Ragu
Efek Domino Century
Effnu Subiyanto ; Pendiri Forkep, Kandidat Doktor Ekonomi Unair
|
SUARA
KARYA, 30 Desember 2013
Hipotesis sistemik ala Bank Century mengemuka
kembali setelah mogul ekonomi Profesor Budiono diperiksa 8 jam oleh KPK
(23/11/2013). Ini tantangan serius bagi pemeriksa KPK dilihat dari kepakaran
ekonomi, skill dan knowledge
pemeriksa KPK yang tidak sebanding sama sekali dengan Profesor Budiono.
Doktor lulusan Wharton School Universitas Pennsylvania, AS (1979) ini sangat
tidak diragukan kepakarannya dari mikro sampai makro ekonomi.
Di atas kertas, para pemeriksa KPK yang
barangkali pernah belajar ekonomi dari pengajar turunan kesekian dari Maha
Guru Budiono, tidak akan mampu memberikan pandangan komprehensif dan
bertautan dari sebuah efek domino ekonomi. Indikasinya mudah, pemeriksaan
mencapai 8 jam mengirimkan pesan bahwa para penyidik KPK semakin kesulitan memahami
konstruk pikir ekonomi yang rumit. Dari perspektif ini hasil akhir
pemeriksaan Profesor Budiono atas skandal Century sebetulnya dapat
diperkirakan ujungnya.
Pertanyaan mendasar, masih sulit dipercaya
bagaimana tingkat kerugian Rp 6,7 triliun akan mengakibatkan dampak sistemik
pada seluruh struktur keuangan sehingga dikhawatirkan akan mengulang krisis
1998. Diperlukan stress test untuk menguji kesahihan hipotesis sistemik KSSK.
Faktor-faktor yang tidak mendukung hipotesis ini karena posisi cadangan devisa
nasional pada saat itu berada pada 57 miliar dolar AS. Jadi tanpa menggunakan
dana APBN sekalipun, maka nilai Rp 6,7 triliun seharusnya tidak dicemaskan.
Sulitnya mendefinisikan sistemik malah
berlangsung di Amerika Serikat (AS) dan melalui hearing dengan Kongres yang
tidak berkesudahan. Di Indonesia hipotesis sistemik dan efek domino justru
kelihatan sangat mudah diterapkan. Inilah keanehan utama sistemik dan efek
domino dari dugaan skandal Bank Century.
Tentu saja berbeda dengan pengalaman AS dalam
mengatasi krisis keuangan 2008. Rencana bail out (dana talangan) sebesasr 700
miliar dolar AS pemerintah Bush terhadap seluruh instrumen keuangan AS
menyeret perdebatan panjang antara dua kubu. Pemerintah diwakili oleh
Gubernur The Fed Ben Bernanke, Menteri Keuangan Henry Paulson dan Kepala SEC
(Security Exchange Commission)
Christopher Cox sementara kubu lainnya dari Kongres.
Senator California asal Partai Demokrat Brad
Sherman menolak dana talangan karena hanya akan menyenangkan Wall Street tapi
tidak bagi rakyat AS. Sementara Senator Florida asal Partai Republik Cliff
Stearns sangat tidak setuju karena akan membahayakan pembayar pajak AS
padahal tujuan dana talangan semata-mata hanya untuk melindungi perusahaan
swasta. Senator Richard Shelby asal Partai Republik dari Alabama juga menolak
rencana itu. Perusahaan yang kesulitan likuiditas tersebut harus menanggung
risiko dari kecerobohan investasinya sendiri, agar menjadi pelajaran,
demikian pendapat Stearns.
Perubahan sikap Kongres ini memang berbeda
ketika Kongres menyetujui dana talangan The Fed atas AIG 85 miliar dolar AS
(15/9/08). Bernanke ketika itu menggunakan alasan karena operasional AIG
hingga 130 negara sangat membahayakan perekonomian global.
Krisis keuangan di AS saat itu bisa dikatakan
sebagai krisis terbesar setelah great
depression pada era 1930-an. Akibat krisis subprime mortgage yang terjadi sejak 2007 itu, sejumlah lembaga
keuangan di dunia bangkrut. Kerugian dari skandal subprime mortgage ini diperkirakan mencapai 650 miliar dolar AS.
Bahkan, oleh IMF, kerugian bisa mencapai 1 triliun dolar AS. Kerugian
tersebut tentunya belum memperhitungkan kerugian ekonomi, seperti kerugian
yang dialami perusahaan-perusahaan di bidang perdagangan, manufaktur,
perumahan, dan lain-lain.
Secara makro, kerugian yang ditimbulkan oleh
dampak krisis di AS terlihat dari turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi dunia.
Rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi dunia itu tentunya akan sangat
berpengaruh kepada sektor riil di negara yang memiliki portofolio ekonomi
yang besar dengan AS dan negara-negara yang terkena dampak secara signifikan
dari krisis di AS. Inilah sebagian hakikat sebenarnya dari hipotesis sistemik
dan efek domino yang disinggung sedikit oleh Profesor Budiono pada jumpa pers
(23/11/2013) di kantor Wapres. Parsinomi Indonesia.
Telah terjadi pandangan parsinomi dalam kasus
skandal sistemik Bank Century. Kadar persoalannya dieskalasikan ke atas atau
ditingkatkan agar hipotesis sistemik dan efek domino diterima. Padahal kantor
cabang Bank Century pada saat itu hanya dalam skala antar propinsi yakni
hanya 56 kantor cabang dengan hanya 19 mesin ATM. Sungguh, definisi sistemik
ini memang harus dipertanyakan oleh Pansus Hak Angket DPR karena ada nuansa
konspirasi ekonomi neoliberal yang tidak transparan diketahui publik.
Benarkah kekuatan PDB nasional Rp 5.401
triliun, cadangan devisa nasional 57 miliar dolar AS, kekuatan belanja negara
Rp 954 triliun (2009) bisa diguncang dengan Rp 6,7 triliun. Rasanya sulit
dipercaya 56 kantor cabang Bank Century dan hanya 19 ATM mampu membuat
turbulensi keuangan sistematik nasional. Sepertinya terjadi pengaburan
masalah dan tumpang tindih definisi, yakni sistemik dalam skup lokal atau
nasional. Bagi orang awam, transmisi dampak sistemik Bank Century ini pasti
akan terjadi langsung pada pemegang saham, manajemen, karyawan, nasabah,
pemberi utang dan pihak-pihak khusus. Kalau sistemik memenuhi pemahaman ini,
tentu saja benar dan tidak dipersoalkan publik Indonesia.
Kini Bank Century telah bertransformasi
menjadi Bank Mutiara. Namun, nama baru tidak seketika mampu menuntaskan sisi
kelam kiprah keuangannya. Sampai dengan penawaran ke-4 LPS sejak 2011, 2012,
Mei 2013 dan November 2013 belum sedikitpun Bank Mutiara ditoleh investor
baru. Skandal Century ini adalah skandal permanen, salah sedari awal. Bank
Mutiara mendapatkan kutukannya entah sampai kapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar