Mendesak,
Perbaikan Pelayanan
Adinda Tenriangke Muchtar ;
Direktur
Program dan
Pengamat
Kebijakan Publik The Indonesian Institute
|
KORAN
JAKARTA, 08 Januari 2014
Pemerintah bersama DPR telah
melahirkan begitu banyak ketentuan menyangkut tugas dan tanggung jawab
pejabat publik. Semua telah dijabarkan dalam job description, pasal demi
pasal.
Akan tetapi pelayanan publik
masih saja menjadi masalah pelik. Meski sudah ada peraturan perundang-undangan terkait seperti Undang- Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik maupun UU Nomor 14 Tahun 2008 soal Keterbukaan Informasi
Publik (KIP), pelayanan pemerintah dan segenap jajarannya belum memuaskan.
Pasal 2 UU Nomor 25 Tahun 2009
dimaksudkan memberi kepastian hukum hubungan antara masyarakat dan
penyelenggara negara dalam pelayanan. Pasal 3 menyebutkan empat tujuan UU
tentang pelayanan publik.
Pertama, terwujudnya batasan
dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, serta
kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan
publik. Kedua, terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak
sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik.
Ketiga, terpenuhinya
penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Keempat, terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
UU tentang KIP menggarisbawahi
ketentuan tentang informasi pelayanan publik seperti termaktub dalam Pasal 1
Ayat (9), 23 dan 24. Pasal 4 Huruf (h) dan (i) menggarisbawahi keterbukaan
dan akuntabilitas pelayanan publik. Bahkan, terkait hak masyarakat untuk
mendapat informasi publik, Pasal 18 Huruf (b) dan (c) UU juga menyebutkan
bahwa masyarakat berhak mengawasi pelaksanaan standar pelayanan.
Terpenting pengaduannya
ditanggapi. Pelayanan publik memang masih parah, misalnya penyalahgunaan
anggaran oleh kepala daerah dan jajaran yang berwenang. Dominannya alokasi
anggaran untuk belanja pegawai daripada pelayanan publik.
Maraknya korupsi, kolusi, dan
nepotisme terkait proyek-proyek pembangunan. Kemudian banyak kepala daerah
dan anggota dewan masuk penjara. Ini semua merupakan beberapa contoh betapa
integritas dan kapabilitas pejabat dan badan publik dalam menjalankan mandat
sebagai pelayan masyarakat sangat parah.
Sejak pemilu langsung
diterapkan hingga 2013, terdapat 293 kepala daerah atau wakilnya yang
berurusan dengan hukum. Jumlahnya terus meningkat. Dari 125 negara, Indonesia
menempati urutan ke-121 terkait pelayanan publik. Ada pula hasil penilaian
lembaga yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-117 dari 120 negara. Tentu
saja ini sangat memprihatinkan
Jurang
Selain itu, juga masih terdapat
gap antara kebijakan dan pelaksanaan. Hal ini juga tidak lepas dari komitmen,
akuntabilitas, integritas, kapabilitas, dan kapasitas penyelenggara pelayanan
publik yang terkait.
Pejabat masih lambat merespons
pengaduan masyarakat. Di lapangan praktik pungli juga masih marak. Jadi,
masyarakat yang sudah membayar pajak masih harus mengeluarkan uang tambahan
sebagai pelicin untuk mempermudah pelayanan yang semestinya gratis.
Kondisi demikian sangat
disayangkan. Respons lambat pemerintah terhadap pengaduan masyarakat kerap
menimbulkan perasaan skeptis, frustrasi, kecewa, dan marah.
Tak heran, masyarakat sering
bertindak sendiri karena lambat menunggu respons birokrat. Kendati memang ada
klausul partisipatif dan kerja sama dengan para pihak, bukan berarti
penyelenggara pelayanan publik serta-merta melepaskan tanggung jawab dengan
mengabaikan masukan dan pengaduan.
Hal ini sangat tidak patut
dilakukan penyelenggara pelayanan dan badan publik. Proses partisipatif dalam
kebijakan tidak akan pernah berhasil dengan informasi yang terbatas dan
ketidakmampuan para pihak, khususnya pemerintah dan unit kerja terkait dalam
melayani.
Di sisi lain, tidak semua
penyelenggara pelayanan publik dan jajarannya memiliki tingkat kepekaan dan
responsif atas pengaduan masyarakat. Padahal, media komunikasi publik sangat
beragam, termasuk lewat media sosial.
Seharusnya ini dapat
dimanfaatkan pemerintah untuk menindaklanjuti pengaduan sesuai dengan standar
pelayanan. Dengan begitu, ada penyelesaian yang cepat. Hasil survei,
pemeringkatan kinerja, pemberitaan media, dan pengaduan seharusnya menjadi
bahan refl eksi mendalam penyelenggara pelayanan.
Insentif seperti penghargaan
dan pemeringkatan memang penting sebagai motivasi untuk memperbaiki kinerja
penyelenggara dalam melayani, namun yang lebih penting harus ada upaya meningkatkan
kualitas pelayanan secara berkelanjutan.
Ke depan, harus ada sanksi-
sanksi bagi badan publik yang lalai dan lamban dalam melayani. Pengaduan
harus direspons cepat. Birokrat juga mesti cepat dalam memberi informasi
publik dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat. Birokrat harus benar-benar
berkomitmen dalam menjalankan kewajiban.
Sangat diperlukan kemauan yang
kuat, kapasitas, dan kapabilitas yang memadai. Mereka dituntut berintegritas
tinggi dan menyadari akan tugas sebagai pelayan, bukan justru minta dilayani.
Sebab gejalanya semakin banyak pelayan atau birokrat yang minta dilayani. Ini
sangat bertentangan dan terbalik dengan statusnya sebagai abdi masyarakat.
Maka, ke depan, perlu
ditegaskan di dalam perekrutan pegawai negeri sipil bahwa mereka akan
bertugas melayani sehingga ada kesadaran dari awal. Tugasnya bukan duduk di
singgasana untuk dilayani, melainkan turun ke bawah melayani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar