Akhir
Sejarah Ikhwanul Muslimin
Zuhairi Misrawi ;
Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah
di The Middle East Institute
|
KOMPAS,
11 Januari 2014
AKHIRNYA, Pemerintah Mesir menetapkan
Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris (25/12/2013).
Keputusan tersebut diambil sehari setelah aksi bom bunuh diri di Provinsi
Mansoura, yang menewaskan 16 orang dan melukai 130 orang.
Dalam rilis resmi yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Mesir, setidaknya ada tiga alasan utama di balik keputusan
menggemparkan tersebut. Pertama, IM dianggap telah menempuh cara-cara
kekerasan dalam mencapai ambisi dan tujuan politiknya. Langkah tersebut
diambil karena IM menolak pelengseran atas Presiden Muhammad Mursi, yang
terpilih secara demokratis pascarevolusi.
Hampir setiap hari mereka
mengerahkan massa dalam jumlah yang relatif besar dengan tujuan menciptakan
instabilitas politik. Setelah pimpinan elite IM ditangkap dan dipenjara,
mereka kini mengerahkan kaum muda untuk menghentikan dan mengacaukan
aktivitas perkuliahan di sejumlah perguruan tinggi, antara lain Universitas
Al Azhar, Universitas Kairo, dan Universitas Mansoura. Akibatnya, jadwal
perkuliahan dan ujian semester tertunda. Puncaknya, sejumlah aksi bom bunuh
diri di Sinai, Nasr City, dan Mansouraditengarai sebagai ulah kelompok yang
berafiliasi kepada IM.
Kedua, IM dianggap sebagai aktor
di balik pembakaran dan perusakan terhadap sejumlah gereja di seantero Mesir.
Lebih kurang 42 gereja dirusak sejak jatuhnya Mursi. Menurut Rifat Saeed, apa
yang dilakukan IM dapat dikonfirmasi karena fatwa keagamaan yang dikeluarkan
oleh IM sama sekali tidak bersahabat pada gereja (www.almasryalyoum.com,
20/12/2013).
Setelah berkuasa pascarevolusi, IM
sebenarnya telah memulai langkah besar saat mengeluarkan keputusan penting
untuk menghadiri perayaan Natal di gereja. Bahkan, mereka menampung para
aktivis politik dari kalangan Koptik untuk masuk dalam kepengurusan Partai
Kebebasan dan Keadilan. Namun, langkah tersebut tercemari kembali
pasca-jatuhnya Mursi karena mereka menjadikan gereja sebagai sasaran utama
untuk melampiaskan kemarahan.
Ketiga, IM dianggap dengan sengaja
mengganggu peta jalan (kharithat al-thariq) yang digariskan oleh pemerintahan
baru yang telah berhasil menyelesaikan penyusunan konstitusi serta akan
menyelenggarakan referendum dan pemilu. IM telah menggunakan segala cara
untuk menghentikan peta jalan tersebut. Langkah tersebut dipandang pemerintah
sebagai rintangan dalam upaya membangun negara demokratis, adil, dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Secara de
jure, keputusan Pemerintah Mesir dengan menetapkan IM sebagai organisasi
teroris mempunyai dampak serius. Karena secara hukum, IM akan mendapatkan
sanksi yang sangat berat sebagaimana tertera Pasal 88 KUHP Mesir.
Mereka yang
tercatat, terlibat, dan mendanai organisasi IM akan dipenjara sedikitnya lima
tahun. Polisi dan militer mendapatkan mandat untuk melakukan pengamanan dari
sejumlah aksi aktivis IM. Begitu pula, sejumlah aktivis IM yang eksodus ke
beberapa negara Arab dapat diberikan sanksi berdasarkan kesepakatan yang
ditandatangani para pemimpin Arab pada tahun 1998.
Versus negara
Apa yang menimpa IM saat ini
sebenarnya hanya pengulangan dari episode kelam di masa lalu. Sejarah membuktikan
bahwa perlawanan IM terhadap pemerintah selalu berakhir dengan pembubaran.
Pada tahun 1940-an, IM melalui sayap khusus (tandzim khas) yang dikenal kerap
menggunakan kekerasan telah melakukan aksi pembunuhan terhadap Perdana
Menteri Fahmi Naqrasyi, Hakim Agung Khazandar, dan merusak sejumlah fasilitas
umum milik pemerintah. Hal ini menyebabkan pemerintah melakukan larangan
secara resmi terhadap IM.
Pada tahun 1950-an, Gamal Abd
Nasser juga melakukan pembubaran karena IM dianggap telah berusaha melakukan
upaya pembunuhan terhadap Nasser. Pada tahun 1960-an, Sayyed Qutb ditangkap
dan akhirnya dihukum gantung karena melancarkan sejumlah rencana besar untuk
melakukan pembunuhan dan perusakan atas fasilitas umum. Pada tahun 1980-an,
IM kembali memasuki ketegangan dengan pemerintah, yang berakhir dengan
tewasnya Presiden Anwar Sadat.
Hosni Mubarak melanjutkan
kebijakan para pendahulunya dengan menetapkan IM sebagai organisasi
terlarang. Para aktivis IM dipenjara sembari melakukan pendekatan keamanan
yang sangat ketat terhadap mereka. Meskipun demikian, IM diam-diam dapat menggalang kekuatan sebagai organisasi masyarakat sipil yang
mempunyai jaringan luas di tingkat akar rumput.
Harus diakui, sebagai organisasi
sosial-masyarakat dengan ideologi islamismenya, IM mempunyai dukungan yang
kuat dari akar rumput. Hal tersebut terlihat saat pemilu paling demokratis
digelar pasca-jatuhnya Mubarak. IM mendapatkan suara yang meyakinkan, yaitu
memenangi pemilu legislatif dan pemilu presiden. IM adalah satu-satunya organisasi
sosial yang paling rapi dan disiplin dalam menggerakkan massa.
Namun, belajar dari sejarah dan
fakta mutakhir, IM mempunyai masalah serius dalam membangun relasi dan
kesepahaman dengan negara. IM cenderung menjadikan dirinya sebagai ”negara”
dalam negara. Sikap tersebut menyebabkan IM kerap kali mengalami benturan
serius dengan negara. Menurut Muhammad Habib, mantan aktivis IM, organisasi
yang sudah berusia 86 tahun tersebut kerap memilih ”jalan buntu” tatkala
berhadapan dengan negara. IM tidak mau membangun rekonsiliasi dan kesepahaman
dengan negara. Karena itu, banyak pihak memandang IM pada hakikatnya hendak
membangun ”Negara IM” di Mesir.
Keputusan mutakhir pemerintah
dengan menetapkan IM sebagai organisasi teroris (tandzim irhabi) merupakan
keputusan yang disayangkan oleh banyak pihak. Keputusan tersebut sebenarnya
tidak perlu terjadi jika IM mau bersama-sama terlibat dalam peta jalan masa
depan sebagaimana digariskan oleh seluruh kekuatan politik, militer, termasuk
Al Azhar dan Koptik.
IM bisa belajar dari AKP di Turki
dan Ennahda di Tunisia yang memilih untuk menjadi bagian dari negara, bahkan
memimpin negara untuk memastikan demokrasi dapat melindungi seluruh kelompok.
Karena bernegara pada hakikatnya membangun konsensus yang menjamin hak
individu dan hak semua kelompok terlindungi, dengan konstitusi yang dapat
dijadikan sebagai pilar demokrasi.
Masa depan Ikhwanul Muslimin
Terus terang, masa depan IM masih
sangat suram karena hingga saat ini belum ada indikasi kuat di dalam internal
IM untuk melakukan reformasi. Mulai muncul gerakan ”IM tanpa kekerasan” yang
diprakarsai kaum reformis dan kaum muda di dalam IM, tetapi suara mereka
tidak direspons positif oleh elite IM.
Sebagai sebuah organisasi, IM bisa
dibubarkan dan dilarang Pemerintah Mesir, tetapi ideologi IM yang mapan tentu
tidak mudah dilenyapkan. Mereka bisa jadi lebih keras sebagaimana sudah
terbukti dalam bentangan sejarah IM. Jika ini terjadi, yang rugi adalah IM
dan negara.
Maka dari itu, Pemerintah Mesir
mempunyai tugas yang sangat berat dalam rangka melakukan dialog intensif
dengan aktivis dan kaum muda IM. Al Azhar yang sudah terbukti membangun sikap
moderat dan cinta negara-bangsa perlu dilibatkan untuk melakukan pencerahan
dan pembaruan di dalam internal IM. Tujuan utamanya adalah mengajak kembali
IM agar menjadi bagian dari negara yang harus menjaga harmoni dan melanjutkan
transisi demokrasi ke arah yang lebih mencerminkan keadilan dan kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar