Sabtu, 04 Januari 2014

Ragu Efek Domino Century

                                      Ragu Efek Domino Century

Effnu Subiyanto   ;   Pendiri Forkep, Kandidat Doktor Ekonomi Unair
SUARA KARYA,  30 Desember 2013
                           



Hipotesis sistemik ala Bank Century mengemuka kembali setelah mogul ekonomi Profesor Budiono diperiksa 8 jam oleh KPK (23/11/2013). Ini tantangan serius bagi pemeriksa KPK dilihat dari kepakaran ekonomi, skill dan knowledge pemeriksa KPK yang tidak sebanding sama sekali dengan Profesor Budiono. Doktor lulusan Wharton School Universitas Pennsylvania, AS (1979) ini sangat tidak diragukan kepakarannya dari mikro sampai makro ekonomi.

Di atas kertas, para pemeriksa KPK yang barangkali pernah belajar ekonomi dari pengajar turunan kesekian dari Maha Guru Budiono, tidak akan mampu memberikan pandangan komprehensif dan bertautan dari sebuah efek domino ekonomi. Indikasinya mudah, pemeriksaan mencapai 8 jam mengirimkan pesan bahwa para penyidik KPK semakin kesulitan memahami konstruk pikir ekonomi yang rumit. Dari perspektif ini hasil akhir pemeriksaan Profesor Budiono atas skandal Century sebetulnya dapat diperkirakan ujungnya.

Pertanyaan mendasar, masih sulit dipercaya bagaimana tingkat kerugian Rp 6,7 triliun akan mengakibatkan dampak sistemik pada seluruh struktur keuangan sehingga dikhawatirkan akan mengulang krisis 1998. Diperlukan stress test untuk menguji kesahihan hipotesis sistemik KSSK. Faktor-faktor yang tidak mendukung hipotesis ini karena posisi cadangan devisa nasional pada saat itu berada pada 57 miliar dolar AS. Jadi tanpa menggunakan dana APBN sekalipun, maka nilai Rp 6,7 triliun seharusnya tidak dicemaskan.

Sulitnya mendefinisikan sistemik malah berlangsung di Amerika Serikat (AS) dan melalui hearing dengan Kongres yang tidak berkesudahan. Di Indonesia hipotesis sistemik dan efek domino justru kelihatan sangat mudah diterapkan. Inilah keanehan utama sistemik dan efek domino dari dugaan skandal Bank Century.

Tentu saja berbeda dengan pengalaman AS dalam mengatasi krisis keuangan 2008. Rencana bail out (dana talangan) sebesasr 700 miliar dolar AS pemerintah Bush terhadap seluruh instrumen keuangan AS menyeret perdebatan panjang antara dua kubu. Pemerintah diwakili oleh Gubernur The Fed Ben Bernanke, Menteri Keuangan Henry Paulson dan Kepala SEC (Security Exchange Commission) Christopher Cox sementara kubu lainnya dari Kongres.

Senator California asal Partai Demokrat Brad Sherman menolak dana talangan karena hanya akan menyenangkan Wall Street tapi tidak bagi rakyat AS. Sementara Senator Florida asal Partai Republik Cliff Stearns sangat tidak setuju karena akan membahayakan pembayar pajak AS padahal tujuan dana talangan semata-mata hanya untuk melindungi perusahaan swasta. Senator Richard Shelby asal Partai Republik dari Alabama juga menolak rencana itu. Perusahaan yang kesulitan likuiditas tersebut harus menanggung risiko dari kecerobohan investasinya sendiri, agar menjadi pelajaran, demikian pendapat Stearns.

Perubahan sikap Kongres ini memang berbeda ketika Kongres menyetujui dana talangan The Fed atas AIG 85 miliar dolar AS (15/9/08). Bernanke ketika itu menggunakan alasan karena operasional AIG hingga 130 negara sangat membahayakan perekonomian global.

Krisis keuangan di AS saat itu bisa dikatakan sebagai krisis terbesar setelah great depression pada era 1930-an. Akibat krisis subprime mortgage yang terjadi sejak 2007 itu, sejumlah lembaga keuangan di dunia bangkrut. Kerugian dari skandal subprime mortgage ini diperkirakan mencapai 650 miliar dolar AS. Bahkan, oleh IMF, kerugian bisa mencapai 1 triliun dolar AS. Kerugian tersebut tentunya belum memperhitungkan kerugian ekonomi, seperti kerugian yang dialami perusahaan-perusahaan di bidang perdagangan, manufaktur, perumahan, dan lain-lain.

Secara makro, kerugian yang ditimbulkan oleh dampak krisis di AS terlihat dari turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi dunia. Rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi dunia itu tentunya akan sangat berpengaruh kepada sektor riil di negara yang memiliki portofolio ekonomi yang besar dengan AS dan negara-negara yang terkena dampak secara signifikan dari krisis di AS. Inilah sebagian hakikat sebenarnya dari hipotesis sistemik dan efek domino yang disinggung sedikit oleh Profesor Budiono pada jumpa pers (23/11/2013) di kantor Wapres. Parsinomi Indonesia.

Telah terjadi pandangan parsinomi dalam kasus skandal sistemik Bank Century. Kadar persoalannya dieskalasikan ke atas atau ditingkatkan agar hipotesis sistemik dan efek domino diterima. Padahal kantor cabang Bank Century pada saat itu hanya dalam skala antar propinsi yakni hanya 56 kantor cabang dengan hanya 19 mesin ATM. Sungguh, definisi sistemik ini memang harus dipertanyakan oleh Pansus Hak Angket DPR karena ada nuansa konspirasi ekonomi neoliberal yang tidak transparan diketahui publik.

Benarkah kekuatan PDB nasional Rp 5.401 triliun, cadangan devisa nasional 57 miliar dolar AS, kekuatan belanja negara Rp 954 triliun (2009) bisa diguncang dengan Rp 6,7 triliun. Rasanya sulit dipercaya 56 kantor cabang Bank Century dan hanya 19 ATM mampu membuat turbulensi keuangan sistematik nasional. Sepertinya terjadi pengaburan masalah dan tumpang tindih definisi, yakni sistemik dalam skup lokal atau nasional. Bagi orang awam, transmisi dampak sistemik Bank Century ini pasti akan terjadi langsung pada pemegang saham, manajemen, karyawan, nasabah, pemberi utang dan pihak-pihak khusus. Kalau sistemik memenuhi pemahaman ini, tentu saja benar dan tidak dipersoalkan publik Indonesia.

Kini Bank Century telah bertransformasi menjadi Bank Mutiara. Namun, nama baru tidak seketika mampu menuntaskan sisi kelam kiprah keuangannya. Sampai dengan penawaran ke-4 LPS sejak 2011, 2012, Mei 2013 dan November 2013 belum sedikitpun Bank Mutiara ditoleh investor baru. Skandal Century ini adalah skandal permanen, salah sedari awal. Bank Mutiara mendapatkan kutukannya entah sampai kapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar