NU
30 Tahun Menerima Pancasila
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
KOMPAS,
02 Januari 2014
DALAM
persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 29
April-22 Juni 1945, sudah timbul pertentangan antara kelompok yang
menginginkan Islam jadi dasar negara dan kelompok yang menginginkan dasar
negara adalah Pancasila.
Titik temunya Piagam Jakarta yang
membuat rumusan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Menjelang sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, yang akan mengesahkan UUD,
pada 17 Agustus sore ada sejumlah anak muda yang mengaku wakil umat
Kristen dari Indonesia timur menemui Bung Hatta. Mereka menyatakan, kalau
tujuh kata Piagam Jakarta tidak dihapus dari Mukadimah UUD, umat Kristen
tidak akan bergabung ke dalam Republik Indonesia.
Bung Hatta mengundang sejumlah
tokoh Islam dan membahas tuntutan tersebut. Maka tiga tokoh Islam
bermusyawarah di rumah Bung Hatta dan mengambil keputusan tanpa sempat
konsultasi dengan yang lain karena alat komunikasi amat terbatas. Tanpa ragu
mereka sepakat menghapus tujuh kata tersebut dari Mukadimah UUD.
Dalam persidangan Konstituante
(1956-1959), partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti, AKUI, dll)
berjuang kembali untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, tetapi gagal.
Dalam tiga kali pemungutan suara, partai Islam mencapai suara sedikit di atas
43%. Karena Konstituante dianggap gagal, Bung Karno menerbitkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959: kembali ke UUD 1945.
Salah satu peristiwa lain yang
perlu dicatat terkait hubungan Islam dan negara ialah penolakan warga dan
ulama PPP di bawah Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri pada 1973 terhadap
RUU Perkawinan. Beberapa pasalnya dianggap bertentangan dengan syariat Islam.
Syukur, Pak Harto memahami penjelasan para ulama NU, kemudian menyetujui
rumusan para ulama untuk Pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi ”Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”.
KH Ahmad Shiddiq
Selanjutnya pemerintah berusaha
supaya semua organisasi di Indonesia memakai asas Pancasila. PBNU yang sejak
keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sudah merasa puas dengan pencantuman
Piagam Jakarta sebagai pertimbangan Dekrit, mulai tergerak untuk
mengkaji apakah memang betul bahwa Pancasila itu tidak sejalan dengan ajaran
Islam. Ulama NU menyadari, tanpa dasar Islam, ternyata UU Perkawinan bisa
menampung aspirasi umat Islam. Maka PBNU membentuk tim untuk mengkaji masalah
itu, yang dipimpin oleh KH Achmad Shiddiq. Saya mendengar bahwa KH Achmad
Shiddiq sejak lama sudah menyampaikan bahwa Pancasila itu tidak bertentangan
dengan ajaran Islam.
Untuk membahas hasil kajian Tim KH
Achmad Shiddiq itu, pada Desember 1983 diselenggarakan Munas Ulama NU di Asem
Bagus. Hasil kajian tim itu disetujui Munas, tetapi masih memerlukan
keputusan Muktamar NU. Maka, pada Desember 1984 di Asem Bagus diselenggarakan
Muktamar NU Ke-27. Dalam Muktamar terjadi perdebatan sengit di dalam komisi
yang membahas masalah tersebut. Berkat ketokohan dan kemampuan KH Achmad
Shiddiq dalam menjelaskan dan mempertahankan argumentasi, maka muktamar
menerima Pancasila.
Ironis, KH Achmad Shiddiq yang amat
besar jasanya bagi bangsa dan negara Indonesia dalam memadukan Islam dan
Pancasila, ternyata terlupakan dan tidak begitu dikenal namanya di luar
lingkungan NU. Ada dua kejadian yang bisa jadi contoh terlupakannya mantan
Rais Aam Syuriyah PBNU ini. Beberapa tahun lalu saya menerima rombongan
mahasiswa dan dosen satu IAIN di luar Jawa yang mempelajari politik Islam.
Mereka berziarah ke makam Gus Dur yang amat mereka hormati sebagai
tokoh yang dianggap berjasa dalam proses NU menerima Pancasila. Ketika
saya bertanya apa pendapat mereka tentang KH Achmad Shiddiq, ternyata mereka
tidak mengenal beliau.
Contoh lain ialah sebuah buku
mengenai tokoh-tokoh pemikir politik Islam yang diterbitkan oleh salah satu
universitas Islam negeri (UIN). Saya tidak menemukan nama KH Achmad Shiddiq
di dalam indeks nama-nama tokoh yang dibahas di buku itu, padahal prestasi
dan jasa beliau dalam menyelamatkan dan mengarahkan politik Indonesia ke masa
depan amat besar.
Kondisi mutakhir
Penerimaan Pancasila oleh NU dan
ormas Islam lain serta parpol Islam sekitar 30 tahun lalu berdampak besar
dalam kehidupan bangsa-negara, khususnya dalam kehidupan sosial politik dan
keagamaan. Sebagai contoh, sebagian besar warga NU dan Muhammadiyah serta
ormas Islam lain kini tak memilih partai Islam atau berbasis massa Islam,
tetapi memilih partai tengah. Pemilih Partai NU dan Partai Masyumi pada 1955
menjadi cair karena warga kedua partai itu telah menerima Pancasila.
Salah satu masalah yang terasa
mengganggu ialah adanya pihak yang tidak setuju negara berdasar Pancasila.
Mereka menganggap RI adalah negara yang tak sesuai ajaran Islam. RI dianggap
negara thaghut (negara yang mengubah hukum Allah). Ada yang
menginginkan RI jadi negara Islam dan ada yang ingin RI menjadi bagian dari
khilafah Islamiyah.
Kecenderungan di atas sudah lama
dirasakan. Untuk mengantisipasi fenomena di atas, pada 2010 saya mengusulkan
membangun Museum Islam Nusantara Hasyim Asy’ari di kompleks parkir peziarah
makam Gus Dur di Tebuireng. Perencanaan teknis museum itu sudah selesai dan
akan dibangun pada 2014.
Di dalam museum itu akan
ditampilkan peragaan dan informasi tentang sejarah masuknya Islam ke
Nusantara, bagaimana Islam disebarkan dengan cara damai bukan dengan
kekerasan. Juga dijelaskan, ulama dan santri serta umat Islam berjuang
bersama komponen bangsa lainnya dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Perang kemerdekaan itulah satu-satunya jihad dalam bentuk peperangan di
Indonesia. Juga akan diberi informasi tentang proses umat Islam menerima
Pancasila.
Museum Hasyim Asy’ari ingin
menegaskan bahwa negara RI berdasar Pancasila bukanlah negara yang
bertentangan dengan Islam. Bahkan menurut NU, Pancasila adalah wahana untuk
menerapkan ajaran Islam. Bahwa masih banyak rakyat yang belum sejahtera dan
banyak terjadi ketidakadilan, bukanlah karena kita memakai dasar negara
Pancasila, melainkan justru karena kita tidak menerapkan Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar