Keberlanjutan
Krisis di Thailand
Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 15 Januari 2014
KRISIS politik Thailand
tampaknya masih belum akan berakhir meski pemerintahan caretaker di bawah
Perdana Menteri (PM) Yingluck Shinawatra memutuskan penyelenggaraan pemilihan
umum (pemilu) dini pada 2 Februari 2014. Pemajuan pemilu (seharusnya 2015)
ditetapkan setelah Yingluck, adik bungsu PM terguling Thaksin Shinawatra,
membubarkan parlemen awal Desember 2013. Tindakan itu menyusul pengunduran
diri seluruh anggota parlemen dari partai oposisi utama (Demokrat) sebagai
reaksi atas kengototan Yingluck untuk tidak mengundurkan diri. Menurut
konstitusi, pemilu harus diselenggarakan tak lebih dari 60 hari setelah
pembubaran parlemen.
Pesimisme pemilu dini tak akan
mengakhiri konflik terindikasi lewat sikap apriori kalangan elite dan
pendukung Demokrat atas penyelenggaraan pesta demokrasi dini itu. Suthep
Thaugsuban, elite Demokrat sekaligus penggerak aksi demo besar belakangan
ini, menolak pemilu dini prakarsa pemerintahan Yingluck.
Pasalnya, menurut Suthep,
pemilu tak akan jujur dan adil: pembelian suara oleh para calon legislatif
(caleg) dari Partai Puea Thai (untuk Thailand) masih akan berlangsung seperti
pemilu-pemilu sebelumnya. Suthep ingin pemilu dini diprakarsai oleh sebuah
dewan rakyat yang digagas oposisi dan bertugas mereformasi sejumlah
aturan, termasuk regulasi pemilu. Suthep bahkan tak hanya menolak pemilu
dini, tapi juga berupaya menggagalkannya dengan mengerahkan pendukungnya
turun ke jalan di Bangkok untuk mengganggu proses pemilu. Seperti pada 26
Desember lalu, sekelompok pengunjuk rasa memaksa masuk ke dalam stadion,
tempat pendaftaran para caleg.
Kalah
Aksi itu menimbulkan bentrok
berdarah, menewaskan seorang demonstran dan seorang polisi serta melukai 25
polisi lain, 10 di antaranya kritis (SM, 28/12/13). Persoalannya tentu,
mengapa Suthep menolak dan berupaya keras menggagalkan pemilu pada 2 Februari
2014? Kekhawatiran akan kekalahan Partai Demokrat jika dia dan Demokrat turut
ambil bagian dalam pesta demokrasi pada 2 Februari mendatang tampak menjadi
alasan tersendiri mengapa dia menolak pemilu tersebut. Dalam dua pemilu
setelah kudeta tanggal 19 September 2006 yang mengakhiri kekuasaan populis PM
Thaksin, Demokrat selalu bertekuk-lutut di hadapan partai-partai pendukung
Thaksin.
Pada pemilu Desember 2007
Demokrat kalah dari People Power Party (PPP), pengganti atau penerus Partai
Thai Rak Thai pimpinan Thaksin yang didiskualifikasi setelah kudeta militer.
Kemenangan PPP mengantarkan Samak Sundaravej, sekutu Thaksin, menduduki kursi
PM.
Belum genap setahun menjabat
PM, Samak dipaksa lengser oleh pendukung oposisi melalui rangkaian
demonstrasi besar di Bangkok. Jabatannya kemudian diserahkan kepada Somchai
Wongsawat, adik ipar Thaksin. Baru seumur jagung menjabat, Somchai pun
dipaksa mundur dari kursi, juga melalui aksi demonstrasi jalanan pendukung oposisi
yang diujungtombaki Demokrat.
Setelah itu, dengan restu Raja
Bhumibol Adulyadej, jalannya roda pemerintahan Thailand dikendalikan oleh
caretaker di bawah PM Abhisit Vejjajiva dari Demokrat dan Suthep Thaugsuban
didaulat sebagai wakil PM. Pemerintahan caretaker berlangsung sampai digelar
pemilu 3 Juli 2011 yang dimenangi cukup telak oleh Partai Puea Thai pimpinan
Yingluck Shinawatra. Inilah kekalahan kedua Demokrat dari partai-partai
pro-Thaksin.
Mengambil Hati
Kalangan analis umumnya
berpendapat, partai-partai pro-Thaksin selalu sukses mengungguli Demokrat
lantaran Thaksin selama 8 tahun (1998-2006) memerintah berhasil mengambil
hati rakyat kecil yang berbasis di pedesaan melalui program populis, semisal
skema pinjaman individual cepat cair dengan bunga sangat rendah. Masyarakat
kelas bawah agaknya sangat berkesan dengan kebijakan populis Thaksin.
Dampaknya, meski sudah 7 tahun
Thaksin disingkirkan dan tinggal di Dubai, rakyat kecil itu tetap bersimpati.
Mereka merefleksikan dengan mendukung partai-partai pro-Thaksin sampai
sekarang. Apabila Suthep beserta Demokrat menerima sekaligus berpartisipasi
dalam pemilu 2 Februari nanti, hampir dipastikan Demokrat kembali kalah.
Lantas, bagaimana krisis politik Thailand harus diselesaikan? Apakah dengan
membentuk dewan rakyat yang bertugas menyelenggarakan pemilu sebagaimana
dimaui oposisi akan sanggup menyelesaikan krisis?
Penyelenggaraan pemilu oleh
lembaga pemilu apa pun (termasuk dewan rakyat) jika ditolak oleh salah satu
pihak (dari dua pihak berseberangan) pastilah tak akan sanggup menyelesaikan
krisis. Krisis politik di Negeri Gajah Putih bisa diselesaikan andai dua kubu
berseberangan yang sama-sama mengatasnamakan demokrasi itu mau tulus
berekonsiliasi.
Tanpa ketulusan berekonsiliasi,
mustahil krisis teratasi: masyarakat Thailand akan tetap terbelah antara
kelas bawah loyalis Thaksin dan kelas menengah-atas perkotaan penentang
Thaksin. Mereka akan tetap berseteru dan krisis terus berkepanjangan hingga
dikhawatirkan bisa mengundang militer kembali melancarkan kudeta dengan dalih
menstabilkan keadaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar