Sabtu, 04 Januari 2014

Nasib Bank Mutiara

                                                 Nasib Bank Mutiara

Ichsanuddin Noorsy   ;   Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
SUARA KARYA,  30 Desember 2013
                           



Siapa sangka kalau kasus Bank Mutiara (dahulu Bank Century) bukan saja bertele-tele, melainkan juga menyengat kesadaran publik saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan kerugian negara mencapai Rp 689,3 miliar ditambah Rp 6.742 miliar sehingga berjumlah Rp 7,313 triliun.

Kerugian itu tidak demikian besarnya, tetapi jumlah itu dikurangi dengan harga penjualan Bank Mutiara. Tetapi, kerugian itu bertambah lagi karena Bank Mutiara membutuhkan injeksi modal Rp 1,249 triliun.

Kebutuhan itu disebabkan kredit bermasalah yang perlu dicadangkan mencapai Rp 621,1 miliar dan kebutuhan biaya, antara lain untuk pembayaran pajak Rp 222 miliar dan pembayaran nasabah Antaboga Rp 40,7 miliar, mandatory convertible bonds Rp 167,4 miliar, dan pembayaran atas kewajiban tiga koperasi sebesar Rp 173,3 miliar.

Hal yang jadi masalah, apakah kredit bermasalah yang muncul dari manajemen lama Rp 545,4 miliar dan dari manajemen baru Rp 84,7 miliar tidak teridentifikasi dengan baik dengan pendekatan mitigasi risiko? Pertanyaan yang sama bisa diajukan saat bank itu diambil alih LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Apakah manajemen atas unjuk LPS tidak memperhitungkan risiko likuiditas?

Pertanyaan itu diajukan justru karena transfer dana dari LPS ke Bank Century tidak menggunakan pembatas jumlah injeksi penyertaan modal sementara (cut off) sebagaimana hasil audit BPK.

Dalam hal ini BPK berpendapat, karena pada saat pengambilalihan Bank Century oleh KSSK tidak ada ketentuan berapa besar injeksi modal yang ditentukan dan LPS kemudian juga tidak menetapkan batas atas besarnya penyertaan modal sementara. Maka, sejak diputuskan diambil alih hingga penambahan modal Rp 1,249 triliun LPS tidak menerapkan prinsip kehati-hatian.

Di sebuah televisi swasta, saya memang memilah kasus Bank Century menjadi empat bagian. Pertama, merger (penggabungan) menjadi Bank Century. Kedua, dari merger ke FPJP. Ketiga, dari FPJP ke KK. Keempat, dari KK ke KSSK.

Persoalan pertama dan kedua adalah persoalan bagaimana BI menjalankan peranannya sebagai regulator dan lembaga pengawas industri perbankan. Kalangan perbankan mengerti bahwa bank itu sejak awal memang tidak sehat. Ini tergambar dalam posisi merger dan setelahnya. Pada titik itulah perubahan PBI untuk memberi bantuan likuiditas melalui FPJP menjadi puncak buruknya pengawasan BI terhadap Bank Century.

Justru karena memahami persoalan itu lebih dalam, maka situasi nilai tukar yang bergejolak pada Oktober-November 2008 dimanfaatkan BI untuk mengatakan bahwa krisis berdampak sistemik. Sebenarnya sejumlah petinggi BI tidak setuju dengan keputusan Bank Century adalah bank gagal berdampak sistemik. Semua indikator keuangan menunjukkan tidak berdampak sistemik.

Bank Century menjadi berdampak sistemik saat digunakan indikator psikologis. Penggunaan indikator psikologis itulah yang menunjukkan bahwa penyelamatan Bank Century dipaksakan. Itu saya kemukakan di hadapan Pansus Bank Century 21 Januari 2010. Karena itu menjadi ceroboh.

Sayangnya, kecerobohan itu diulang. Jika LPS menerapkan prinsip kehati-hatian, paling tidak belajar dari cara pemerintahan BJ Habibie melakukan rekapitalisasi perbankan hingga Rp 430,2 triliun guna mencapai CAR tertentu, lalu manajemen atas unjuk LPS juga menerapkan prinsip itu serta proper and comply. Maka tidak akan berlaku tudingan moral hazard.

Pada manajemen, misalnya, tugas utamanya adalah menjaga kepercayaan nasabah sehingga nasabah tidak menarik dananya disebabkan LPS sudah menjadi pemegang saham terbesar. Kenyataannya, Bank Century tetap berhadapan dengan pasar yang tidak percaya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar