Sabtu, 11 Januari 2014

Menelisik Komitmen Capres

                                     Menelisik Komitmen Capres

Suyatno  ;    Dosen FISIP  Universitas Terbuka
KORAN JAKARTA,  10 Januari 2014
                                                                                                                      


Banyak nama telah bermunculan menjelang  pemilihan presiden.  Meski belum ada  kepastian yang akan bertarung  secara resmi dalam bursa pemilihan 2014, namun sudah terdapat  sederet nama untuk dijagokan seperti  sejumlah tokoh yang kini muncul dalam konvensi Partai Demokrat. Rakyat jadi bingung memilih karena mereka memililiki kelemahan dan  kelebihan tersendiri. Di tataran elite  persaingan untuk merebut pengaruh  baik dari massa akar rumput maupun  kekuatan politik lain juga tidak kalah  sengit. Ini menambah panjang deretan  nama, program, serta janji-janji yang  ditawarkan. 

Capres harus diajukan lewat partai politik. Hanya pemilihan presiden  sekarang dilakukan secara langsung  oleh rakyat. Logikanya, rakyatlah yang  seharusnya menentukan seseorang  bisa masuk dalam pertarungan. Lantas  bagaimana memberi ruang bagi rakyat  untuk turut serta dalam menentukan  calon presiden? Fenomena calon nonkader partai  menjadi peserta konvensi capres cukup menarik. Bila gagal juara dalam  konvensi Demokrat, dia harus mencari  partai lain yang bersedia mencalonkan.  Meskipun mungkin didukung rakyat,  tetapi tanpa dicalonkan partai jalan  menuju kursi presiden akan tertutup. Kecenderungannya, sebuah partai  akan mencalonkan kader dari internal  dan kecil kemungkinan mencalonkan  dari luar. 

Apalagi belum dikenal oleh  partai tersebut atau bahkan memiliki  visi yang tidak sejalan dengan partai  bersangkutan. Partai lebih berorientasi  pada terlaksananya kebijakannya dan  tidak akan mengambil risiko dengan  mencalonkan kader dari luar. Memang  ada situasi tertentu yang mengharuskan kerja sama untuk memenangkan  pertarungan atau paling tidak mengimbangi kekuatan lawan yang lebih besar. Proses seperti ini akan memunculkan persoalan, bila partai ternyata tidak  dapat memosisikan diri secara proporsional sebagai penyambung lidah rakyat. Artinya, partai tidak mampu menyerap aspirasi konstituennya untuk  disalurkan melalui kebijakan partai  termasuk dalam menjaring capres keinginan rakyat. 

Demikian juga demi memenangkan persaingan dengan kekuatan politik yang berbeda, seorang calon atau  sebuah partai akan berhitung dalam  menjalin kerja sama. Mereka tentu  akan menentukan pilihan pada sebuah  jalinan kerja sama yang memiliki  kans besar mampu bersaing  dan juga menguntungkan.  Banyaknya tokoh yang  akan mencalonkan diri atau  dicalonkan, sementara hanya  sedikit wadah yang bisa menyalurkannya dalam bursa pemilihan inilah yang bisa diistilahkan  sebagai dilema aksi kolektif. 

Sulit untuk  menciptakan kerja sama antarkekuatan  yang saling bersaing. Kondisi demikian  perlu pengelolaan karena berbagai  praktik politik seperti ini bisa mengakibatkan partai pecah.  Kebutuhan akan wadah memenangkan pemilihan presiden akan terwujud  bila tiap-tiap pihak memiliki komitmen  sama. Komitmen inilah yang akan menentukan koalisi. Meski demikian, dalam menciptakan koalisi bisa muncul  berbagai persoalan yang harus diatasi.  Misalnya, keterbatasan informasi jumlah pendukung terhadap seorang calon  atau partai. Ketidakjelasan ini membuat setiap kelompok tidak bisa memastikan waktu koalisi harus dimulai  atau terpaksa bertarung sendirian dalam bursa pencalonan. Koalisi itu tidak ada yang gratis.  

Artinya, untuk menentukan bersedia  tidaknya diajak atau mengajak bekerja  sama diperlukan pertimbangan untung  rugi. Tidak mudah menciptakan basis  kerangka kerja sama karena sangat ditentukan komitmen tiap-tiap pihak untuk setia pada kerangka yang dibentuk.  

Apabila ada yang curang atau diperlakukan tidak adil, kesepakatan bisa gagal. Bila kondisi politik berubah, kerja  sama mungkin sulit tercipta kembali.  Seperti “poros tengah”, saat ini mungkin sulit untuk terbentuk kembali karena situasinya sudah sangat berubah. Dalam konteks ini, institusi seperti  partai dianggap arena yang netral bagi  seorang kandidat dan hanya menstrukturkan aturan main.  Komitmen Capres  Kecenderungan yang dirasakan rakyat belakangan, janji-janji atau program  partai saat kampanye tidak direalisasikan. Sesudah pemilu dan kekuasaan  diraih, parpol lupa dengan janji kepada  para pemilih. Demikian juga tokoh  yang dulu diharapkan mampu menjadi tumpuan harapan rakyat tidak bisa  berbuat sesuai harapan karena menghadapi kebijakan partai atau kekuatan  politik lain saat memangku jabatan. 

Maka, komitmen seorang capres  harus dicermati. Hans-Dieter Klingemann dalam bukunya Parties, Policies  and Democracy mengatakan ada tiga  gaya partai mengeluarkan kebijakan  publik dalam program-program. Model agenda mengasumsikan prioritas-prioritas kebijakan yang muncul akan  mencerminkan penekanan-penekanan  pragmatis dari satu atau lebih partai besar  yang bersaing dalam pemilu sebelumnya.  Kebijakan yang muncul, hasil dari penyesuaian terhadap diskursus kebijakan. Parpol cenederung akan mengubah penekanan programitasinya dan kemungkinan  bergeser dari program semula. 

Model mandat mengasumsikan bahwa pemenang adalah segala-galanya.  Pro  gram-program dari pemenanglah  yang diberlakukan. Program dari pihak  yang kalah diabaikan atau ditolak. Dalam  model ini partai yang berkuasa memiliki  kesempatan luas mewujudkan programprogramnya menjadi kebijakan publik. Model ideologi memandang orientasi ideologis dan sejarah partai  yang telah berlangsung lama memberi  alasan kuat pada para pemilih untuk  mengharapkan tercerminkannya suara  mereka ke dalam konsekuensi kebijakan. Ada basis abadi jangka panjang  yang mendasari program-program partai. Pendekatan ini akan menggambarkan secara jelas bahwa kader yang ditawarkan memiliki visi dan misi sesuai  dengan ideologi partai. 

Orang yang  memiliki ideologi berbeda tidak akan  bergabung pada partai semacam ini. Komitmen para capres mendatang,  bisa dilihat dari kualitas pribadi, visi, misi,  dan partai tempat bernaung. Partai yang  mampu menjaring calon kredibel dan  memberi keleluasaan bagi kadernya untuk konsisten kepada platform politiknya,  akan memunculkan pemimpin alternatif  yang dapat membawa negara lebih baik.  Presiden mendatang harus ber  komitmen kuat mewujudkan visi dan misinya  baik sebelum maupun sesudah pemilu.  Dia harus berani membenahi negara  yang karut-marut, menegakkan keadilan, serta menyejahterakan rakyat.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar