Presiden,
GBHN, dan Masa Depan
Jannus TH Siahaan ; Doktor Sosiologi; Tinggal di Pinggiran Bogor, Jawa Barat
|
KOMPAS,
02 Januari 2014
DAPATKAH seseorang menentukan
masa depan orang lain? Dapatkah seorang presiden menentukan masa depan
bangsanya?
Beberapa orang butuh alasan
teologis untuk menjawab pertanyaan di atas, tetapi beberapa lainnya melihat
masa depan sebagai keniscayaan hidup. Kepercayaan kepada ketetapan Tuhan
yang absolut adalah alasan teologis kenapa seseorang tak dapat menentukan
masa depan orang lain. Karena kepercayaan akan adanya kehendak bebas Tuhan,
maka manusia bisa ambil bagian menentukan masa depan.
Dalam konteks inilah, sebagai
bangsa kita sepakat membuat begitu banyak konsensus untuk begitu banyak
kepentingan dalam kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan.
Konsensus dibuat atas dasar kesamaan pandang dengan mengeliminasi sejauh
mungkin perbedaan pandang. Kesamaan pandang adalah nilai universal yang jauh
dari egosentrisme, sedangkan perbedaan pandang adalah pengejawantahan lain
dari egosentrisme. Kita teguhkan yang pertama, kita abaikan yang kedua.
”Pulau idaman”
Guna mencapai cita-cita hidup
berbangsa bernegara, kita pilih seorang presiden. Karena amanah yang
diembannya, seorang presiden tentulah sosok yang istimewa di antara yang
sedikit. Di seluruh dunia, jumlah presiden bisa dihitung dengan jari. Mereka
representasi Tuhan di pentas kehidupan. Di tangan presiden, masa depan bangsa
dipertaruhkan. Jika ia amanah, masa depan bangsa terjaga, tetapi jika
khianat, masa depan tergadai. Tanggung jawab seorang presiden sifatnya dunia
dan akhirat.
Kekuasaan presiden di negara mana
pun, juga Indonesia, sifatnya tak terbatas. Ia bisa melakukan apa saja atas
nama rakyat: mengeksplorasi kekayaan tambang di bumi Indonesia; menguasai
udara, samudra, dan lautan luas. Ia pun bisa menjalin hubungan dengan bangsa
lain atas nama rakyat, sebagaimana ia bisa memutuskan
hubungan diplomatik dengan negara lain atas nama bangsa. Ia
berdiri di podium PBB atas nama bangsa.
Ia berkuasa mengirim pasukan
tentara perdamaian di luar negeri atas nama bangsa. Ia juga bisa menerjunkan
pasukan perang untuk menumpas pemberontakan di dalam negeri atas nama rakyat.
Karena tanggung jawabnya kepada bangsa, Soekarno pernah menarik keanggotaan
Indonesia di PBB. Atas nama bangsa pula, Soekarno menggagas Konferensi Asia
Afrika. Begitu pula Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketika berkuasa, rakyat belum
sempat memberi Soekarno garis kebijakan agar dapat mengelola kehidupan
bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat dengan benar. Rakyat hanya berharap
Soekarno memimpin mereka menggapai masa depan. Karena situasi dan gaya
kepemimpinannya, Soekarno nyaris tak bisa dikontrol, sampai akhirnya gerakan
politik menjatuhkannya. Soeharto punya cara pandang dan cara kelola negara
yang berbeda. Ia rapi, detail, tetapi koersif dan dingin. Di bawah Soeharto,
Indonesia membeku.
Namun, rakyat berharap Soeharto
memimpin bangsa menuju masa depan yang lebih baik. Agar tidak seperti
Soekarno, Soeharto dikontrol dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Karena
gaya kepemimpinannya yang otoriter, Soeharto juga tak terkontrol. Ia berkuasa
kurang lebih 32 tahun, melampaui Soekarno. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Soeharto pandai mengelabui,
mengubah UU sesuai kepentingan kekuasaannya, serta menyiasati agar GBHN dapat
disusun sesuai ambisinya.
Ketika Habibie menggantikannya,
Soeharto satu di antara sedikit penguasa senior Asia Tenggara yang tersisa.
Habibie yang jago teknologi dan seorang teknokrat hanya memimpin di masa
transisi. Rakyat belum sepenuhnya percaya Habibie akan mampu menjadi
nakhoda kapal pecah menuju pulau harapan masa depan. Rakyat tak mau era
Soekarno kembali dan traumatis terhadap era Soeharto. Hingga akhirnya Habibie
terjatuh, hanya ada dua diktum yang membara di memori rakyat: enyahkan Orde
Lama dan Orde Baru.
Yang mereka inginkan cuma satu:
Orde Reformasi. Orde yang mengamanatkan restorasi semua konsensus, termasuk
mengamandemen beberapa pasal krusial dalam UUD 1945, sebuah tindakan berbau
tabu di era Orde Baru. Banyak ayat dan pasal hilang dan dihilangkan atas nama
tuntutan reformasi. Bahkan, GBHN yang semangatnya untuk mengontrol kekuasaan
yang eksesif sekalipun diamendemen, tak lagi dijadikan pedoman bagi seorang
presiden dalam memperjuangkan cita-cita bangsa.
Presiden Abdurrahman Wahid yang
moralis humanis, Presiden Megawati yang politikus proletar, dan Presiden
Yudhoyono yang jenderal produk dwifungsi ABRI dan berbau Orde Baru tak bisa
berbuat banyak. Mereka hanya diberi satu kata: masa depan. Kepada mereka tak
diberikan GBHN. Mereka diminta berjalan lurus ke depan, jangan menoleh ke
belakang, bawalah rakyat menuju ”Pulau Idaman”. Mereka adalah representasi
pemimpin-pemimpin yang diamanahi banyak hal, tetapi tak dibekali aturan yang
jelas dan mengikat.
Keniscayaan hidup
Konsekuensinya, mereka bertiga
jadi bulan-bulanan. Bahkan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur jadi tumbal
reformasi. Ia dijatuhkan dengan alasan yang hingga kini tidak jelas landasan
konstitusionalnya. Pemerintahan Megawati dan Yudhoyono juga mengalami problem
dalam berbagai hal.
Kini, setelah dua dekade
terombang-ambing dalam lautan ketidakpastian, suara-suara yang menginginkan
GBHN kembali muncul. Mereka berdalih, cukuplah masa depan kita yang tidak
tergadai, tetapi anak cucu bangsa ini harus tetap memiliki masa depan.
Hanya dalam hitungan hari, kita
akan meninggalkan tahun 2013 untuk menghadapi tahun 2014. Demikianlah keniscayaan
hidup. Tidak ada masa depan tanpa ada masa lalu. Masa lalu biasa dijadikan
oleh sebagian di antara kita sebagai kaca bening tempat mengetahui jati diri
agar dapat melakukan yang lebih baik di masa depan, tapi sebagian lainnya
berkutat dengan masa lalu sehingga menampik kedatangan masa depan.
Beruntung kita karena Tuhan
menganugerahkan masa depan dengan hitungan hari. Seandainya masa depan datang
kepada kita dalam hitungan ”setahun” utuh, betapa beratnya hidup ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar