Kamis, 16 Januari 2014

Pernikahan Indah Peradaban Terang

Pernikahan Indah Peradaban Terang

L Mubandono Hs  ;   Peminat Peradaban, Tinggal di Ambarawa, Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA,  06 Januari 2014
                                                                                                                        


ARTIKEL Dr Abu Rohmad berjudul ”Birokrasi Kepenghuluan” (SM, 21/12/13) tentang bagian masalah keabsahan pernikahan di negara kita berdasar pemaduan ajaran agama dan hukum positif, menyiratkan tiga soal hakiki. Pertama; tersirat kekuasaan politik superioritas agama atas negara.

Kedua; tersirat tetes kecil bagian lautan luas masalah mendasar akibat kegagalan reformasi politik, butir-butirnya banyak sekali, tersimpan getir dalam tiap akal budi yang berfungsi. Ketiga; wacana itu berada dalam peradaban gelap saat kehidupan berbangsa dan bernegara masih terus disandera politik-politikan dan reformasi-reformasian berdasar politik slinthutan rezim-rezim kekuasaan bermasalah dalam sejarah kita yang memuncak semasa Orba.

Tiga soal hakiki itu membawa akibat luas, antara lain mempersulit secara tidak perlu proses pengabsahan pernikahan sebagai suatu entitas indah lembaga sosial berbasis individu yang absolut.

Indah adalah ajektif terpuncak pernikahan unversal, mengatasi baik, benar, suci, mulia, dan semua ajektif positif lain dalam kosakata Bahasa Indonesia.
Keindahan pernikahan itu mengacu pasangan nikah, dua individu saling mencinta sang penghayat langsung, bukan bergantung pada orang lain siapa pun dan wujud lain apa pun. Makna-nilai-hakikat pernikahan semacam itu terdesak, terpinggir, dan tertutup oleh kedunguan sikap pikir akibat politik pembodohan dalam peradaban gelap.

Nyaris Terang

Padahal, pada zaman saya muda, negara kita pernah berada dalam peradaban nyaris terang. Saat itu, dengan pemberlakuan hukum positif yang disebut pernikahan catatan sipil, proses pengabsahan dan keabsahan pernikahan tak terlalu berlebihan direcoki pihak-pihak ”berwajib dan berwenang” yang tidak perlu. (Tanda kutip ini mutlak, sebab dalam filosofi pernikahan ideal peradaban terang, pihak paling berwajib dan paling berwenang adalah sang pasangan nikah sendiri. Utopia?)

Dalam konteks itu, persyaratan agama tidak menjadi gerbang menuju pengabsahan dan keabsahan. Kekuasaan negara hadir sambil merangkul agamaagama, mengabsahkan pernikahan pasangan warganegara yang sudah dewasa dan saling mencinta yang memenuhi syarat biologis dan psikis. Di negara kita abad XXI saat ini, dikte abad pertengahan itu menjadi manipulasi, muncul dalam empat perkara.

Pertama; soal agama resmi yang diakui. Agama itu diresmikan atau tidak, bagi pemeluknya tetap membawa nilai yang sulit digeser begitu saja. Agama (atau tidak beragama) adalah soal HAM paham pribadi yang tidak bisa dihapus meski distempel ”tidak resmi” oleh kekuasaan model apa pun. Memaksa paham pribadi ”tidak resmi” untuk pindah menjadi ”resmi yang diakui” adalah melanggar HAM.

Kedua; jika sepasang pencinta tidak beragama ”resmi” atau tidak beragama, lalu bagaimana? Apa mereka harus ”berzinah” selama hidup? Padahal, sifat dasar dan hakikat pernikahan itu lebih individual ketimbang sosial: sepasang individu saling mencinta mau bersatu secara sadar tanpa paksaan unsur luar. Individu pada nomor pertama, dan unsur-unsur sosial semacam hukum, agama, adat, tradisi, dan apa pun, ada pada nomor ke sekian.

Ketiga; dalam mengatur dan mengurus keabsahan pernikahan, kinerja legalitas kita masih bermasalah, melecehkan pluriformitas, memberlakukan praktik hukum buruk (mungkin dari rumusan hukum yang salah) sebab mencampuradukkan urusan agama dengan negara yang mengingkari konstitusi negara sipil demokratis yang bineka. 

Keempat; ihwal keabsahan itu secara ”logis matematis” bisa dirumuskan begini: pengabsah pernikahan itu sang pasangan nikah dan bukan birokrat sirkuit apa pun.
Pasangan nikah saling menikahkan diri dan karenanya indah bagi mereka. 

Keindahan itu mendapat nilai lebih sebab diproklamasikan lewat upacara danpesta yang dihadiri pihak luar (wali, saksi, orang tua, birokrat agama dan birokrat negara, dan hadirin lain). Fungsi pihak luar itu terbatas sebagai saksi, pemberi restu dan supporters yang tidak memengaruhi keabsahan hakiki pernikahan, kecuali hanya memberi nilai tambah.

Pekerjaan Rumah

Empat perkara tersebut menjadi pekerjaan rumah amat berat bagi negara kita. Ia bukan sekadar soal ralat atas legalitas hukum, melainkan menuju sikap pikir yang mampu mereformasi kegelapan peradaban menuju ke peradaban terang. Hal itu suoaya segala masalah berbangsa dan bernegara bisa diusut sampai tingkat terdasar. Legalitas hukum pengabsahan dan keabsahan pernikahan yang kini masih diberlakukan, ternyata masih bertumpu formalitas pengabai pluriformitas yang penuh sesak masalah ikutan.

Jadi, korelasi antara keabsahan, pernikahan, agama dan negara itu hanya terpecahkan dengan politik yang konsekuen sebagai negara hukum. Diharapkan bisa dilahirkan UU tentangnya yang masuk akal, terutama meletakkan manusia di tempat pertama, apa pun agama dan paham hidupnya.

Pasalnya, yang mau menikah itu manusia, bukan agama atau paham hidup. Tanpa UU pernikahan dengan basis demi manusia di tempat pertama di atas apa saja, proses pengabsahan pernikahan di negara kita selalu menjadi entitas alot berjubel rambu penuh tetek-bengek. Padahal, pernikahan adalah entitas positif, membahagiakan dan memberi daya hidup. Maka, sejatinya pernikahan itu indah sekali.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar