Mandulnya
Kandidasi Capres 2014
Bambang Arianto ; Peneliti Politik Bulaksumur
Empat Research and Consulting
(BERC) Yogyakarta
|
SUARA
KARYA, 31 Desember 2013
Perburuan ikon calon presiden (capres) melalui
jalur konvensi nampaknya belum semeriah proses kandidasi capres di daerah
asalnya yakni Amerika. Konvensi yang ditujukan guna menjaring capres di
pemilu 2014 semakin menghilang dari alam sadar publik. Euforia konvensi yang
digelar seakan larut oleh opini dan resistensi politik yang berkembang.
Sebut saja konvensi yang digelar Partai
Demokrat (PD) euforianya tidak semeriah hajatan yang digelar Partai Golkar
pada pemilu 2004. Kala itu euforia konvensi dapat menarik atensi publik. Pendidikan
dan edukasi politik pun berjalan sebagaimana mestinya. Ini menegaskan asumsi
publik bahwa konvensi PD banyak menampilkan logika ilusi popularitas yang
cenderung menutupi keterpurukan sebagai parpol korup.
PD yang tengah mengalami kemunduran elektabilitas
dimata publik, harusnya mampu memanfaatkan proses konvensi sebagai upaya
reformulasi citra parpol. Sayangnya elit PD justru sibuk melancarkan serangan
ke berbagai pihak termasuk kepada Gubernur DKI Jokowi, yang ujung-ujungnya
menimbulkan ketidaksimpatian publik. PD juga terkesan keropos dan tidak solid
karena terlalu reaksioner dengan opini dan resistensi yang berkembang
menjelang pemilu 2014.
Publik akhirnya disuguhi tontonan yang tidak
mencerdaskan nalar, dan jauh dari upaya menyajikan kontestasi yang mendidik.
Ditengah merosotnya euforia konvensi PD,
muncul reaksi publik melalui sejumlah tokoh agama dan para cendekiawan.
Sebuah ajang perburuan ikon pemimpin milik rakyat. Kemunculan konvensi rakyat
didasari dari elite politik yang diusung sebagai capres, baik yang diusung
oleh partai maupun konvensi PD, diprediksi belum layak memimpin bangsa.
Komite konvensi rakyat yang bermaterikan KH Solahuddin Wahid atau Gus Solah,
Pendeta Nathan Setiabudi, Romo Frans Magniz-Suseno, Jaya Suprana, Adnan
Buyung Nasution, dan Aristides Katoppo.
Konvensi ini menjaring tokoh-tokoh partai dan
nonpartai yang dianggap layak menjadi penerus kepemimpinan nasional. Konvensi
rakyat tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan alternatif kepada rakyat,
namun juga memberikan alternatif kepada partai politik yang selama ini
mengekor. Munculnya konvensi rakyat di tengah semi-euforia konvensi versi PD,
menjadi tanda tanya bagi publik. Apakah ini sebagai bentuk dari dampak
euforia konvensi PD ataukah pembuktian dari akumulasi kekecewaan politik
publik terhadap konvensi PD?
Hambatan konvensi
Perlu disadari, baik itu konvensi rakyat
maupun konvensi bentukan parpol, tetap saja ukuran keberhasilan konvensi
sangat ditentukan oleh kemampuan para kandidat dalam merangkai tingkat
atraktivitas dan akseptabilitas publik. Tidak lepas pula bagaimana para
kandidat mampu mempengaruhi dan menciptakan image positif guna menumbuhkan
empati publik melalui serangkaian kontruksi peristiwa politik.
Artinya faktor personalisasi politik jelas
berpengaruh. Ini merupakan katalisator yang dapat membantu menetapkan pilihan
publik. Calon kandidat peserta konvensi akan mampu mencapai titik maksimal
jika didukung oleh personalisasi politik yang sedapat mungkin terlembaga.
Bekerjanya tim sukses maupun ormas pendukung menjadi kunci sukses, namun hal
ini tidak semata-mata didasarkan pada kecintaan buta publik. Sebab hal ini
tidak saja akan menumbuhkan kultus individu namun juga melemahkan peran
parpol dalam sistem representative
democracy.
Berkerjanya mesin pendongkrak popularitas
seperti iklan dan survei politik telah meyakinkan keberadaannya secara
otomatis dalam menggantikan realitas politik secara langsung. Munculnya
fenomena lanjutan, dengan menguatnya trans-historisasi pengalaman dan
tindakan politik, yang mana para kandidat mengklaim masuk kedalam dunia
politik, atau para kandidat merasa telah dikenal melalui iklan politik. Para
kandidat mengakui telah melaksanakan program konvensi ketika sudah melaporkan
dirinya dalam bentuk iklan politik, ataupun membentuk ormas namun
berorientasi politis sebagai tim kampanye. Disini terlihat jelas bila peserta
konvensi lebih suka menghandalkan uang guna mendanai iklan politik ketimbang
membangun program politik yang berbasis rakyat.
Para capres konvensi tidak memahami citra
politik yang dihasilkan oleh iklan politik yang tampak oleh indra, tidak
memiliki eksistensi yang substansial, persamaan apalagi representasi yang
diharapkan. Citra politik hanya bisa merujuk pada suatu representasi visual
dari realitas seperti terlihat pada foto, konsepsi mental, atau imajinatif
dari seorang individu, peristiwa, lokasi, dan objek. Citra politik adalah
kondisi yang mana realitas politik dibingkai dan sekaligus direduksi ke dalam
prinsip dan wujud-wujud citra di dalam berbagai media. Proses pencitraan ini
menjadi fluktuatif dengan makin terlibatnya aktifitas atau klaim
kuasi-saintifik dalam politik melalui survei.
Survei kemudian merekonstruksi penjelasan dan
penilaian etis berdasarkan analisa data sehingga menjadi tembok yang
hiperrealitas. Ini dapat menunjukkan sebagai hambatan terbesar bagi proses
kandidasi capres model konvensi di Indonesia, sebab informasi yang dihasilkan
publik cenderung timpang dan artifisial.
Akan sia-sia bila nantinya para kandidat
konvensi capres 2014 di Indonesia masih menghandalkan serangkaian operasi
mendidik yang dilakukan melalui media iklan guna merepresentasikan citra yang
sedemikian rupa. Hal ini juga menyangkut serangkaian citra dan slogan-slogan
yang sugestif yang kesemuanya dilakukan dalam kerja yang melibatkan agensi
iklan, lembaga survei maupun konsultan politik bayaran. Artinya masih ada
harapan besar bagi bekerjanya operasi mendidik lainnya dalam upaya evolusi
representasi semu menjadi representasi citra yang realitas. Hal ini akan
ditunjukkan pada program kampanye kandidasi yang lebih bersifat bermanfaat
dan mendidik rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar