Harapan
Perubahan dalam Pemilu 2014
David Krisna Alka ;
Peneliti Populis Institute
dan Maarif Institute for Culture and Humanity
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Januari 2014
SUTAN Takdir Alisjahbana (1984:64)
pernah berkata, politik itu sesungguhnya memasuki dan menguasai segala aspek
hidup, takut akan politik berarti lari dari hidup. Namun, studi politik
umumnya memiliki dua cara pandang.
Pertama, yang memandang politik
pada dasarnya dijalankan secara etis, santun, visioner, dan demi kemajuan
serta kesejahteraan masyarakat lahir dan batin. Politik yang berlandaskan
etika dan moral politik, yang mengedepankan apa yang seharusnya dilakukan
sejalan dengan prinsip dasar moralitas nilai dan norma yang dijadikan kaidah
kehidupan masyarakat.
Kedua, yang menyatakan realitas
politik adalah kancah perebutan kekuasaan, menggunakan kekuatan dan daya
upaya yang tak segan-segan menggunakan cara-cara yang tidak lazim, melepaskan
dirinya dari akal sehat dengan melanggar norma, nilai dan etika-moral
masyarakat. Cara pandang yang kedua itu acap kali mengisi kehidupan politik
di negeri ini sehingga berlari tanpa tujuan kemuliaan yang pasti.
Kehidupan politik yang merusak
kehidupan publik menjadi fenomena yang hampir sudah menjadi biasa ditemukan.
Misal, pejabat politik bergaya hidup mewah dari hasil korupsi. Di tengah
masih banyaknya kemiskinan di negeri ini, gaya hidup pejabat publik sering
bertolak belakang dengan kesejahteraan warga.
Suatu dinding besar memisahkan
mereka yang menikmati manfaat dan hak-hak istimewa dari negara dengan rakyat
miskin yang harus bersaing dan bercucur keringat untuk hidup di dalam negara.
Terkadang, rakyat miskin juga mendapat perlakuan diskriminatif dari sistem
hukum yang ada.
Sederhana
Hidup dalam politik adalah hidup
dalam kesederhanaan dan tak perlu melakukan hal yang tak perlu; tak perlu
melakukan korupsi atau perbuatan yang melanggar etika publik. Hernando De
Soto (1992:308) mengungkapkan, bukan pejabat yang mencipta kekayaan; mereka
hanya duduk di belakang meja, memberi wejangan, membuat rancangan
undang-undang dan peraturan, memproses dokumen, memantau, mengawasi dan
memungut pajak, tetapi mereka tidak menghasilkan. Rakyatlah yang
menghasilkan!
Namun, rasa-rasanya kok rakyat
kecil makin dijajah elite politik yang gaya hidupnya mewah luar biasa,
seperti hidup di zaman penjajahan saja. Anggapan bahwa elite politik atau
pejabat pusat ialah subjek yang harus kita layani atau bahkan dilindungi para
punggawanya seharusnya kita ubah secara mendasar karena kekuasaan dan
penguasa seharusnya justru bersifat melindungi dan melayani rakyatnya. Bukan
malah bermental penjajah.
Sejatinya perlu tingkat kesadaran
kenegaraan yang tinggi dimiliki pejabat publik dan elite politik di negeri
ini. Menciptakan momen keteladanan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
penggunaan kekuasaan. Namun, kenyataannya pelik, ketika kepemimpinan para
elite politik justru lebih terjebak pada pesona pencitraan mewah dan
pencitraan seolah-olah sederhana. Padahal, gaya hidup mereka jauh dari
perilaku yang sederhana.
Bila berpolitik dilakukan dengan
bergaya glamor, masyarakat akan menganggap hidup dalam politik ialah hidup
dalam kemewahan. Maka, rakyat menjadi malu dan ragu ketika pertama kali
memasuki sebuah gedung mewah seperti gedung wakil rakyat. Padahal, gedung itu
ialah gedung rakyat. Dibangun dan dihasilkan dari kerja keras dan keringat
rakyat. Artinya, jangan ragu, malu, atau minder melangkah memasuki dunia
politik apabila idealisme dan tekad sungguhsungguh berjuang untuk
kesejahteraan rakyat.
Namun, ketakutan irasional yang
sering terjadi pada orang sederhana berpolitik ialah politik itu adalah
permainan tingkat tinggi. Segalanya seolah serbaglamor. Mengadakan
rapat-rapat politik dari hotel ke hotel. Selain itu, elite politik yang
membawa mobil mewah selalu dihormati. Bila politikus berpenampilan atau
`bergaya tinggi', para kader atau simpatisan berebut berjabat tangan
menunduk-nunduk atau mencium tangannya seolah menyembah. Namun, apa daya,
pejabat publik atau pejabat politik juga manusia yang memiliki hasrat, nafsu,
dan terkadang khilaf.
Kesederhanaan dalam hidup memang
suatu hal yang paling luar biasa. Hanya orang-orang bajik dan bijak yang
dapat memahami dan melakukannya. Karena itu, jangan sampai elite politik dan
pejabat publik di negeri ini disamakan seperti popok bayi yang selalu diganti
rutin setiap lima tahun sekali sehingga selalu rakyat yang membersihkan dan
menggantikan popok mereka.
Semoga kebaikan publik menerangi tahun politik 2014. Kebajikan
politik yang membuat semua rakyat berkata, “Tak ada lagi kata terburuk selain menyebut `setan korup' bagi mereka
yang tamak mengisap keringat rakyat!“
Walhasil, pentingnya kepedulian politik bagi rakyat untuk
memilih dan memilah wakil dan pemimpinnya dalam pemilu tahun ini secara
berdaulat karena memilih adalah membangun harapan. Tak ada harapan yang tak
bertujuan kebaikan dan perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar