Jumat, 10 Januari 2014

Harapan Perubahan dalam Pemilu 2014

                    Harapan Perubahan dalam Pemilu 2014

David Krisna Alka  ;   Peneliti Populis Institute
dan Maarif Institute for Culture and Humanity
MEDIA INDONESIA,  09 Januari 2014
                                                                                                                       


SUTAN Takdir Alisjahbana (1984:64) pernah berkata, politik itu sesungguhnya memasuki dan menguasai segala aspek hidup, takut akan politik berarti lari dari hidup. Namun, studi politik umumnya memiliki dua cara pandang.

Pertama, yang memandang politik pada dasarnya dijalankan secara etis, santun, visioner, dan demi kemajuan serta kesejahteraan masyarakat lahir dan batin. Politik yang berlandaskan etika dan moral politik, yang mengedepankan apa yang seharusnya dilakukan sejalan dengan prinsip dasar moralitas nilai dan norma yang dijadikan kaidah kehidupan masyarakat.

Kedua, yang menyatakan realitas politik adalah kancah perebutan kekuasaan, menggunakan kekuatan dan daya upaya yang tak segan-segan menggunakan cara-cara yang tidak lazim, melepaskan dirinya dari akal sehat dengan melanggar norma, nilai dan etika-moral masyarakat. Cara pandang yang kedua itu acap kali mengisi kehidupan politik di negeri ini sehingga berlari tanpa tujuan kemuliaan yang pasti.

Kehidupan politik yang merusak kehidupan publik menjadi fenomena yang hampir sudah menjadi biasa ditemukan. Misal, pejabat politik bergaya hidup mewah dari hasil korupsi. Di tengah masih banyaknya kemiskinan di negeri ini, gaya hidup pejabat publik sering bertolak belakang dengan kesejahteraan warga.

Suatu dinding besar memisahkan mereka yang menikmati manfaat dan hak-hak istimewa dari negara dengan rakyat miskin yang harus bersaing dan bercucur keringat untuk hidup di dalam negara. Terkadang, rakyat miskin juga mendapat perlakuan diskriminatif dari sistem hukum yang ada.

Sederhana

Hidup dalam politik adalah hidup dalam kesederhanaan dan tak perlu melakukan hal yang tak perlu; tak perlu melakukan korupsi atau perbuatan yang melanggar etika publik. Hernando De Soto (1992:308) mengungkapkan, bukan pejabat yang mencipta kekayaan; mereka hanya duduk di belakang meja, memberi wejangan, membuat rancangan undang-undang dan peraturan, memproses dokumen, memantau, mengawasi dan memungut pajak, tetapi mereka tidak menghasilkan. Rakyatlah yang menghasilkan!

Namun, rasa-rasanya kok rakyat kecil makin dijajah elite politik yang gaya hidupnya mewah luar biasa, seperti hidup di zaman penjajahan saja. Anggapan bahwa elite politik atau pejabat pusat ialah subjek yang harus kita layani atau bahkan dilindungi para punggawanya seharusnya kita ubah secara mendasar karena kekuasaan dan penguasa seharusnya justru bersifat melindungi dan melayani rakyatnya. Bukan malah bermental penjajah.

Sejatinya perlu tingkat kesadaran kenegaraan yang tinggi dimiliki pejabat publik dan elite politik di negeri ini. Menciptakan momen keteladanan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan. Namun, kenyataannya pelik, ketika kepemimpinan para elite politik justru lebih terjebak pada pesona pencitraan mewah dan pencitraan seolah-olah sederhana. Padahal, gaya hidup mereka jauh dari perilaku yang sederhana.

Bila berpolitik dilakukan dengan bergaya glamor, masyarakat akan menganggap hidup dalam politik ialah hidup dalam kemewahan. Maka, rakyat menjadi malu dan ragu ketika pertama kali memasuki sebuah gedung mewah seperti gedung wakil rakyat. Padahal, gedung itu ialah gedung rakyat. Dibangun dan dihasilkan dari kerja keras dan keringat rakyat. Artinya, jangan ragu, malu, atau minder melangkah memasuki dunia politik apabila idealisme dan tekad sungguhsungguh berjuang untuk kesejahteraan rakyat.

Namun, ketakutan irasional yang sering terjadi pada orang sederhana berpolitik ialah politik itu adalah permainan tingkat tinggi. Segalanya seolah serbaglamor. Mengadakan rapat-rapat politik dari hotel ke hotel. Selain itu, elite politik yang membawa mobil mewah selalu dihormati. Bila politikus berpenampilan atau `bergaya tinggi', para kader atau simpatisan berebut berjabat tangan menunduk-nunduk atau mencium tangannya seolah menyembah. Namun, apa daya, pejabat publik atau pejabat politik juga manusia yang memiliki hasrat, nafsu, dan terkadang khilaf.

Kesederhanaan dalam hidup memang suatu hal yang paling luar biasa. Hanya orang-orang bajik dan bijak yang dapat memahami dan melakukannya. Karena itu, jangan sampai elite politik dan pejabat publik di negeri ini disamakan seperti popok bayi yang selalu diganti rutin setiap lima tahun sekali sehingga selalu rakyat yang membersihkan dan menggantikan popok mereka.

Semoga kebaikan publik menerangi tahun politik 2014. Kebajikan politik yang membuat semua rakyat berkata, “Tak ada lagi kata terburuk selain menyebut `setan korup' bagi mereka yang tamak mengisap keringat rakyat!“

Walhasil, pentingnya kepedulian politik bagi rakyat untuk memilih dan memilah wakil dan pemimpinnya dalam pemilu tahun ini secara berdaulat karena memilih adalah membangun harapan. Tak ada harapan yang tak bertujuan kebaikan dan perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar