Jumat, 10 Januari 2014

Dari Mana Biaya Partai Politik?

                               Dari Mana Biaya Partai Politik?

Ahan Syahrul Arifin  ;   Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia,
Ketua PB HMI 2013-2015
SINAR HARAPAN,  07 Januari 2014
                                                                                                                       


Pembenahan partai politik (parpol) banyak didengungkan. Namun, pembenahan itu tanpa menyertakan amburadulnya masalah pendanaan partai. Jika demikian, wacana pembenahan tidak akan sampai pada akar masalah utamanya. egitu powerful-nya peran partai sebagaimana diatur undang-undang (UU), menyimpan bara sekam tanpa kejelasaan asal partai mendanai aktivitasnya. Penyalahgunaan wewenang, korupsi, oligarki, hingga kartelisasi menjadi celah utama penyelewengan.

Betapa tidak, kuasa parpol begitu menggurita, hampir dalam setiap pengambilan kebijakan strategis. Parpol bisa mengambil peran dan mengintervensi. Dalam konstitusi dijelaskan, pemilihan anggota MPR, DPR, DPRD, presiden, dan wakil presiden melalui parpol, penentuan dipilih lewat pemilu.

Selanjutnya, pemilihan anggota Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Kontitusi (MK), Komisi Yudisial (KY) setelah diusulkan presiden, akan dipilih melalui DPR.
Pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), panglima TNI, Kapolri, akan dipilih DPR setelah diusulkan Presiden. Ada jejak parpol dalam setiap prosesnya.
Itu merupakan ruang transaksi, yang mau tak mau sangat mungkin dimanfaatkan parpol mencari amunisi aktivitas politiknya. Apalagi, parpol dituntut kebutuhan anggaran yang sangat besar untuk operasional sehari-hari, konsolidasi, pendidikan politik, sosialisasi, dan perjalanan dinas.

Very Junaidi dalam Anomali Keuangan Partai Politik: Pengaturan dan Praktek membuat simulasi. Dalam setahun, anggaran partai mencapai 51,2 miliar rupiah, di luar kebutuhan kampanye.

Padahal, parpol hanya dibekali aturan pencariaan anggaran yang berasal dari perseorangan dengan batas maksimal 1 miliar per tahun dan badan usaha 7 miliar per tahun. Ada pula sumbangan anggota yang diatur AD/ART partai.

Lalu, dari mana partai mencari pendanaan jika partai hanya menyebutkan detail sumbangan yang wajib diberikan anggotanya yang duduk di parlemen. Itu terkecuali PAN yang menyebutkan kader parpol di eksekutif juga wajib menyumbang. Aturan sumbangan anggota partai yang diatur AD/ART masing-masing tanpa batasan oleh UU.

Sumbangan anggota partai yang berada di eksekutif menjadi celah yang memungkinkan untuk tambal sulam. Kelonggaran bagi masuknya dana-dana para penyumbang besar, pengusaha, dana haram, cuci uang, dan lain sebagainya.
Untuk itu, terobosan dalam penggalangan dana sangat diperlukan agar transparansi dan akuntabilitas dapat ditingkatkan.

Tanpa batasan yang tegas, parpol akan selalu mencari celah menggalang dana dari pihak-pihak lain secara ilegal. Akibatnya, partai menjadi sarang koruptor, lebih-lebih terkorporasi kepentingan sepihak elite-elite partai dan pemilik modal besar. Eksesnya, oligarki, gerontokrasi, dan kartelisasi tumbuh subur tanpa kendali.

Indikasi tumbuhnya kartelisasi dan oligarki aromanya terasa jika partai digunakan bukan sekadar untuk kepentingan kekuasan, perebutan konstituen, massa, dan kepemimpinan. Namun, merembet pada aset-aset ekonomi yang berkaitan erat dengan sumber-sumber pendapatan dan bisnis.

Bukti sahihnya, secara teoretis, sistem presidensial tidak cocok dengan sistem multipartai. Kestabilan politik akan terganggu sebab koalisi harus dibangun dengan banyak parpol yang berbeda kepentingan.

Akan tetapi di Indonesia, teori tersebut tidak mempan. Bahkan, koalisi-koalisi yang dibangun tidak lagi memikirkan pendulum ideologi. Kontestasi hanya terjadi pada pemilu, selebihnya kepentingan yang berkuasa.

Kuskrido Ambardi dalam disertasinya “Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca-Reformasi”menilai kondisi ini karena sistem kepartaian yang mirip kartel. Oligarki dalam tubuh partai tersambung dengan kartelisasi.

Oleh karena itu, sistem pendanaan parpol dari pendapatan dan pengeluaran harus diatur detail. Selain berguna untuk aktivitas pelaporan keuangan partai, pengaturan pada pendapatan dan pengeluaran yang diperbolehkan konstitusi akan membuat partai dapat bertarung lebih sportif, adil, dan kompetitif untuk meraih dukungan dan suara.

Keran Pembiayaan

Guna membangun partai yang kuat, harus dimulai dengan pembenahan sistem pendanaan partai. Untuk itu, pertama, parpol diperbolehkan berbisnis resmi. Tentunya diperlukan syarat-syarat yang sangat ketat dan jenis usaha yang terbatas pula.
Kedua, parpol diperbolehkan memanfaatkan dana negara, baik melalui proyek APBN, hibah, dan bantuan sosial. Bantuan ini juga dibatasi dengan jumlah yang bisa dipergunakan dan peruntukkannya untuk apa. Ingat, korupsi sering lahir dari penyelewengan dana bantuan sosial dan hibah.

Ketiga, negara wajib meningkatkan peran subsidi, sebagaimana peranan penting parpol dalam kehidupan bernegara. Metode reimbuersment bisa juga diberikan untuk kegiatan-kegiatan parpol yang terkait upaya peningkatan kesadaran politik masyarakat atau kegiatan kampanye selama masa pemilu. Pemberian anggaran tersebut harus diatur detail, apa-apa saja yang bisa ditanggung pemerintah.

Keempat, sumbangan swasta tidak perlu dibatasi. Tentunya hal ini syaratnya ada aturan mengenai pembatasan pengeluaran, terutama pembatasan saat kampanye. Adanya aturan baku yang menyebutkan pembatasan mengenai pengeluaran kampanye akan sangat penting untuk menjaga kompetisi parpol berjalan seimbang.

Aspek pendanaan adalah aspek yang sangat krusial dalam tubuh parpol. Namun, hingga kini jarang disentuh dan diperhatikan serius. Bahkan, dalam UU No 2/2008 juncto UU No 2/2011 tentang Partai Politik, aturan mengenai pelaporan dana parpol tidak diatur tegas ke mana pelaporanya.

Padahal dalam UU No 32/2002, parpol memiliki kewaiban melaporkan keuangannya pada KPU setelah diaudit. Pada UU No 2/1999, partai politik wajib menyampaikan laporan keuanganya pada MA.

Sebaliknya, pada UU No 2/2011, parpol tak memiliki kewajiban kepada siapa pun untuk melaporkan, meskipun publik wajib tahu laporan keuangan partai. Namun, di manakah dan bagaimana mengetahuinya?

Keterkaitan ini jelas merupakan kemunduran bagi proses transparansi dan akuntabilitas keuangan parpol. Inilah urgensi pembenahan parpol yang harus dimulai dari sumber pendanaannya. Jangan sampai parpol jadi lahan cuci uang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar