Iklan
Capres dan Pemiskinan Politik
Joko Wahyono ;
Analis
Politik pada Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 04 Januari 2014
Ingar-bingar panggung politik
Tanah Air terus bergemuruh seiring tahapan proses politik menuju Pemilihan
Presiden (Pilpres) 2014. Derasnya iklan politik calon presiden (capres) dan
calon wakil presiden (cawapres) yang membanjiri layar media, khususnya
televisi, semakin menggenapi fakta itu.
Hubungan simbolik dengan konstituen yang sebelumnya
tercipta karena ikatan ideologis dan loyalitas tradisional, kini tergantikan
karisma dan popularitas figur yang dibangun media.
Media menjadi modal sosial paling efektif membangun citra
visual kandidat dan merebut ruang “diskursus”. Visualisasi citra kandidat
secara massif ini diharapkan mampu membangkitkan ingatan kolektif pemilih
sehingga akan memberikan dukungan suara saat momentum elektorat itu digelar.
Kenyataan ini menggambarkan betapa media memainkan peran
penting dalam struktur politik. Keduanya memiliki “ikatan darah”, meski
terkadang tak searah. Bahkan, dalam relasi itu sejumlah media tampak menjadi
corong kepentingan politik tertentu. Kerja media seolah menjelma menjadi
kerja kampanye politik.
Akibatnya, fungsi media bukan lagi alat kontrol yang
independen dan netral terhadap proses politik. Sebaliknya, eksistensi media
kini justru dikontrol politik. Kondisi ini tak bisa dilepaskan dari kedekatan
antara kandidat capres atau cawapres dengan pemilik media yang juga mempunyai
kepentingan politik-ekonomi.
Ada juga campur tangan juragan media yang berafiliasi
dengan partai politik, bahkan malah menjadi kandidat politiknya. Pola dan
struktur kepemilikan media serta relasinya dengan politik ini memahamkan
kita, betapa media tidaklah berdiri otonom dan netral.
Simulasi Politik
Dalam eksperimen demokrasi saat ini, setiap kandidat atau
partai politik (parpol) memang memiliki kesempatan yang sama untuk
memanfaatkan modal sosial mereka, seperti media, teknologi informasi, dan
komunikasi dalam berkompetisi.
Namun, pemanfaatan modal sosial (teknologi media) untuk
beriklan sejauh ini justru menciptakan kultur simulasi politik. Kerja politik
digiring berjalan dalam sebuah realitas maya (virtual reality), ketika citra lebih mendominasi daripada fakta,
kuantitas lebih penting dari kualitas, dan persepsi lebih utama dari
realitas.
Terbukti, kekuatan iklan politik capres di media bukan
terletak pada gagasan, program, atau soliditas informasi kebijakan yang
terkait langsung dengan kebutuhan dasar rakyat. Kekuatan itu lebih kepada figur personal kandidat
yang akan dijual.
Isu-isu patronase dan primordialisme kerap diketengahkan
untuk membangkitkan respons emosional publik. Padahal, penggunaan argumen
emosional (dalam beriklan) itu, menurut Franklyn Haiman (1958), cenderung direkayasa
mengarahkan publik menyingkirkan alasan logis.
Oleh karena itu, sesungguhnya dalam iklan politik capres
di media berlangsung pembongkaran rasionalitas dan logika publik secara gigantik
(dahsyat). Apalagi, kultur masyarakat kita masih berbasis visual. Budaya
menonton lebih kuat ketimbang membaca. Jadi, publik terlihat pasif dan hanya
menjadi konsumen tunakuasa di relasi media dan politik.
Dengan beriklan di media, publik dirancang memasuki
wilayah—dalam istilah Jean Baudrillard (1981), reality by
proxy—ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi.
Bahkan, publik didorong memilih berdasarkan emosi daripada rasionalitas atas
informasi yang disampaikan iklan politik.
Situasi ini jelas mendistorsi pertukaran gagasan,
menampikan perdebatan ideologi dan mengabaikan diskusi nilai tentang
prioritas, yang pada gilirannya akan membunuh partisipasi publik. Inilah
gejala pemiskinan politik, perendahan derajat dan pendangkalan proses politik
dalam menjawab tuntutan orientasi pemilu yang berkualitas dan demokrasi yang
lebih bermakna.
Keberlimpahan informasi yang disajikan iklan politik di
media menjadikan diskursus politik miskin pengetahuan. Hal ini menyempit ke
dalam pragmatisme kepentingan yang berorientasi jangka pendek demi mendapat
dukungan.
Ruang publik yang terbuka, otonom, dan bebas juga tak
luput tereduksi menjadi pasar yang diperebutkan untuk kepentingan elektorat.
Makna demokrasi pun terlucuti sebatas hitung-hitungan kepala tanpa
memperhitungkan isi kepala (aspirasi publik).
Harus Emansipatif
Harus diakui, publik sudah jenuh dengan visualisasi
politik citra kemasan media yang penuh kepalsuan. Iklan politik semacam itu
diisi wajah-wajah kemunafikan yang lihai menguantifikasi harapan tanpa
korelasi dengan kualitas kenyataan.
Iklan sejatinya murni wilayah komersial yang di dalamnya
sarat pembujukan (persuading) agar
penonton menerima apa yang ditawarkan. Ketika hal itu ditarik ke ranah
politik, harus ada keterbukaan, kejujuran, kebenaran informasi, serta
penghormatan terhadap kepentingan publik.
Karena itu, politik menurut Hannah Arendt (1958) merupakan
seni mengabadikan diri dengan menjamin kebebasan setiap individu dalam
mengupayakan kesejahteraan bersama. Pemilu adalah salah satu lokusnya.
Untuk itu, rakyat selayaknya harus dipahami sebagai subjek
pemilu. Modernisasi iklan capres lewat media sebagai gejala umum politik
pencitraan harus emansipatif. Artinya, konstruksi iklan capres tersebut harus
bertumpu pada penggalian nalar, perspektif, persepsi, dan kualitas
argumentasi pemilih dalam memanfaatkan suara saat pemilu serta harapan yang
melekat dalamnya.
Pembuatan iklan capres di media sedapat mungkin menyentuh
aspirasi dan segala macam persoalan atau isu yang relevan dengan kebutuhan
publik. Upaya inilah yang dipandang Jurgen Habermas (1995) sebagai syarat
lahirnya demokrasi deliberatif, ketika pemilu merupakan hasil pemakaian
publik atas hak-hak komunikatif itu terus-menerus.
Kini, publik harus mendapat akses informasi dalam spektrum
politik yang lebih luas, akurat, tidak ambigu, dan emosional, bukan
propaganda, agitasi atau klaim kebenaran atas informasi palsu yang dibungkus
secara verbal maupun visual lewat iklan. Mereka harus benar-benar
terinformasikan dan terdorong untuk beralasan logis dalam menjatuhkan
pilihannya kelak. Inilah dasar terjadinya transformasi politik yang lebih
bermakna bagi keadaban publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar