Kamis, 16 Januari 2014

Fenomena Politik Gadis Cantik

Fenomena Politik Gadis Cantik

Gunawan Witjaksana  ;    Dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi
(Stikom) Semarang
SUARA MERDEKA,  09 Januari 2014
                                                                                                                       


“Kinerja dan prestasi Jokowi memunculkan efek kultivasi yang makin menaikkan pamor dan citra PDIP”

SETELAH Ibu Negara Ani Yudhoyono sebagai tokoh Partai Demokrat dalam sebuah acara memuji prestasi Megawati saat menjabat Presiden ke-5 Republik Indonesia, selanjutnya giliran Prabowo Subianto dan Surya Paloh. Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra dan Ketua Umum Partai Nasdem tersebut mendekati Megawati (SM, 28/11/13). Padahal Mega menyatakan capres dari PDIP akan ditentukan lewat rakernas. Namun, dalam kenyataan Mega tetap jadi penentu.

Hasil survei berbagai lembaga makin menempatkan Jokowi, kader PDIP, pada posisi paling atas. Bahkan dukungan sukarelawan terhadap pencapresan Jokowi seperti dimuat berbagai media, makin membuat PDIP ibarat gadis cantik yang menjadi  incaran banyak pria. Kemungkinan selanjutnya, makin dekatnya pelaksanaan Pemilu 2014, berbagai  tokoh partai lain akan melakukan hal sama.

Berbagai tanggapan dan penilaian terhadap apa yang dilakukan tiga tokoh itu pun mencuat ke permukaan. Pertanyaannya, mengapa mereka melakukan hal itu?  Mengapa pula Megawati dan PDIP seolah-olah gadis cantik yang sangat menarik untuk didekati?

Bila hal itu kita cermati dari sisi dampak komunikasi politik yang paling sederhana maka Megawati dan PDIP berada di luar kekuasaan, dan hal itu membuat keduanya sangat diuntungkan. Terlebih bila dikaitkan dengan karut-marut kondisi negara kita saat ini yang antara lain ditandai oleh makin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Selain itu, berbagai kesulitan dan bencana yang melanda berbagai wilayah, ketidakpuasan buruh, hingga berbagai kasus yang menerpa eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif, secara otomatis berpengaruh pada citra penguasa saat ini. Sebaliknya, seperti pada teori-teori politik klasik maka oposisi, dalam hal ini PDIP, menjadi pihak yang diuntungkan.

Selain itu, haruslah diakui, bahwa naiknya pamor PDIP, bukan saja karena posisinya sebagai oposisi, melainkan juga diuntungkan oleh fenomena spektakuler Joko Widodo, salah satu kader andalnya. Prestasi Jokowi ketika menjadi Wali Kota Solo yang merupakan salah satu wali kota terbaik dunia, kegigihan serta kerja kerasnya yang terliput berbagai media dalam posisi sebagai Gubernur DKI, memunculkan efek kultivasi yang makin menaikkan pamor sekaligus citranya. Ilmu public relations pun mengisyaratkan dampak positif pada kemenaikan citra institusi (partainya).

Dalam berbagai survei tentang capres oleh berbagai lembaga, bahkan yang paling aktual adalah simulasi pasangan capres-cawapres, nama Jokowi tetap saja bertengger pada urutan paling atas. Bahkan secara persentase jauh melebihi calon-calon lainnya. Dibantah oleh apa pun dan siapa pun, survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga tersebut, sangat naif bila dianggap by design survey.

Sinyal Positif

Sinyal positif terhadap PDIP melalui fenomena Jokowi, rasanya makin meyakinkan tatkala masyarakat melihat sinyal-sinyal positif Megawati terhadap Jokowi. Publik bisa mengamati bagaimana sikap dan perlakuan Megawati kepada Jokowi saat rakernas PDIP beberapa waktu lalu.

Bukan itu saja, meski dalam berbagai kesempatan Mega selalu mengatakan PDIP masih berkonsentrasi pada pileg, sinyal positif Mega kepada Jokowi makin lama tampak makin jelas. Lepas dari peta perpolitikan dengan komunikasi politik yang makin dinamis, tetap saja Megawati dengan PDIP saat ini bak gadis cantik yang menjadi idaman banyak pria. Itulah fenomena politik yang tampak saat ini.

Naiknya pamor PDIP sebenarnya makin mantap bila saat ini Megawati mau dan berani menetapkan capres dari partainya. Terlebih bila ia tegas menjagokan Jokowi, entah dipasangkan dengan siapa pun, tentu dengan kalkulasi politik yang bermuara pada  kepentingan bangsa dan negara.

Bila hal itu dilakukan, bukan berarti PDIP latah dan ikut-ikutan partai lain, namun dari sisi komunikasi politik yang persuasif, rakyat saat ini sedang membutuhkan pemimpin yang sepi ing pamrih, rame ing gawe sebagai consumers insight, dan figur semacam itu saat ini ada pada diri Jokowi.

Semuanya tentu sangat bergantung pada keputusan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDIP, karena AD/ART partai tersebut mensyaratkan demikian. Namun, terlepas dari apa pun keputusan Megawati, ke depan hingga pileg dan pilpres, Megawati dan PDIP akan tetap jadi gadis cantik yang menjadi idaman tiap pria. Semoga yang terpilih adalah pria yang visioner demi kemajuan bangsa dan negara semata. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar