Redenominasi
Rupiah 2014, Mungkinkah?
Hesty Dewi Maria S ;
Mahasiswi Statistika IPB
|
SINAR
HARAPAN, 06 Januari 2014
Pemerintah menilai saat ini merupakan momentum yang tepat untuk
menyederhanakan digit mata uang atau yang dikenal dengan kebijakan
redenominasi. Kebijakan ini memang pas diterapkan kala inflasi rendah. Jadi,
tidak memicu gejolak yang berlebihan.
Perubahan nominal rupiah dalam kebijakan redenominasi akan
menciptakan situasi yang sangat berbeda dibandingkan sekarang. Berdasarkan
naskah akademik RUU Perubahan Harga Rupiah, berikut adalah penjelasan nilai
rupiah yang rencananya berlaku mulai 1 Januari 2014. Seperti dikutip Sinar
Harapan, Kamis (27/12/2012), nilai mata uang Rp 1.000 berubah menjadi Rp 1
setelah redenominasi atau Rp 1 tersebut memiliki nilai yang setara Rp 1.000
tanpa mengurangi harga. Namun, benarkah redenominasi rupiah bisa terealisasi?
Istilah redenominasi berbeda dengan pemotongan mata
uang/sanering. Kata “redenominasi” berasal dari bahasa Inggris yaitu
redenomination. Denominasi mata uang berarti penyebutan satuan harga untuk
mata uang suatu negara, baik dalam satuan kertas maupun koin. Redenominasi
berarti penyederhanaan nilai mata uang atau dengan kata lain pengurangan
nilai mata uang, tetapi tidak mengurangi nilai tukar.
Redenominasi di Indonesia sebetulnya bukanlah hal yang
baru. Pada 1959, Menteri Keuangan Kabinet Hatta II, Sjarifuddin
Prawiranegara, menerapkan redenominasi mata uang dengan mengurangi satu digit
nol (0). Pada 1965, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh mencoba
menyelesaikan masalah ekonomi lainnya dengan memberlakukan redenominasi.
Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak dilaksanakan secara
komprehensif karena pengaruh gejala politik dalam negeri serta tidak didukung
perangkat ekonomi lainnya. Oleh karena itu, tahun 1966 inflasi naik drastis
sampai titik 650 persen.
Tahapan Redenominasi
Awalnya, jika berjalan mulus, rencana redenominasi akan
diberlakukan dalam tiga tahapan. Pertama, tahap persiapan yang berlangsung
selama 2013. Dalam tahapan ini, pemerintah menyiapkan payung hukum
pelaksanaan redenominasi, yaitu undang-undang tentang redenominasi rupiah.
Pemerintah dan BI akan menggelar pengadaan bahan pembuatan, pencetakan, dan
pendistribusian uang. Kedua, tahap transisi yang berjalan mulai 2014-2016.
Rupiah baru akan diberlakukan dalam berbagai transaksi perekonomian. Pada
akhir masa transisi, yaitu 2016, pemerintah dan BI akan menarik rupiah lama
dari peredaran. Ketiga, tahap kelar (phasing
out) antara tahun 2017-2020. Pada 2017-2018, rupiah baru menjadi
satu-satunya legal tender dan transaksi yang berlaku di Indonesia. Pada awal
2019, BI akan menerbitkan rupiah dengan desain baru. BI kemudian melakukan
pemberlakuan redenominasi pada 2020.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito
dalam Sinar Harapan, Senin (10/12/2012), menuturkan rencana pemerintah
menyederhanakan satuan nilai rupiah tersebut akan banyak manfaat bagi pasar
modal Indonesia. Menurutnya, penyederhanaan pecahan mata uang khususnya
penyederhanaan digit angka dapat mempercepat penyelesaian transaksi (settlement) perdagangan saham yang
melantai di BEI. Nantinya, data transaksi setiap investor bisa menjadi lebih
sederhana.
Selain itu, manfaat redenominasi dari sisi teknologi
informasi akan membuat kerja sistem menjadi lebih efisien dan cepat.
"Dengan adanya redenominasi, otomatis digit angkanya akan lebih sedikit
dan akan membuat pekerjaan komputer atau IT lebih cepat," tuturnya.
Akan tetapi, tidak semua redenominasi menuai keberhasilan,
seperti halnya yang terjadi di Argentina, Zimbabwe, Korea Utara, dan Brasil.
Hal yang memengaruhi kegagalan ini ialah karena negara-negara tersebut tidak
memenuhi syarat mendasar, seperti tingkat inflasi dan kondisi perekonomian.
Penyebab lainnya, di Brasil misalnya, sebelum berhasil
pada 1994, rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah memicu konflik dan
pemburukan kepastian berusaha. Di sinilah letak pekerjaan berat pemerintah,
sosialisasi yang mendalam. Selain aspek psikologi pasar dan masyarakat, aspek
ketepatan waktu menjadi pertimbangan penting untuk mengeksekusi kebijakan
tersebut.
Syarat Pelaksanaan
Beberapa studi mensyaratkan pentingnya faktor fundamental
ekonomi yang kuat untuk menjalankan redenominasi. Bukan hanya dari faktor
makro, melainkan juga mikro, yaitu pertama, distribusi penduduk. Permasalahan
akses ke daerah pedalaman semakin rumit karena faktor infrastruktur dan
cuaca. Kedua, tingkat pendidikan, mayoritas penduduk Indonesia masih
berpendidikan sekolah dasar ke bawah. Ketiga, struktur tenaga kerja. Keempat,
tantangan geografis dan topografis. Sampai sekarang, konektivitas nasional
masih sangat buruk, terutama di wilayah-wilayah di luar Jawa, seperti
Sulawesi, sebagian Sumatera, Papua, Nusa Tenggara, dan Kalimantan. Dibutuhkan
pembedaan alokasi dana untuk provinsi yang memiliki daerah-daerah pelosok.
Selanjutnya terdapat tiga hal yang dipandang BI sebagai
syarat utama pelaksanaan redenominasi. Pertama, inflasi stabil di bawah 5
persen selama empat tahun berturut-turut. Sesuai tugasnya seperti diatur
dalam Pasal 7, UU Bank Indonesia No 3/2004, Bank Sentral mempunyai kewajiban
mengatasi jumlah uang yang beredar. Ini untuk mencegah jangan sampai uang
yang beredar melebihi kebutuhan perekonomian.
Kedua, stabilitas perekonomian
terjaga dan jaminan stabilitas harga. Diperlukan jaminan stabilitas harga
dari pemerintah sebelum redenominasi itu dilakukan. Ini agar stabilitas
perekonomian tetap terjaga karena dengan nominal yang kecil, bukan tidak
mungkin masyarakat merasa barang yang dijualnya lebih murah, kemudian
menaikkan harga. Ketiga, kesiapan masyarakat sebelum redenominasi yaitu
pemahaman tentang istilah redenominasi. Terlebih untuk masyarakat yang pernah
mengalami masa dilakukannya sanering pada 1950-an.
Sampai sekarang, Indonesia sudah punya ketiga syarat di
atas. Oleh karena itu, tunggu apalagi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar