Proses
Sungsang Tahun Politik
Indra J Piliang ;
Direktur
Eksekutif The Gerilya Institute
|
KORAN
JAKARTA, 09 Januari 2014
Ada dua pemilu penting di tahun
ini: legislatif (DPR, DPD, dan DPRD pada tanggal 9 April 2014) serta presiden
dan wakil presiden (9 Juli 2014). Di Asia, bukan hanya Indonesia
yang mengadakan pemilu. Ada juga di Banglades, Thailand, dan India. Walau
tidak akan banyak pengaruhnya kepada stabilitas politik di kawasan, tetap
saja, pemenang pemilu menjadi perhatian banyak pihak melebihi tahun 2009
karena ada presiden baru.
Hanya, terjadi proses yang sungsang dalam menyambut tahun politik ini. Sepanjang 2013, diskusi lebih banyak menyangkut calon presiden yang potensial daripada partai politik (parpol) yang akan memenangkan pemilu legislatif. Ini dipicu hasil-hasil survei lembaga dan kampus.
Kesadaran ini muncul lebih
karena pergantian presiden. Ketentuan konstitusi membuat seseorang tidak bisa
lagi dipilih untuk masa jabatan ketiga. Peluang inilah yang menghadirkan
diskusi harian yang menjemukan.
Padahal, pemilu legislatif lebih dulu, baru presiden dan wakil. Ada soal elementer yang patut dikemukakan menyangkut proses ini. Bagaimanapun, seorang calon presiden dan wakil diajukan parpol atau gabungan yang mengikuti pemilu legislatif.
Persentase dukungan kursi di
legislatif atau jumlah pemilih sudah ada dalam undang-undang. Tanpa ada
parpol atau gabungan pengusung, mustahil mencalonkan sepasang presiden dan
wakil, setinggi apa pun elektabilitasnya dalam survei. Ketentuan konstitusi
ini tidak bisa diubah, kecuali diamendemen.
Berikutnya, tanpa adanya dukungan legislatif, mustahil juga pemerintahan bisa bekerja baik. Amendemen UUD 1945 menempatkan legislatif, terutama DPR, pada posisi yang kuat. Legislatif bahkan lebih kuat dari lembaga kepresidenan. Hal ini juga muncul akibat koalisi besar yang dibentuk Presiden SBY dalam menjalankan kabinet.
Trauma impeachment terhadap Presiden Abdurrahman Wahid menjadi dasar
pengambilan keputusan. Presiden yang tanpa dukungan kuat di parlemen, bukan
hanya sulit menjalankan agenda pemerintahan, bahkan bisa dijatuhkan kapan
saja dengan isu sederhana sekalipun.
Orang Besar
Sungsangnya diskusi politik ini
juga berasal dari teori orang besar dalam setiap ceruk sejarah. Bahwa orang
besarlah yang menentukan sejarah, bukan ide atau gagasan besar. Teori orang
besar ini mengarah kepada satu orang, bukan sekumpulan atau sekelompok orang.
Jadi, organisasi tidak terlalu penting, termasuk parpol.
Sejak Indonesia merdeka, konsep inilah yang memunculkan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Barangkali, hanya era Habibie dan Wahid yang lebih memperlihatkan kebersamaan dari sisi ide, sehingga menjungkalkan keduanya dari kursi kepresidenan. Habibie ditolak laporan pertanggungjawabannya, sementara Wahid dilengserkan. Kolektivitas elite meninggalkan wajah buruk, yakni lebih bersifat konspiratif, ketimbang konstruktif. Teori itu juga tampaknya berlaku untuk tahun ini, ketika semakin sedikit orang yang percaya kepada negara dan seluruh sistemnya. Masyarakat lebih mempercayai orang, ketimbang parpol. Menilai orang memang lebih sederhana, ketimbang organisasi yang lebih kompleks. Kekaguman dan kebencian kepada seseorang dengan mudah terbentuk.
Jangankan aturan organisasi
yang jauh lebih detail, bahkan jarang ada yang memahami undang-undang serta
konstitusi secara utuh-menyeluruh. Penilaian lebih bersifat jangka pendek,
bukan menengah dan panjang.
Bukan hanya itu, informasi kini juga lebih pendek dan banyak, ketimbang panjang dan padat. Cara berkomunikasi kini juga tidak lagi mengandalkan penalaran dengan data dan dokumen lengkap, tapi digantikan persepsi yang diolah dari ucapan saja. Masyarakat seperti menghadapi lautan sampah yang didaur ulang, ketimbang sesuatu yang lebih asli.
Contoh, seseorang atau
sekelompok bisa saja dengan mudah dituduh sebagai teroris, tanpa usaha yang
jelas untuk memberi informasi akurat.
Bahkan, tontonan infotainment bisa jadi sebagai bentuk dari kehadiran informasi seperti itu, ketika perang kata-kata antar-"selebritas" dipertunjukkan ke hadapan publik. Bahwa seseorang itu layak disebut sebagai selebritas atau tidak, bukan lagi menjadi persoalan.
Ketika individu dengan mudah
hadir ke panggung tanpa proses yang sebenarnya, status sosial hanyalah
bergantung dari pilihan dan penilaian orang banyak. Defenisi aslinya tak coba
digali. Seseorang bisa dengan mudah tampil sebagai penjahat, tetapi secara
bersamaan bisa juga dipuja sebagai pahlawan. Kita menjadi bangsa yang mudah
berkerumun pada sebuah isu, lalu sehari saja lenyap digantikan isu lain.
Kemajuan
Sungsangnya proses politik
tidak terlepas dari kemajuan demi kemajuan berdemokrasi berupa kebebasan
pers, berbicara, perlindungan hak asasi manusia, sampai segala macam yang
diadopsi dan ratifikasi dalam aturan hukum formal.
Kejadian masa lalu bisa saja
tiba-tiba menjadi persoalan, saat ada pihak yang merasa tersinggung.
Perdebatan film Soekarno contohnya. Atau bisa jadi, orang berbicara tentang
sesuatu di depan, sekalipun tanpa dasar hukum. Soal layak tidaknya Hambit
Bintih dilantik sebagai Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, salah satu
contohnya.
Padahal, sebuah bangsa perlu melakukan sesuatu sesuai dengan tahapan-tahapan alamiah dan bahkan ilmiah terpilih. Seorang anak kecil tidak bisa tiba-tiba diberi tanggung jawab besar mengerjakan ujian mahasiswa.
Bangsa perlu lebih
mendisiplinkan diri untuk fokus ke agenda-agenda yang sudah ditetapkan
dibanding memperpanjang daftar agenda baru, saat agenda lama belum selesai.
Di sinilah letak pentingnya memberi porsi yang lebih agenda April nanti,
ketimbang terus mengatakan bahwa bulan Juli jauh lebih penting.
Pemilu legislatif adalah cara mendapat anggota dewan unggul dengan karakter ideal. Wajah legislatif Indonesia buruk sepanjang 2009–2014. Banyak anggota legislatif ditangkap karena korupsi, menipu, mengonsumsi narkoba, ataupun tindak kriminal dan tercela lainnya.
Rata-rata mereka bukan berasal
dari kalangan miskin, bahkan kaya. Artinya, kejahatan yang dilakukan bukan
untuk menyambung hidup, melainkan bersenang-senang dan bermewah-mewah. Tetapi
jangan lupa, sekeras itu usaha mereka, lebih keras lagi upaya untuk menjerat
mereka dengan sanksi hukum, sosial, juga politik.
Tetapi, bukan berarti tidak ada legislator yang baik. Sejumlah kepala daerah sekarang berasal dari legislator di Senayan atau daerah. Mereka punya kinerja bagus. Ada usaha untuk menunjukkan bahwa politisi atau legislator bukanlah jenis mamalia tertentu yang punya pola sama. Dari sinilah, sebaiknya upaya mencari lebih banyak lagi legislator yang peduli pada masyarakat, terutama yang paling menderita dan tidak terlindungi. Kalau bangsa hanya mencari satu orang guna memperbaiki negara pada bulan Juli nanti, kita justru sedang melupakan kelahiran dan kehadiran lebih banyak lagi potensi kepemimpinan di masa datang, para legislator. Mari mulai mencari jumlah yang banyak ini, sembari nanti memikirkan angka yang lebih sedikit, tidak lebih banyak dari hitungan jari dengan menggunakan hak bicara dan suara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar