Kamis, 16 Januari 2014

Doktrin Siap Mati Teroris

Doktrin Siap Mati Teroris

Herie Purwanto  ;   Kepala Satuan Pembinaan Masyarakat (Kasat Binmas) Polres Pekalongan Kota, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUARA MERDEKA,  07 Januari 2014
                                                                                                                      


BAGI Polri, dalam hal ini personel tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror, upaya penangkapan tersangka teroris selalu menghadirkan dilema.

Di satu sisi, Polri ingin bisa menangkap hidup-hidup tersangka teroris sehingga bisa menggali keterangan ihwal akar gerakan mereka. Namun di sisi lain, tersangka teroris sudah memegang doktrin siap mati.

Mendalihkan doktrin itu, sangat mustahil menangkap hidup-hidup tersangka teroris dan tanpa perlawanan. Terbukti dalam beberapa kali penggerebekan, ada perlawanan dari mereka.

Bahkan, anggota Densus 88 pun acap menjadi korban. Dalam menghadapi terorisme, sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) tentu Polri harus menggunakan cara-cara luar biasa pula, baik pelibatan jumlah personel, kekuatan senjata, maupun strategi.

Terkini, tim Detasemen Khusus 88 Anti Teror sepanjang Selasa malam, 31 Desember 2013, menggempur rumah kontrakan yang dihuni 6 tersangka teroris di Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Penggerebekan berlangsung lama karena teroris menyimpan bom siap ledak.

Baku tembak sekitar 10 jam, akhirnya menewaskan 6 tersangka teroris, dan jenazah mereka sampai saat ini masih berada di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur guna kepentingan autopsi. Lima jenazah itu yakni Nurul Haq alias Dirman, Ozi alias Tomo, Rizal alias Hendi, Edo alias Ando, dan Amril. Sebelumnya, satu jenazah tiba lebih dulu pada Selasa malam, 31 Desember 2013. Dia disergap di ujung gang menuju rumah kontrakan tersebut ketika mengendarai motor.

Korban bernama Daeng alias Dayat (biasa disebut Dayat Kacamata). Menanggapi penggerebekan tersebut, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siti Noor Laila berpendapat tindakan tim Densus 88 sebagai hal yang wajar. Pasalnya, para tersangka terroris melakukan perlawanan. “Dalam kondisi para terduga teroris melakukan perlawanan, tentu polisi harus melawannya.’’

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adrianus Eliasta Meliala, yang juga kriminolog dari Universitas Indonesia kepada pers pun menyatakan bahwa proses penangkapan yang dilakukan tim Densus 88 sudah sesuai dengan prosedur. Sebaliknya, Ketua MPR Sidarto Danusubroto mengkritisi dengan mengatakan bahwa dalam operasi penangkapan mestinya polisi jangan asal membunuh.

Dia berharap polisi menggunakan caracara lain untuk meminimalkan jatuhnya korban jiwa. Ada sisi psikologis bagi teroris ketika mereka akan ditangkap hidup-hidup. Pertama; doktrin siap mati sudah melekat pada diri mereka.

Jangankan mati ditembak, mati dengan melekatkan bom pada tubuh pun, mereka siap. Menjadi sebuah pengkhianatan andai saat akan ditangkap, mereka tidak memberikan perlawanan. Mati saat ditembak, justru bagian dari pengamalan ìjihadî yang mereka yakini.

Tindakan Berimbang

Menghadapi tipologi kejahatan seperti ini, tentu polisi tidak mungkin bersikap lunak. Konvensi internasional juga membenarkan tindakan berimbang dan proporsional ketika menghadapi pelaku kejahatan bersenjata.

Pada sisi lain, standard operating procedure (SOP) penggunaan senjata api bagi polisi, sudah mengatur secara jelas. Dalam standar itu, polisi dibenarkan menggunakan senjata api untuk menembak terhadap orang yang dicari, siapa pun dia, bila melakukan perlawanan, dan hal itu sudah membahayakan jiwa petugas atau orang lain.

Tentu keputusan menembak pun sudah melalui tahapan dan melihat eskalasi, dari tembakan yang sekadar melumpuhkan hingga mematikan. Kedua; bagi teroris, ditangkap hidup-hidup oleh polisi, akan menjadikan diri punya stigma sebagai pembocor rahasia kegiatan, kelompok ataupun kekuatan mereka.

Asumsinya, setelah ditangkap mereka pasti dikorek keterangannya oleh polisi. Bila kemudian ada rekan lain yang kemudian ditangkap, yang patut dipersalahkan oleh kelompok mereka adalah yang lebih dulu tertangkap. Karena itu, yang sudah ditangkap oleh polisi, akan dicap oleh tersangka lainnya sebagai pengkhianat.

Dalam tiap kali operasi penangkapan teroris, polisi pasti menerapkan cara-cara cerdas, humanis, dan sesuai undang-undang. Tidakan polisi selalu melalui pentahapan semisal komandan lapangan menyeru melalui pengeras suara agar orang yang akan ditangkap segera menyerahkan diri.

Bila tahapan ini dianggap angin lalu, polisi akan mengulangi peringatan itu, termasuk memperingatkan adanya pengepungan oleh petugas bersenjata. Apabila tahapan ini juga tidak diperhatikan, barulah polisi bertindak nyata, dengan memberdayakan alat deteksi metal, robot penjinak bom, bom asap, termasuk penggunaan senjata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar