Pernikahan
yang Beradab
Ahmad Rofiq ; Sekretaris Umum MUI Jateng,
Guru
Besar Hukum Islam IAIN Walisongo
|
SUARA
MERDEKA, 13 Januari 2014
MENCERMATI tulisan Dr L Murbandono Hs berjudul
”Pernikahan Indah Peradaban Terang” (SM, 6/1/14) yang sebagian merespons
tulisan Dr Abu Rohmad MA berjudul ”Birokrasi Kepenghuluan” (SM, 21/12/13),
saya berkesimpulan tulisan tersebut tidak membawa perkawinan menjadi indah
dan peradaban makin terang. Bahkan andai gagasan itu direalisasikan, boleh
jadi perkawinan menjadi makin gelap.
Meskipun dari cara pandang peradaban
semata, meminjam bahasa dari Al-Faraby, andai semua anggota masyarakat
berperadaban sangat baik, tak ada satu pun yang melanggar hak orang lain maka
kehadiran negara dan pemerintah dalam ”campur tangan” urusan pernikahan,
tidak lagi diperlukan.
Dalam perspektif politik, Aristoteles
bilang bahwa manusia adalah makhluk politik karena itulah memerlukan politik.
Tentu tugas, peran, dan fungsi politik, atau negara adalah memfasilitasi dan
mengayomi warga negara yang terlanggar haknya oleh orang lain, termasuk oleh
suami atau isteri.
Saya setuju bahwa pernikahan adalah entitas
indah. Dalam bahasa Islam disebut perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalidhan). Awalnya, pencatatan juga tak diperlukan
mengingat pada masa itu manusia masih menjunjung tinggi kewajiban dan amanah.
Namun Alquran sudah menyiapkan konsep penyelesaian perselisihan dengan
lembaga hakam atau wakil dari pihak keluarga, yang sekarang dikembangkan
melalui model mediasi.
Mengingat pernikahan adalah entitas indah,
Islam dan agama lain mengatur syarat dan rukun nikah yang wajib dipenuhi
supaya sah. Di Indonesia, ada UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP
Nomor 9 Tahun 1975, dan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007, selain
dua calon mempelai, wali, dua saksi, dan ijab kabul.
Hal itu ditegaskan dalam Pasal 2 Ayat (1)
yang menyebutkan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan
kepercayaan masing-masing. Adapun Ayat (2) mengatur pencatatan, yakni tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan.
Selama ini, sebenarnya pencatatan nikah
oleh penghulu bagi (bagi calon mempelai beragama Islam) atau kantor Catatan
Sipil (bagi nonmuslim) tidak ada masalah. Masalah timbul, ketika menyangkut
penghayat kepercayaan mengingat mereka tidak memeluk agama yang diakui di
negara ini. Persoalan muncul setelah Romli, Kepala KUA Kediri Jatim ditangkap
karena disangka menerima gratifikasi dari keluarga calon mempelai.
Islam sangat menghargai hubungan cinta dua
anak manusia berlainan jenis yang bertekad merajut kebahagiaan abadi.
Sampai-sampai andai orang tua atau wali calon mempelai perempuan tidak
setuju, negara harus tampil membela atau mengadvokasi, yakni nikah melalui
wali hakim. Tujuannya supaya dua anak manusia yang mungkin mengikat janji
sehidup semati itu tidak terjebak dalam perzinaan selama hidup.
Murbandono menulis bahwa ihwal keabsahan
itu secara ”logis matematis” bisa dirumuskan sebagai berikut,’’ pengabsahan pernikahan itu sang
pasangan nikah dan bukan birokrat sirkuit apa pun. Pasangan nikah saling
menikahkan diri dan karenanya indah bagi mereka. Keindahan itu mendapat nilai
lebih sebab diproklamasikan lewat upacara dan pesta yang dihadiri pihak luar
(wali, saksi, orang tua, birokrat agama, dan birokrat negara, dan hadirin
lain)’’.
Dalam kacamata paham ateis, tidak beragama,
apalagi atas nama HAM absolut, seolah-olah hal itu tampak benar. Lantas apa
bedanya antara pernikahan bila disahkan oleh diri mereka sendiri, dan
perzinaan yang makin merebak kendati mengatasnamakan cinta dan keindahan.
Dibiayai
Negara
Saya berpendapat NKRI didirikan karena
dilandasi nilai dasar dan cita-cita luhur menjadi manusia dan bangsa
berperadaban indah dan terang-benderang. Mendasarkan pada Pancasila,
pengaturan dan pencatatan pernikahan oleh KUA atau kantor Catatan Sipil
adalah instrumen untuk meraih keindahan itu.
Bila dalam proses dan prosedur pencatatan
pernikahan, ada persoalan berkait kemahalan biaya pencatatan, atau ada gratifikasi,
itulah yang perlu dibenahi. Kita membayangkan pencatatan pernikahan
digratiskan, dengan catatan semua dibiayai negara maka semuanya berjalan
indah.
Terminologi sah atau sahih artinya benar.
Bagi orang beragama atau berkepercayaan, pernikahannya dianggap sah, tentu
agama dan kepercayaannya itulah yang menentukan, bukan diri mereka sendiri.
Bila ada dua anak manusia mengesahkan sendiri pernikahan, tanpa panduan
agama dan kepercayaannya maka bisa disebut zina.
Jika konstruksi hukum dan pemahaman bermodel
demikian, seperti dalam KUHP, dapat dipastikan perzinaan makin merajalela,
dan itu kredit kehancuran bangsa ini dan secara perlahan namun pasti menuju
peradaban gelap dan tidak indah.
Saya mengajak pembaca tulisan ini, terutama
yang hendak menikah, ikuti saja ajaran agama atau kepercayaan yang memiliki
kewenangan mengesahkan pernikahan indah. Caranya, mencatatkan pernikahan
melalui penghulu KUA, atau kantor Catatan Sipil, demi meraih kebahagiaan
hakiki yang indah. Selain itu, menuju peradaban terang, di bawah panduan
agama atau kepercayaan yang dianut, guna mewujudkan keluarga sakinah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar