Sabtu, 11 Januari 2014

Mendesak, Perbaikan Pelayanan

                               Mendesak, Perbaikan Pelayanan

Adinda Tenriangke Muchtar  ;    Direktur Program dan
Pengamat Kebijakan Publik The Indonesian Institute
KORAN JAKARTA,  08 Januari 2014
                                                                                                                        


Pemerintah bersama DPR telah melahirkan begitu banyak ketentuan menyangkut tugas dan tanggung jawab pejabat publik. Semua telah dijabarkan dalam job description, pasal demi pasal.

Akan tetapi pelayanan publik masih saja menjadi masalah pelik. Meski sudah ada peraturan perundang-undangan terkait seperti Undang- Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik maupun UU Nomor 14 Tahun 2008 soal Keterbukaan Informasi Publik (KIP), pelayanan pemerintah dan segenap jajarannya belum memuaskan.

Pasal 2 UU Nomor 25 Tahun 2009 dimaksudkan memberi kepastian hukum hubungan antara masyarakat dan penyelenggara negara dalam pelayanan. Pasal 3 menyebutkan empat tujuan UU tentang pelayanan publik.

Pertama, terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, serta kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Kedua, terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik.

Ketiga, terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Keempat, terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

UU tentang KIP menggarisbawahi ketentuan tentang informasi pelayanan publik seperti termaktub dalam Pasal 1 Ayat (9), 23 dan 24. Pasal 4 Huruf (h) dan (i) menggarisbawahi keterbukaan dan akuntabilitas pelayanan publik. Bahkan, terkait hak masyarakat untuk mendapat informasi publik, Pasal 18 Huruf (b) dan (c) UU juga menyebutkan bahwa masyarakat berhak mengawasi pelaksanaan standar pelayanan.

Terpenting pengaduannya ditanggapi. Pelayanan publik memang masih parah, misalnya penyalahgunaan anggaran oleh kepala daerah dan jajaran yang berwenang. Dominannya alokasi anggaran untuk belanja pegawai daripada pelayanan publik.

Maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme terkait proyek-proyek pembangunan. Kemudian banyak kepala daerah dan anggota dewan masuk penjara. Ini semua merupakan beberapa contoh betapa integritas dan kapabilitas pejabat dan badan publik dalam menjalankan mandat sebagai pelayan masyarakat sangat parah.

Sejak pemilu langsung diterapkan hingga 2013, terdapat 293 kepala daerah atau wakilnya yang berurusan dengan hukum. Jumlahnya terus meningkat. Dari 125 negara, Indonesia menempati urutan ke-121 terkait pelayanan publik. Ada pula hasil penilaian lembaga yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-117 dari 120 negara. Tentu saja ini sangat memprihatinkan

Jurang 

Selain itu, juga masih terdapat gap antara kebijakan dan pelaksanaan. Hal ini juga tidak lepas dari komitmen, akuntabilitas, integritas, kapabilitas, dan kapasitas penyelenggara pelayanan publik yang terkait.

Pejabat masih lambat merespons pengaduan masyarakat. Di lapangan praktik pungli juga masih marak. Jadi, masyarakat yang sudah membayar pajak masih harus mengeluarkan uang tambahan sebagai pelicin untuk mempermudah pelayanan yang semestinya gratis.

Kondisi demikian sangat disayangkan. Respons lambat pemerintah terhadap pengaduan masyarakat kerap menimbulkan perasaan skeptis, frustrasi, kecewa, dan marah.

Tak heran, masyarakat sering bertindak sendiri karena lambat menunggu respons birokrat. Kendati memang ada klausul partisipatif dan kerja sama dengan para pihak, bukan berarti penyelenggara pelayanan publik serta-merta melepaskan tanggung jawab dengan mengabaikan masukan dan pengaduan.

Hal ini sangat tidak patut dilakukan penyelenggara pelayanan dan badan publik. Proses partisipatif dalam kebijakan tidak akan pernah berhasil dengan informasi yang terbatas dan ketidakmampuan para pihak, khususnya pemerintah dan unit kerja terkait dalam melayani.

Di sisi lain, tidak semua penyelenggara pelayanan publik dan jajarannya memiliki tingkat kepekaan dan responsif atas pengaduan masyarakat. Padahal, media komunikasi publik sangat beragam, termasuk lewat media sosial.

Seharusnya ini dapat dimanfaatkan pemerintah untuk menindaklanjuti pengaduan sesuai dengan standar pelayanan. Dengan begitu, ada penyelesaian yang cepat. Hasil survei, pemeringkatan kinerja, pemberitaan media, dan pengaduan seharusnya menjadi bahan refl eksi mendalam penyelenggara pelayanan.

Insentif seperti penghargaan dan pemeringkatan memang penting sebagai motivasi untuk memperbaiki kinerja penyelenggara dalam melayani, namun yang lebih penting harus ada upaya meningkatkan kualitas pelayanan secara berkelanjutan.

Ke depan, harus ada sanksi- sanksi bagi badan publik yang lalai dan lamban dalam melayani. Pengaduan harus direspons cepat. Birokrat juga mesti cepat dalam memberi informasi publik dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat. Birokrat harus benar-benar berkomitmen dalam menjalankan kewajiban.

Sangat diperlukan kemauan yang kuat, kapasitas, dan kapabilitas yang memadai. Mereka dituntut berintegritas tinggi dan menyadari akan tugas sebagai pelayan, bukan justru minta dilayani. Sebab gejalanya semakin banyak pelayan atau birokrat yang minta dilayani. Ini sangat bertentangan dan terbalik dengan statusnya sebagai abdi masyarakat.

Maka, ke depan, perlu ditegaskan di dalam perekrutan pegawai negeri sipil bahwa mereka akan bertugas melayani sehingga ada kesadaran dari awal. Tugasnya bukan duduk di singgasana untuk dilayani, melainkan turun ke bawah melayani.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar