Politik
Vs Ekonomi Elpiji
Nugroho SBM ; Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas
Diponegoro (Undip) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 07 Januari 2014
PEMERINTAH dan Pertamina sepakat
menurunkan harga elpiji 12 kg, dari Rp 117.708 jadi Rp 82.200 per tabung
mulai Selasa pukul 00.00. Lewat keputusan itu berarti harga elpiji 12 kg
hanya naik Rp 1.000/kg, dari sebelumnya naik Rp 3.959/kg atau Rp 47.508 per
tabung.
Pada awalnya, Pertamina
mendalihkan harga internasional elpiji terus meningkat padahal selama ini
impor. Dalih lain adalah depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Andai tidak menaikkan harga gas
tersebut di dalam negeri, Pertamina beralasan bisa merugi lebih besar lagi.
Kerugian tahun 2013 akibat tidak menaikkan harga elpiji kemasan 12 kg hampir
Rp 6 triliun. Pertamina juga beralasan kenaikan harga gas tabung isi 12 kg
tak memberatkan mengingat konsumen adalah masyarakat mampu.
Pemerintah menyatakan tak bisa
mengintervensi kebijakan Pertamina mengingat penentuan harga elpiji 12 kg
merupakan kewenangan penuh BUMN tersebut. Hal itu berbeda dari penentuan
harga elpiji 3 kg yang disubsidi pemerintah. Di sisi lain, Badan Pusat
Statistik menyatakan kenaikan harga elpiji 12 kg tak akan berdampak serius
pada inflasi. Dampak inflasi, menurut BPS, hanya 0,5% (SM, 4/1/13).
Perhitungkan Dampak
Namun, pemerintah sebagai
pemegang saham utama dan pengendali PT Pertamina akhirnya menunda atau
membatalkan kenaikan harga itu dengan melihat kemungkinan beberapa dampak
negatif. Pertama; dengan kenaikan harga tersebut, banyak konsumen beralih
menggunakan elpiji 3 kg yang lebih ekonomis. Kita bisa menghitung, harga
elpiji tabung 3 kg saat ini di Semarang sudah bergerak naik menjadi Rp 16.000
di tingkat pengecer.
Untuk mendapatkan gas elpiji
berbobot 12 kg, konsumen perlu membeli 4 tabung dan itu hanya butuh uang Rp
64.000. Padahal saat ini gas elpiji tabung 12 kg di tingkat pengecer di
Semarang paling murah Rp 140.000. Bila itu yang terjadi, pemerintah dan
Pertamina pun tak bisa mencegah karena tak punya mekanisme atau kebijakan
untuk mengatasi hal itu.
Akibat lebih lanjut pengalihan
penggunaan dari elpiji tabung 12 kg ke 3 kg menyebabkan subsidi harga dari
pemerintah untuk elpiji tabung 3 kg membengkak. Andai subsidi untuk tabung
gas 3 kg membengkak bisa dipastikan pemerintah meminta Pertamina menaikkan
harga elpiji kemasan ekonomis tersebut.
Efek berantai itu pun seperti
lingkaran setan yang saling mengait. Masyarakat tentu bertanya-tanya mengapa
pemerintah tidak konsisten, menyuruh masyarakat beralih dari minyak tanah ke
elpiji tetapi setelah itu harga gas terus naik. Kedua; masyarakat miskin yang
menggunakan elpiji kemasan 12 kg pun akan terkena dampak.
Di lapangan tak semua pengguna
elpiji 12 kg adalah golongan mampu. Banyak dari mereka yang sebenarnya
miskin. Golongan itu ‘’terpaksa’’ membeli elpiji 12 kg karena tidak/belum
punya nomor induk kependudukan (NIK) atau KTP yang dipersyaratkan supaya bisa
mendapat kompor gas dan tabung elpiji 3 kg dari pemerintah. Pemberian kompor
berikut tabung kecil itu gratis ketika pemerintah memberlakukan program
konversi minyak tanah ke elpiji.
Kebijakan itu merupakan upaya
membangkitkan minat masyarakat yang biasa memakai minyak tanah, beralih ke
gas elpiji. Golongan masyarakat miskin pengguna elpiji 12 kg itu tentu
merasakan dampak berat. Apalagi inflasi terus meningkat akibat depresiasi
rupiah terhadap dolar AS, yang berarti daya beli masyarakat makin menurun.
Berbuat Curang Ketiga;
disparitas atau perbedaan harga sangat tinggi antara harga elpiji 12 kg dan 3
kg akan mendorong agen atau spekulan berbuat curang dengan memindahkan isi
gas dari tabung 3 kg ke tabung 12 kg. Tindakan ini tak hanya merugikan
konsumen elpiji 3 kg yang pasti mengeluh barang itu menjadi langka di
pasaran, tapi juga berbahaya.
Bila pemindahan isi gas tidak
hati-hati, hal itu berisiko menimbulkan ledakan dan kebakaran yang tidak
hanya memakan korban harta benda tetapi juga jiwa. Keempat; pengusaha
pengguna elpiji 12 kg akan langsung membebankan kenaikan harga bahan bakar
itu dengan menaikkan harga barang yang dijual/diproduksi. Bila itu terjadi
maka beban masyarakat bertambah berat.
Di samping dampak negatif
secara ekonomi, rupanya pemerintah juga mengalkulasi dampak politis, yaitu kemenurunan
elektabilitas atau popularitas partai yang saat ini menguasai pemerintahan
dalam Pemilu 2014. Mendasarkan berbagai dampak negatif, termasuk dampak
ikutan yang timbul terkait kenaikan harga gas tabung 12 kg maka Senin kemarin
pemerintah sebagai pemegang saham utama dan pengendali Pertamina meninjau
kembali kenaikan harga elpiji 12 kg.
Saya sependapat dengan
pernyataan Wakil Menteri ESDM yang menyatakan bahwa Pertamina harus
transparan bila memberi argumen kepada masyarakat mengenai keputusan
menaikkan harga elpiji 12 kg. Selama ini banyak pihak berpendapat Pertamina
tak transparan dalam hal keuangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar