Politik
Pesisir 2014
Arif Satria ;
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB;
Anggota Dewan Kelautan Indonesia
|
KOMPAS,
11 Januari 2014
DI pengujung 2013 akhirnya
revisi UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil disahkan.
Pro-kontra menyertai
proses revisi tersebut. Melanjutkan tulisan saya (Kompas, 16/11/ 2013), ada
sejumlah catatan terkait pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU tersebut
dan bagaimana implementasinya pada 2014.
Rezim izin
Pada Pasal 16
ditegaskan bahwa setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian
perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap
wajib memiliki izin lokasi, yang menjadi dasar pemberian izin pengelolaan.
Pertama, ternyata izin
lokasi wajib bagi semua pengguna, termasuk masyarakat tradisional,
kecuali masyarakat hukum adat. Ini untuk menciptakan akuntabilitas
pemanfaatan pesisir.
Pola pengaturan izin
lokasi seperti ini menggunakan prinsip kesetaraan: masyarakat dan pengusaha
punya status hukum yang sama, yakni pemegang izin lokasi. Tapi ada pepatah:
”equality is not always justice”. Ada kekhawatiran, pengusaha dan masyarakat
tak mungkin setara. Keduanya punya akses dan kemampuan administratif berbeda.
Mestinya izin lokasi
memang hanya bagi pengguna yang eligibel mendapatkan izin usaha dan
masyarakat tradisional dapat diperlakukan secara khusus melalui instrumen
registrasi yang lebih ringan. Tapi, karena revisi UU ini sudah disahkan,
dalam peraturan pemerintah nanti perlu ada mekanisme afirmatif yang berbeda
untuk masyarakat tradisional. Mereka harus diperlakukan khusus sehingga akses
untuk pemanfaatan pesisir tak terganggu.
Kedua, terminologi
izin pengelolaan dalam UU ini ternyata dimaknai sebagai izin untuk
pemanfaatan. Ini agak rancu. Secara saintifik, terminologi pengelolaan lebih
bermakna pada pembuatan dan pelaksanaan aturan main. Tampaknya penyusun UU
ini memilih terminologi ”izin pengelolaan” untuk mengganti istilah ”izin
pemanfaatan” yang dianggap berkonotasi eksploitasi, meski sebenarnya
merupakan istilah saintifik yang netral.
Sasaran tembak lain
terhadap revisi UU ini tentang investasi asing, yang kini mulai diatur.
Kekhawatiran sebagian LSM terhadap pasal ini sangat beralasan, mengingat pada
kenyataannya pelaku usaha asing di pesisir, khususnya wisata bahari, sering
menimbulkan konflik dengan masyarakat nelayan tradisional. Ini terjadi karena
akses pada lahan di pulau kecil selalu diikuti klaim pada wilayah perairan
terdekatnya dan nelayan sering ditutup aksesnya, baik untuk menangkap ikan
maupun sekadar menambatkan perahu di pantai.
Dalam kajian agraria,
kasus ini bisa disebut ”pencaplokan” pesisir dan dalam ekologi-politik Bryant
dan Bailey (2000) tergolong ”tragedi pemagaran”. Hal ini menjadikan nelayan
sekadar tamu di lautnya sendiri.
Namun, tampaknya UU
ini juga menyadari realitas itu sehingga persyaratan untuk investasi asing
tidak semudah yang dibayangkan. Pasal 26A menegaskan, pemanfaatan pulau kecil
dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing
harus mendapat izin menteri setelah ada rekomendasi bupati/wali kota.
Syaratnya, pihak asing tersebut: a) merupakan badan hukum berbentuk perseroan
terbatas, b) menjamin akses publik, c) di lokasi tidak berpenduduk, d) belum
ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal, d) bekerja sama dengan peserta
Indonesia, e) melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta
Indonesia, f) melakukan alih teknologi, dan g) memperhatikan aspek ekologi,
sosial, dan ekonomi pada luasan lahan.
Persyaratan tersebut
merupakan bentuk kompromi dari pro-kontra investasi asing di wilayah pesisir.
Tantangannya adalah bagaimana syarat-syarat tersebut bisa diterapkan sehingga
asing tidak merajalela.
Implementasi 2014
Bagaimana implementasi
hasil revisi UU ini? Pertama, hal yang penting bukan pada pengaturan
pemanfaatan pesisir yang akan datang, melainkan justru pada bagaimana
membereskan kasus-kasus saat ini yang bertentangan dengan UU. Hal ini karena
pengaplingan pesisir secara ilegal telah terjadi, khususnya oleh pengusaha
asing wisata bahari yang saat ini masih dominan. Begitu pula budidaya mutiara
oleh pihak asing yang apabila beroperasi di wilayah perikanan tradisional dan
bermasalah dengan masyarakat, menurut UU ini mestinya direlokasi ke wilayah
perairan yang tidak ada aktivitas nelayan lokal.
Sementara itu, dalam
menyikapi membeludaknya budidaya rumput laut oleh masyarakat yang juga
berpotensi menimbulkan ”pengaplingan”, lokasinya perlu ditata bersama-sama
mereka supaya usaha ekonominya terlindungi dan akses publik tetap terjaga. Di
sinilah urgensi hadirnya organisasi lokal yang kuat sehingga mampu bersama
mengelola wilayah pesisir sebagai wilayah komunal dan bukan wilayah
individual mereka.
Kedua, pada tahun
2014 perlu sosialisasi publik yang intensif kepada pemangku kepentingan dan
semua pemerintah daerah. Sebab, sangat sedikit daerah yang sudah memiliki
rencana strategis dan rencana zonasi pesisir meski diamanatkan UU. Padahal
dokumen perencanaan ini merupakan dasar pengelolaan pesisir yang di dalamnya
diatur soal izin lokasi dan pemanfaatan.
Ketiga, mekanisme
perlindungan akses masyarakat terhadap pemanfaatan dan pengelolaan pesisir
perlu diperkuat. Hal ini karena pengelolaan pesisir bukan semata untuk
kelestarian lingkungan dan estetika, melainkan juga harus menyejahterakan
masyarakat. Spirit ini mestinya mewarnai peraturan pemerintah yang harus
selesai awal 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar