Jumat, 10 Januari 2014

Di Balik Tewasnya Singa KBS

                                   Di Balik Tewasnya Singa KBS

Gunawan Sutanto  ;   Wartawan Pos
JAWA POS,  09 Januari 2014
                                                                                                                        


BERITA kematian Michael, sang raja hutan di kandang Kebun Binatang Surabaya (KBS), mungkin membuat para jurnalis di Daily Mail bernapas lega. Seolah tulisan mereka tentang Zoo of Death makin tak terbantahkan. 

Jika tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya, wajar jika KBS diberi label zoo of death. Apalagi, hilangnya nyawa Michael kemarin memang di luar kewajaran kematian satwa. Michael mati menggantung seperti seorang yang bunuh diri dengan tali. Kematian aneh bin ajaib satwa yang mungkin baru terjadi di dunia konservasi.

Michael mati bukan karena penyakitan seperti satwa koleksi KBS selama ini. Seperti yang kita tahu selama ini, akibat pengelolaan yang salah selama berpuluh-puluh tahun, KBS tak ubahnya kebun binatang sepuh. Banyak satwanya yang tua dan penyakitan. Kalau ada yang muda, kondisinya pun sama, bermasalah secara genetis karena hasil inbreeding. 

Kematian aneh itu menuntut polisi, dalam hal ini Polrestabes Surabaya, untuk all-out mengungkap perkara. Rasanya, dalam kondisi apa pun tak mungkin Michael bisa mati setragis itu. Kuat dugaan ada aktor intelektual yang memang selama ini bermain untuk menciptakan pagebluk di KBS. 

Sepanjang pengetahuan saya selama meliput di KBS, pagebluk di kebun binatang yang berdiri sejak 31 Agustus 1916 itu memang selalu terjadi saat ada pergantian kepengurusan, seperti sebuah siklus. Orang-orang tak bertanggung jawab memainkan isu-isu yang bisa membangun opini publik bahwa pengurus baru tak becus menangani. 

Kondisi itu pula yang saya yakin saat ini sedang diciptakan sekelompok orang. Mereka seolah ingin menunjukkan bahwa Pemkot Surabaya tak mampu menangani konservasi satwa. Kondisi itu juga pernah menimpa tim pengelola sementara (TPS). 

Tim bentukan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) itu ditunjuk menjadi pengelola sementara KBS karena adanya konflik kepengurusan yang berkepanjangan. Kala itu bos Taman Safari Indonesia Tony Sumampau ditunjuk sebagai koordinator TPS. 

Kelompok yang bertahun-tahun membentuk perkumpulan itu sepertinya masih belum ikhlas kehilangan fulus dari mengelola satwa. Saya pernah menuliskan dalam sebuah berita bagaimana menggiurkannya pundi-pundi uang yang bisa didapat dari KBS.

Jadi, jika polisi tak berdaya mengungkap kasus itu, bukan tidak mungkin akan ada kematian atau kasus aneh lain di kebun binatang yang didirikan H.F.K. Kommer tersebut. Mungkin saja selanjutnya ada satwa mati dan di sampingnya ada botol cukrik. Seperti tewasnya sejumlah pemuda Surabaya beberapa waktu lalu karena minuman keras.

Boleh saja dugaan saya itu dianggap sebagai gurauan. Tapi kenyataannya, selama ini keanehan memang kerap terjadi di kebun binatang sepuh (KBS) tersebut. Ketika KBS dikelola TPS pada 2010-2011, penelusuran terhadap kematian satwa beruntun coba dilakukan. Hasilnya, tiga di antara tujuh satwa mati tak wajar dan kuat dugaan ada kesengajaan.

Untuk memangkas siklus itu, polisi memang harus bekerja sungguh-sungguh. Jika perlu, bentuk tim khusus untuk menangani perkara tersebut. Reserse dan penyidik andal yang selama ini trengginas menangkap bandit dan piawai mengungkap kasus pembunuhan manusia perlu dilibatkan. 

Sejauh yang saya tahu, selama ini hampir 90 persen kasus pembunuhan manusia di Surabaya selalu terungkap oleh jajaran Polrestabes Surabaya. Tapi, sejak saya jadi wartawan, tak ada satu pun di antara puluhan kasus kematian satwa di KBS yang berhasil diungkap pelakunya oleh polisi. Yang ada, Polsek Wonokromo hanya berhasil menangkap orang dalam yang mencuri daging pakan satwa.

Jangankan satwa yang mati, polisi pun hingga kini tak mampu menemukan sejumlah komodo yang hilang pada 2011. Perkara itu kini sepertinya hanya ngendon di meja penyidik Polrestabes Surabaya. Saat itu terjadi tarik ulur antara Polda Jatim dan Polrestabes Surabaya dalam penanganan perkara tersebut. 

Tarik ulur itu terjadi karena pihak-pihak yang bersengketa di KBS saling melapor soal hilangnya komodo tersebut. Satu pihak melapor ke Polda Jatim. Pihak lain melapor ke Polrestabes Surabaya. 

Ketika Polda Jatim melepas kasus itu untuk ditangani Polrestabes Surabaya, ternyata harapan masyarakat juga seolah terbang terbawa angin. 

Polisi tak perlu lagi ragu menangani kasus kematian satwa yang terjadi beruntun belakangan ini. Sebab, polisi kini tak sedang berhadapan dengan kelompok-kelompok yang punya kepentingan pribadi. KBS saat ini sudah jelas ditangani pemkot, kepanjangan tangan dari masyarakat Surabaya. Wali kota Surabaya juga menunjukkan keseriusannya menangani KBS. 

Jadi, Kasatreskrim AKBP Farman, Kapolrestabes Kombespol Setija Junianta, masak njenengan rela KBS disebut dunia sebagai zoo of death? Segera ungkap siapa aktor intelektual di balik kejadian-kejadian itu sebagai efek jera. Meskipun kondisi TKP rusak, telat dilaporkan, sepertinya itu bukan halangan. 

Apalagi, perkara tersebut juga bukan delik aduan. Undang-Undang No 5/1990 mengatur soal itu. Dan saya yakin polisi masih punya jurus sakti yang tak mungkin saya sebutkan di sini untuk menelusuri siapa di balik gantung dirinya Michael. 

Dengan terungkapnya aktor intelektual di balik kematian Michael, mungkin akan ada efek jera untuk orang dalam yang masih loyal kepada kelompok-kelompok tertentu. Sebab, hingga saat ini sejumlah pegawai KBS memang masih lekat dengan predikat orangnya kelompok ini dan kelompok itu.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar