Kamis, 16 Januari 2014

Pernikahan yang Beradab

Pernikahan yang Beradab

Ahmad Rofiq  ;    Sekretaris Umum MUI Jateng,
Guru Besar Hukum Islam IAIN Walisongo
SUARA MERDEKA,  13 Januari 2014
                                                                                                                        


MENCERMATI tulisan Dr L Mur­bandono Hs berjudul ”Pernikahan Indah Peradaban Terang” (SM, 6/1/14) yang sebagian merespons tulisan Dr Abu Roh­mad MA berjudul ”Birokrasi Kepeng­huluan” (SM, 21/12/13), saya berkesimpulan tulisan tersebut tidak membawa perkawinan menjadi indah dan peradaban makin terang. Bahkan andai gagasan itu direalisasikan, boleh jadi perkawinan menjadi makin gelap.

Meskipun dari cara pandang peradaban semata, meminjam bahasa dari Al-Faraby, andai semua anggota masyarakat berperadaban sangat baik, tak ada satu pun yang melanggar hak orang lain maka kehadiran negara dan pemerintah dalam ”campur tangan” urusan pernikahan, tidak lagi diperlukan.

Dalam perspektif politik, Aristoteles bilang bahwa manusia adalah makhluk politik karena itulah memerlukan politik. Tentu tugas, peran, dan fungsi politik, atau negara adalah memfasilitasi dan mengayomi warga negara yang terlanggar haknya oleh orang lain, termasuk oleh suami atau isteri.

Saya setuju bahwa pernikahan adalah entitas indah. Dalam bahasa Islam disebut perjanjian yang kokoh (mitsaqan gha­lidhan). Awalnya, pencatatan juga tak diperlukan mengingat pada masa itu manusia masih menjunjung tinggi kewajiban dan amanah. Namun  Alquran sudah menyiapkan konsep penyelesaian perselisihan dengan lembaga hakam atau wakil dari pihak keluarga, yang sekarang dikembangkan melalui model mediasi.

Mengingat pernikahan adalah entitas indah, Islam dan agama lain mengatur syarat dan rukun nikah yang wajib dipenuhi supaya sah. Di Indonesia, ada UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975, dan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007, selain dua calon mempelai, wali, dua saksi, dan ijab kabul.

Hal itu ditegaskan dalam Pasal 2 Ayat (1) yang menyebutkan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Adapun Ayat (2) mengatur pencatatan, yakni tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan.

Selama ini, sebenarnya pencatatan nikah oleh penghulu bagi (bagi calon mempelai beragama Islam) atau kantor Catatan Sipil (bagi nonmuslim) tidak ada masalah. Masalah timbul, ketika menyangkut penghayat kepercayaan mengingat mereka tidak memeluk agama yang diakui di negara ini. Persoalan muncul setelah Romli, Kepala KUA Kediri Jatim ditangkap karena disangka menerima gratifikasi dari keluarga calon mempelai.

Islam sangat menghargai hubungan cinta dua anak manusia berlainan jenis yang bertekad merajut kebahagiaan abadi. Sampai-sampai andai orang tua atau wali calon mempelai perempuan tidak setuju, negara harus tampil membela atau mengadvokasi, yakni nikah melalui wali hakim. Tujuannya supaya dua anak manusia yang mungkin mengikat janji sehidup semati itu tidak terjebak dalam perzinaan selama hidup.

Murbandono menulis bahwa ihwal keabsahan itu secara ”logis matematis” bisa dirumuskan sebagai berikut,’’ pengabsahan pernikahan itu sang pasangan nikah dan bukan birokrat sirkuit apa pun. Pasangan nikah saling menikahkan diri dan karenanya indah bagi mereka. Keindahan itu mendapat nilai lebih sebab diproklamasikan lewat upacara dan pesta yang dihadiri pihak luar (wali, saksi, orang tua, birokrat agama, dan birokrat negara, dan hadirin lain)’’.

Dalam kacamata paham ateis, tidak beragama, apalagi atas nama HAM absolut, seolah-olah hal itu tampak benar. Lantas apa bedanya antara pernikahan bila disahkan oleh diri mereka sendiri, dan perzinaan yang makin merebak kendati mengatasnamakan cinta dan keindahan.

Dibiayai Negara

Saya berpendapat NKRI didirikan karena dilandasi nilai dasar dan cita-cita luhur menjadi manusia dan bangsa berperadaban indah dan terang-benderang. Mendasarkan pada Pancasila, pengaturan dan pencatatan pernikahan oleh KUA atau kantor Catatan Sipil adalah instrumen untuk meraih keindahan itu.

Bila dalam proses dan prosedur pencatatan pernikahan, ada persoalan berkait kemahalan biaya pencatatan, atau ada gratifikasi, itulah yang perlu dibenahi. Kita membayangkan pencatatan pernikahan digratiskan, dengan catatan semua dibiayai negara maka semuanya berjalan indah.

Terminologi sah atau sahih artinya benar. Bagi orang beragama atau berkepercayaan, pernikahannya dianggap sah, tentu agama dan kepercayaannya itulah yang menentukan, bukan diri mereka sendiri. Bila ada dua anak manusia mengesahkan sendiri pernikahan,  tanpa panduan agama dan kepercayaannya maka bisa disebut zina.

Jika konstruksi hukum dan pemahaman bermodel demikian, seperti dalam KUHP, dapat dipastikan perzinaan makin merajalela, dan itu kredit kehancuran bangsa ini dan secara perlahan namun pasti menuju peradaban gelap dan tidak indah.

Saya mengajak pembaca tulisan ini, terutama yang hendak menikah, ikuti saja ajaran agama atau kepercayaan yang memiliki kewenangan mengesahkan pernikahan indah. Caranya, mencatatkan pernikahan melalui penghulu KUA, atau kantor Catatan Sipil, demi meraih kebahagiaan hakiki yang indah. Selain itu, menuju peradaban terang, di bawah panduan agama atau kepercayaan yang dianut, guna mewujudkan keluarga sakinah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar