Pernikahan
Indah Peradaban Terang
L Mubandono Hs ; Peminat Peradaban, Tinggal di Ambarawa, Kabupaten Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 06 Januari 2014
ARTIKEL Dr Abu Rohmad berjudul ”Birokrasi
Kepenghuluan” (SM, 21/12/13) tentang bagian masalah keabsahan pernikahan di
negara kita berdasar pemaduan ajaran agama dan hukum positif, menyiratkan
tiga soal hakiki. Pertama; tersirat kekuasaan politik superioritas agama atas
negara.
Kedua; tersirat tetes kecil
bagian lautan luas masalah mendasar akibat kegagalan reformasi politik,
butir-butirnya banyak sekali, tersimpan getir dalam tiap akal budi yang
berfungsi. Ketiga; wacana itu berada dalam peradaban gelap saat kehidupan
berbangsa dan bernegara masih terus disandera politik-politikan dan
reformasi-reformasian berdasar politik slinthutan rezim-rezim kekuasaan
bermasalah dalam sejarah kita yang memuncak semasa Orba.
Tiga soal hakiki itu membawa
akibat luas, antara lain mempersulit secara tidak perlu proses pengabsahan
pernikahan sebagai suatu entitas indah lembaga sosial berbasis individu yang
absolut.
Indah adalah ajektif terpuncak
pernikahan unversal, mengatasi baik, benar, suci, mulia, dan semua ajektif
positif lain dalam kosakata Bahasa Indonesia.
Keindahan pernikahan itu
mengacu pasangan nikah, dua individu saling mencinta sang penghayat langsung,
bukan bergantung pada orang lain siapa pun dan wujud lain apa pun.
Makna-nilai-hakikat pernikahan semacam itu terdesak, terpinggir, dan tertutup
oleh kedunguan sikap pikir akibat politik pembodohan dalam peradaban gelap.
Nyaris Terang
Padahal, pada zaman saya muda,
negara kita pernah berada dalam peradaban nyaris terang. Saat itu, dengan
pemberlakuan hukum positif yang disebut pernikahan catatan sipil, proses
pengabsahan dan keabsahan pernikahan tak terlalu berlebihan direcoki
pihak-pihak ”berwajib dan berwenang” yang tidak perlu. (Tanda kutip ini
mutlak, sebab dalam filosofi pernikahan ideal peradaban terang, pihak paling
berwajib dan paling berwenang adalah sang pasangan nikah sendiri. Utopia?)
Dalam konteks itu, persyaratan
agama tidak menjadi gerbang menuju pengabsahan dan keabsahan. Kekuasaan
negara hadir sambil merangkul agamaagama, mengabsahkan pernikahan pasangan
warganegara yang sudah dewasa dan saling mencinta yang memenuhi syarat
biologis dan psikis. Di negara kita abad XXI saat ini, dikte abad pertengahan
itu menjadi manipulasi, muncul dalam empat perkara.
Pertama; soal agama resmi yang
diakui. Agama itu diresmikan atau tidak, bagi pemeluknya tetap membawa nilai
yang sulit digeser begitu saja. Agama (atau tidak beragama) adalah soal HAM
paham pribadi yang tidak bisa dihapus meski distempel ”tidak resmi” oleh
kekuasaan model apa pun. Memaksa paham pribadi ”tidak resmi” untuk pindah
menjadi ”resmi yang diakui” adalah melanggar HAM.
Kedua; jika sepasang pencinta
tidak beragama ”resmi” atau tidak beragama, lalu bagaimana? Apa mereka harus
”berzinah” selama hidup? Padahal, sifat dasar dan hakikat pernikahan itu
lebih individual ketimbang sosial: sepasang individu saling mencinta mau
bersatu secara sadar tanpa paksaan unsur luar. Individu pada nomor pertama,
dan unsur-unsur sosial semacam hukum, agama, adat, tradisi, dan apa pun, ada
pada nomor ke sekian.
Ketiga; dalam mengatur dan
mengurus keabsahan pernikahan, kinerja legalitas kita masih bermasalah,
melecehkan pluriformitas, memberlakukan praktik hukum buruk (mungkin dari
rumusan hukum yang salah) sebab mencampuradukkan urusan agama dengan negara
yang mengingkari konstitusi negara sipil demokratis yang bineka.
Keempat;
ihwal keabsahan itu secara ”logis matematis” bisa dirumuskan begini:
pengabsah pernikahan itu sang pasangan nikah dan bukan birokrat sirkuit apa
pun.
Pasangan nikah saling
menikahkan diri dan karenanya indah bagi mereka.
Keindahan itu mendapat nilai
lebih sebab diproklamasikan lewat upacara danpesta yang dihadiri pihak luar
(wali, saksi, orang tua, birokrat agama dan birokrat negara, dan hadirin
lain). Fungsi pihak luar itu terbatas sebagai saksi, pemberi restu dan supporters yang tidak memengaruhi
keabsahan hakiki pernikahan, kecuali hanya memberi nilai tambah.
Pekerjaan Rumah
Empat perkara tersebut menjadi
pekerjaan rumah amat berat bagi negara kita. Ia bukan sekadar soal ralat atas
legalitas hukum, melainkan menuju sikap pikir yang mampu mereformasi
kegelapan peradaban menuju ke peradaban terang. Hal itu suoaya segala masalah
berbangsa dan bernegara bisa diusut sampai tingkat terdasar. Legalitas hukum
pengabsahan dan keabsahan pernikahan yang kini masih diberlakukan, ternyata
masih bertumpu formalitas pengabai pluriformitas yang penuh sesak masalah
ikutan.
Jadi, korelasi antara
keabsahan, pernikahan, agama dan negara itu hanya terpecahkan dengan politik
yang konsekuen sebagai negara hukum. Diharapkan bisa dilahirkan UU tentangnya
yang masuk akal, terutama meletakkan manusia di tempat pertama, apa pun agama
dan paham hidupnya.
Pasalnya, yang mau menikah itu
manusia, bukan agama atau paham hidup. Tanpa UU pernikahan dengan basis demi
manusia di tempat pertama di atas apa saja, proses pengabsahan pernikahan di
negara kita selalu menjadi entitas alot berjubel rambu penuh tetek-bengek.
Padahal, pernikahan adalah entitas positif, membahagiakan dan memberi daya
hidup. Maka, sejatinya pernikahan itu indah sekali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar