Kamis, 16 Januari 2014

Antisipasi Teror Tak Mati-Mati

Antisipasi Teror Tak Mati-Mati

Tjahjo Kumolo  ;   Anggota Komisi I DPR (Bidang Intelijen dan Pertahanan),
Sekjen PDI Perjuangan
SUARA MERDEKA,  06 Januari 2014
                                                                                                                       


MATI satu tumbuh seribu. Itulah teroris. Penggerebekan di Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, pada Rabu (1/1/14) dini hari, yang menewaskan 6 teroris membuktikan hal itu.

Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan selama 13 tahun, 2000-2013, sudah 840 pelaku teror di Indonesia ditangkap, 60 di antaranya ditembak mati di lokasi karena melawan petugas. Sepanjang 2013, 87 teroris ditangkap, menurun sedikit dari 2012 sejumlah 89 orang.

Namun, hari ini ada seorang teroris ditangkap, esok teroris lainnya sudah kembali beraksi. Teror tak mati-mati. Hanya BNPT belum bisa mendeteksi berapa sesungguhnya jumlah teroris karena pelaku teror terus membentuk sel-sel baru dari jaringan lama. Di sisi lain, korban teror di Indonesia sampai saat ini sudah lebih dari 400 orang, 8 di antaranya polisi, plus seorang polisi terluka dalam penggerebakan di Ciputat pada malam Tahun Baru 2014 itu.

Korban terbanyak adalah pada Bom Bali I sekitar 200 orang. Upaya Detasemen Khusus (Densus) 88/Anti Teror Mabes Polri menangkap teroris patut kita apresiasi. Tapi jangan lupa, jaringan-jaringan baru teroris muda di Indonesia menunjukkan pengaderan sistematis dan terpola, mengarah di wilayah pinggiran Jakarta dan kota-kota lain, khususnya Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, terutama dalam 5 tahun terakhir.

Karena itu, aparat intelijen dan keamanan, khususnya Densus 88, BNPT, dan Badan Intelijen Negara (BIN) harus mengefektifkan upaya deteksi dini sebagai langkah awal pencegahan potensi terorisme. Perlu dilakukan operasi intelijen terpadu untuk memonitor dan penjejakan taktis dan strategis.

Aparat intelijen dan keamanan juga harus melakukan penggalangan tokohtokoh masyarakat pada berbagai elemen, khususnya menyangkut jaringan narkotika, penyelundupan, perampokan bank, ATM, toko emas dan penjualan senjata gelap, serta frekuensi radio dan jaringan kabel yang tak bisa dimungkiri sering terkait dengan terorisme. Juga harus bekerja sama dengan matra TNI, khususnya BIN sebagai intelejen negara.

Di samping itu, memetakan secara detail jaringan dan aksi-aksi kelompok radikal, termasuk mengantisipasi aksi kelompok radikal baru yang berisiko mengganggu keamanan dan stabilitas nasional, apalagi menjelang Pemilu 2014. Mengingat 2014 merupakan tahun politik, diperlukan kesiagaan berlebih dari aparat keamanan untuk mengantisipasi teror.

BNPT menyinyalir teroris sudah mulai memiliki kepentingan dengan pelaksanaan pemilu. Contoh, teror bom Mega Kuningan, Jakarta, 2009, hanya selang 9 hari setelah pelaksanaan pemungutan suara Pilpres 2009. Lalu, 2012 terjadi insiden pelemparan bom terhadap Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Pelakunya kelompok teroris Poso Sulawesi Tengah. Diduga hal itu ada kaitan dengan rencana Pilgub Sulsel.

Teorinya, musuh terbesar mereka adalah demokrasi, dan pemilu adalah pilar utama demokrasi sehingga asumsinya suasana pemilu menjadi target. Aparat intelijen, khususnya Densus 88, sudah mengantisipasi termasuk memperbarui peta masalah dengan pembentukan dan pemetaan jaringan pada kelompokkelompok radikal yang memiliki akses pada jaringan terorisme.

Di pihak lain, pemerintah harus memberikan perhatian penuh terhadap berbagai akses dan pendanaan terhadap tugas operasional intelijen dalam dan luar negeri serta memperbanyak satuan intelijen, Densus 88, pasukan terpadu antiteror. Khususnya mengefektifkan pola gerakan antisipasi melawan teror kota yang dapat memicu terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).

Luas Wilayah

Kita bersyukur, pemerintah menaikkan anggaran BNPT sekitar 100%, dari tahun 2013 senilai Rp152 miliar menjadi Rp 300- an miliar tahun 2014. Namun anggaran intelijen masih sangat minim untuk mencakup wilayah NKRI yang luas, khususnya wilayah perbatasan. Tahun 2013 anggaran BIN sekitar Rp1,145 triliun, dan anggaran Densus 88 termasuk anggaran Polri tahun 2014 sebesar Rp 41,5 triliun atau turun dari tahun 2013 sebesar Rp 45,6 triliun.

Ke depan anggaran untuk BIN dan Densus 88 harus terus ditingkatkan, dan kaderisasi dan penambahan personel Densus 88 mutlak diperlukan. Yang tak kalah penting adalah penanganan terpadu, operasi intelijen deteksi dini, dan upaya pencegahan terhadap terorisme. Secara psikologis masyarakat sangat terganggu bila teror terus mengintai.

Densus 88 dan aparatur intelejen terpadu harus dikoordinasikan dan disempurnakan terus-menerus, dan tidak salah bila melibatkan tim antiteror Kopassus atau antiteror TNI lainnya. Yang penting ada pembagian kerja, dan kontinuitas pelaksanaan. Sejauh ini peran Densus 88 sudah optimal, namun perlu memperluas personelnya dan memadukan dengan pasukan-pasukan antiteror lainnya.

Terutama koordinasi intelejen terpadu guna mendeteksi dini supaya tidak ada istilah kecolongan. Terorisme adalahkejahatan luar biasa, selain korupsi dan penyalahgunaan narkotika. Seperti pada korupsi dan narkotika, ternyata penindakan tidak menyelesaikan masalah, bahkan ada kecenderungan kian merebak. Maka upaya preventif amat diperlukan.

Pemerintah juga telah membuat perencanaan kontraterorisme lewat media, terutama internet. Upaya itu guna mengimbangi gencarnya propaganda terorisme lewat dunia maya.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar