadap perusahaan, tetapi juga industri hilir seperti kawat, kabel, pupuk, dan industri semen. 

Namun, di balik kebijakan pelarangan ekspor produk samping tembaga tersebut, pemerintah mendorong BUMN PT Aneka Tambang (Persero) Tbk untuk mem bangun pabrik pengolahan anode slime menjadi dore yang merupakan bahan baku logam mulia. Hal itu memberikan dampak positif bagi PT Antam, mengingat anode slime selama ini diekspor untuk dimurnikan ke luar negeri karena ketiadaan pabrik peleburan dan pemurnian di dalam negeri.

Larangan ekspor bijih mineral mendorong tumbuhnya industri pengolahan dan pemurnian mineral logam di Indonesia. Meskipun kenyataan masih sedikit jumlahnya, Kementerian ESDM terus mendorong agar perusahaan tambang memperkuat sektor hilir. Tercatat dari 253 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang mengajukan pembangunan smelter, setelah diverifikasi terdapat 178 perusahaan yang berkomitmen melaksanakan, itu pun baru 15 perusahaan yang telah mencapai commisioning/produksi. Salah satunya PT Antam, yang pada akhir Oktober 2013 memulai proses penyelesaian tahap akhir dan uji coba (commisioning) di pabrik pengolahan bijih bauksit menjadi produk chemical grade alumina (CGA) di Tayan, Kalimantan Barat. Proses konstruksi pabrik tersebut dimulai Maret 2011 dan menelan biaya US$492 juta.

Biaya yang cukup besar menjadi kendala beberapa perusahaan mengimplementasikan aturan tersebut, terlebih lamanya proses studi kelayakan (feasibility study) yang dilakukan oleh perusahaan, sehingga bagi perusahaan pemegang IUP--sebagian besar penyesuaian dari kuasa pertambangan, aturan Pasal 112 angka 4 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 perlu direvisi, dengan memberikan kelonggaran.

Arahan revisi kebijakan

Pemerintah perlu melakukan langkah antisipasi terhadap pemberlakuan kebijakan larangan ekspor bijih mineral. Salah satunya dengan melakukan revisi Pasal 112 angka 4 huruf c PP No 23 Tahun 2010. Pengolahan dan pemurnian untuk seluruh hasil produksi mineral di dalam negeri dilaksanakan secara bertahap, mulai tahapan studi kelayakan, tahapan pembangunan fasilitas, sampai terlaksananya pengolahan dan pemurnian untuk seluruh produksi mineral. Pemerintah perlu memberikan toleransi waktu bagi pemegang IUP operasi produksi untuk melaksanakan penahapan tersebut, mengingat sebagian besar perusahaan pemegang IUP operasi produksi yang terverifikasi Kementerian ESDM masih berada pada tahapan studi kelayakan.

Kelonggaran untuk tetap dapat menjual bijih mineral ke luar negeri menjadi kewenangan penuh pemerintah pusat cq Kementerian ESDM. Penting persyaratan mengenai penempatan jaminan kesungguhan untuk pelaksanaan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian dalam bentuk bank garansi pada pemerintah, dengan konsekuensi bahwa jaminan kesungguhan tersebut menjadi milik negara apabila pemegang IUP tidak mampu menyelesaikan pembangunan fasilitas tersebut. 
Aspek penting lainnya, terdapat kecukupan cadangan untuk menjamin pasokan pabrik. Dengan demikian jumlah ekspor bijih ditentukan berdasarkan kapasitas umpan pabrik.

Kinerja kebijakan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri tetap dilanjutkan (policy continuation), tetapi memerlukan revisi sehingga kebijakan tersebut berhasil diimplementasikan (successful implemented).  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar