Doktrin
Siap Mati Teroris
Herie Purwanto ; Kepala Satuan Pembinaan Masyarakat (Kasat Binmas) Polres
Pekalongan Kota, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
|
SUARA
MERDEKA, 07 Januari 2014
BAGI Polri, dalam hal ini
personel tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror, upaya penangkapan
tersangka teroris selalu menghadirkan dilema.
Di satu sisi, Polri ingin bisa
menangkap hidup-hidup tersangka teroris sehingga bisa menggali keterangan
ihwal akar gerakan mereka. Namun di sisi lain, tersangka teroris sudah
memegang doktrin siap mati.
Mendalihkan doktrin itu, sangat
mustahil menangkap hidup-hidup tersangka teroris dan tanpa perlawanan.
Terbukti dalam beberapa kali penggerebekan, ada perlawanan dari mereka.
Bahkan, anggota Densus 88 pun
acap menjadi korban. Dalam menghadapi terorisme, sebagai kejahatan luar biasa
(extraordinary crime) tentu Polri
harus menggunakan cara-cara luar biasa pula, baik pelibatan jumlah personel,
kekuatan senjata, maupun strategi.
Terkini, tim Detasemen Khusus
88 Anti Teror sepanjang Selasa malam, 31 Desember 2013, menggempur rumah
kontrakan yang dihuni 6 tersangka teroris di Kampung Sawah, Ciputat,
Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Penggerebekan berlangsung lama karena
teroris menyimpan bom siap ledak.
Baku tembak sekitar 10 jam,
akhirnya menewaskan 6 tersangka teroris, dan jenazah mereka sampai saat ini
masih berada di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur guna kepentingan
autopsi. Lima jenazah itu yakni Nurul Haq alias Dirman, Ozi alias Tomo, Rizal
alias Hendi, Edo alias Ando, dan Amril. Sebelumnya, satu jenazah tiba lebih
dulu pada Selasa malam, 31 Desember 2013. Dia disergap di ujung gang menuju
rumah kontrakan tersebut ketika mengendarai motor.
Korban bernama Daeng alias
Dayat (biasa disebut Dayat Kacamata). Menanggapi penggerebekan tersebut,
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siti Noor Laila
berpendapat tindakan tim Densus 88 sebagai hal yang wajar. Pasalnya, para tersangka
terroris melakukan perlawanan. “Dalam kondisi para terduga teroris melakukan
perlawanan, tentu polisi harus melawannya.’’
Anggota Komisi Kepolisian
Nasional (Kompolnas) Adrianus Eliasta Meliala, yang juga kriminolog dari
Universitas Indonesia kepada pers pun menyatakan bahwa proses penangkapan
yang dilakukan tim Densus 88 sudah sesuai dengan prosedur. Sebaliknya, Ketua
MPR Sidarto Danusubroto mengkritisi dengan mengatakan bahwa dalam operasi
penangkapan mestinya polisi jangan asal membunuh.
Dia berharap polisi menggunakan
caracara lain untuk meminimalkan jatuhnya korban jiwa. Ada sisi psikologis
bagi teroris ketika mereka akan ditangkap hidup-hidup. Pertama; doktrin siap
mati sudah melekat pada diri mereka.
Jangankan mati ditembak, mati
dengan melekatkan bom pada tubuh pun, mereka siap. Menjadi sebuah
pengkhianatan andai saat akan ditangkap, mereka tidak memberikan perlawanan.
Mati saat ditembak, justru bagian dari pengamalan ìjihadî yang mereka yakini.
Tindakan Berimbang
Menghadapi tipologi kejahatan
seperti ini, tentu polisi tidak mungkin bersikap lunak. Konvensi
internasional juga membenarkan tindakan berimbang dan proporsional ketika
menghadapi pelaku kejahatan bersenjata.
Pada sisi lain, standard
operating procedure (SOP) penggunaan senjata api bagi polisi, sudah mengatur
secara jelas. Dalam standar itu, polisi dibenarkan menggunakan senjata api
untuk menembak terhadap orang yang dicari, siapa pun dia, bila melakukan
perlawanan, dan hal itu sudah membahayakan jiwa petugas atau orang lain.
Tentu keputusan menembak pun
sudah melalui tahapan dan melihat eskalasi, dari tembakan yang sekadar
melumpuhkan hingga mematikan. Kedua; bagi teroris, ditangkap hidup-hidup oleh
polisi, akan menjadikan diri punya stigma sebagai pembocor rahasia kegiatan,
kelompok ataupun kekuatan mereka.
Asumsinya, setelah ditangkap
mereka pasti dikorek keterangannya oleh polisi. Bila kemudian ada rekan lain
yang kemudian ditangkap, yang patut dipersalahkan oleh kelompok mereka adalah
yang lebih dulu tertangkap. Karena itu, yang sudah ditangkap oleh polisi,
akan dicap oleh tersangka lainnya sebagai pengkhianat.
Dalam tiap kali operasi
penangkapan teroris, polisi pasti menerapkan cara-cara cerdas, humanis, dan
sesuai undang-undang. Tidakan polisi selalu melalui pentahapan semisal komandan
lapangan menyeru melalui pengeras suara agar orang yang akan ditangkap segera
menyerahkan diri.
Bila tahapan ini dianggap angin
lalu, polisi akan mengulangi peringatan itu, termasuk memperingatkan adanya
pengepungan oleh petugas bersenjata. Apabila tahapan ini juga tidak
diperhatikan, barulah polisi bertindak nyata, dengan memberdayakan alat
deteksi metal, robot penjinak bom, bom asap, termasuk penggunaan senjata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar