Nasib
Bank Mutiara
Ichsanuddin Noorsy ; Ketua
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
|
SUARA
KARYA, 30 Desember 2013
Siapa sangka kalau kasus Bank Mutiara (dahulu
Bank Century) bukan saja bertele-tele, melainkan juga menyengat kesadaran
publik saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan kerugian negara
mencapai Rp 689,3 miliar ditambah Rp 6.742 miliar sehingga berjumlah Rp 7,313
triliun.
Kerugian itu tidak demikian besarnya, tetapi
jumlah itu dikurangi dengan harga penjualan Bank Mutiara. Tetapi, kerugian
itu bertambah lagi karena Bank Mutiara membutuhkan injeksi modal Rp 1,249
triliun.
Kebutuhan itu disebabkan kredit bermasalah
yang perlu dicadangkan mencapai Rp 621,1 miliar dan kebutuhan biaya, antara
lain untuk pembayaran pajak Rp 222 miliar dan pembayaran nasabah Antaboga Rp
40,7 miliar, mandatory convertible bonds Rp 167,4 miliar, dan pembayaran atas
kewajiban tiga koperasi sebesar Rp 173,3 miliar.
Hal yang jadi masalah, apakah kredit
bermasalah yang muncul dari manajemen lama Rp 545,4 miliar dan dari manajemen
baru Rp 84,7 miliar tidak teridentifikasi dengan baik dengan pendekatan
mitigasi risiko? Pertanyaan yang sama bisa diajukan saat bank itu diambil
alih LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Apakah manajemen atas unjuk LPS tidak
memperhitungkan risiko likuiditas?
Pertanyaan itu diajukan justru karena transfer
dana dari LPS ke Bank Century tidak menggunakan pembatas jumlah injeksi
penyertaan modal sementara (cut off)
sebagaimana hasil audit BPK.
Dalam hal ini BPK berpendapat, karena pada
saat pengambilalihan Bank Century oleh KSSK tidak ada ketentuan berapa besar
injeksi modal yang ditentukan dan LPS kemudian juga tidak menetapkan batas
atas besarnya penyertaan modal sementara. Maka, sejak diputuskan diambil alih
hingga penambahan modal Rp 1,249 triliun LPS tidak menerapkan prinsip
kehati-hatian.
Di sebuah televisi swasta, saya memang memilah
kasus Bank Century menjadi empat bagian. Pertama, merger (penggabungan)
menjadi Bank Century. Kedua, dari merger ke FPJP. Ketiga, dari FPJP ke KK.
Keempat, dari KK ke KSSK.
Persoalan pertama dan kedua adalah persoalan
bagaimana BI menjalankan peranannya sebagai regulator dan lembaga pengawas
industri perbankan. Kalangan perbankan mengerti bahwa bank itu sejak awal
memang tidak sehat. Ini tergambar dalam posisi merger dan setelahnya. Pada
titik itulah perubahan PBI untuk memberi bantuan likuiditas melalui FPJP
menjadi puncak buruknya pengawasan BI terhadap Bank Century.
Justru karena memahami persoalan itu lebih
dalam, maka situasi nilai tukar yang bergejolak pada Oktober-November 2008
dimanfaatkan BI untuk mengatakan bahwa krisis berdampak sistemik. Sebenarnya
sejumlah petinggi BI tidak setuju dengan keputusan Bank Century adalah bank
gagal berdampak sistemik. Semua indikator keuangan menunjukkan tidak
berdampak sistemik.
Bank Century menjadi berdampak sistemik saat
digunakan indikator psikologis. Penggunaan indikator psikologis itulah yang
menunjukkan bahwa penyelamatan Bank Century dipaksakan. Itu saya kemukakan di
hadapan Pansus Bank Century 21 Januari 2010. Karena itu menjadi ceroboh.
Sayangnya, kecerobohan itu diulang. Jika LPS
menerapkan prinsip kehati-hatian, paling tidak belajar dari cara pemerintahan
BJ Habibie melakukan rekapitalisasi perbankan hingga Rp 430,2 triliun guna
mencapai CAR tertentu, lalu manajemen atas unjuk LPS juga menerapkan prinsip
itu serta proper and comply. Maka
tidak akan berlaku tudingan moral hazard.
Pada manajemen,
misalnya, tugas utamanya adalah menjaga kepercayaan nasabah sehingga nasabah
tidak menarik dananya disebabkan LPS sudah menjadi pemegang saham terbesar.
Kenyataannya, Bank Century tetap berhadapan dengan pasar yang tidak percaya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar