Antisipasi
Teror Tak Mati-Mati
Tjahjo Kumolo ; Anggota Komisi I DPR (Bidang Intelijen dan Pertahanan),
Sekjen
PDI Perjuangan
|
SUARA
MERDEKA, 06 Januari 2014
MATI satu tumbuh seribu. Itulah teroris.
Penggerebekan di Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, pada Rabu
(1/1/14) dini hari, yang menewaskan 6 teroris membuktikan hal itu.
Data Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) menyebutkan selama 13 tahun, 2000-2013, sudah 840 pelaku
teror di Indonesia ditangkap, 60 di antaranya ditembak mati di lokasi karena
melawan petugas. Sepanjang 2013, 87 teroris ditangkap, menurun sedikit dari
2012 sejumlah 89 orang.
Namun, hari ini ada seorang teroris
ditangkap, esok teroris lainnya sudah kembali beraksi. Teror tak mati-mati.
Hanya BNPT belum bisa mendeteksi berapa sesungguhnya jumlah teroris karena
pelaku teror terus membentuk sel-sel baru dari jaringan lama. Di sisi lain,
korban teror di Indonesia sampai saat ini sudah lebih dari 400 orang, 8 di
antaranya polisi, plus seorang polisi terluka dalam penggerebakan di Ciputat
pada malam Tahun Baru 2014 itu.
Korban terbanyak adalah pada Bom Bali I
sekitar 200 orang. Upaya Detasemen Khusus (Densus) 88/Anti Teror Mabes Polri
menangkap teroris patut kita apresiasi. Tapi jangan lupa, jaringan-jaringan
baru teroris muda di Indonesia menunjukkan pengaderan sistematis dan terpola,
mengarah di wilayah pinggiran Jakarta dan kota-kota lain, khususnya Bogor,
Depok, Tangerang dan Bekasi, terutama dalam 5 tahun terakhir.
Karena itu, aparat intelijen dan keamanan,
khususnya Densus 88, BNPT, dan Badan Intelijen Negara (BIN) harus
mengefektifkan upaya deteksi dini sebagai langkah awal pencegahan potensi
terorisme. Perlu dilakukan operasi intelijen terpadu untuk memonitor dan
penjejakan taktis dan strategis.
Aparat intelijen dan keamanan juga harus
melakukan penggalangan tokohtokoh masyarakat pada berbagai elemen, khususnya
menyangkut jaringan narkotika, penyelundupan, perampokan bank, ATM, toko emas
dan penjualan senjata gelap, serta frekuensi radio dan jaringan kabel yang
tak bisa dimungkiri sering terkait dengan terorisme. Juga harus bekerja sama
dengan matra TNI, khususnya BIN sebagai intelejen negara.
Di samping itu, memetakan secara detail jaringan
dan aksi-aksi kelompok radikal, termasuk mengantisipasi aksi kelompok radikal
baru yang berisiko mengganggu keamanan dan stabilitas nasional, apalagi
menjelang Pemilu 2014. Mengingat 2014 merupakan tahun politik, diperlukan
kesiagaan berlebih dari aparat keamanan untuk mengantisipasi teror.
BNPT menyinyalir teroris sudah mulai
memiliki kepentingan dengan pelaksanaan pemilu. Contoh, teror bom Mega
Kuningan, Jakarta, 2009, hanya selang 9 hari setelah pelaksanaan pemungutan
suara Pilpres 2009. Lalu, 2012 terjadi insiden pelemparan bom terhadap
Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Pelakunya kelompok teroris
Poso Sulawesi Tengah. Diduga hal itu ada kaitan dengan rencana Pilgub Sulsel.
Teorinya, musuh terbesar mereka adalah
demokrasi, dan pemilu adalah pilar utama demokrasi sehingga asumsinya suasana
pemilu menjadi target. Aparat intelijen, khususnya Densus 88, sudah
mengantisipasi termasuk memperbarui peta masalah dengan pembentukan dan
pemetaan jaringan pada kelompokkelompok radikal yang memiliki akses pada
jaringan terorisme.
Di pihak lain, pemerintah harus memberikan
perhatian penuh terhadap berbagai akses dan pendanaan terhadap tugas
operasional intelijen dalam dan luar negeri serta memperbanyak satuan
intelijen, Densus 88, pasukan terpadu antiteror. Khususnya mengefektifkan
pola gerakan antisipasi melawan teror kota yang dapat memicu terganggunya
keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Luas
Wilayah
Kita bersyukur, pemerintah menaikkan
anggaran BNPT sekitar 100%, dari tahun 2013 senilai Rp152 miliar menjadi Rp
300- an miliar tahun 2014. Namun anggaran intelijen masih sangat minim untuk
mencakup wilayah NKRI yang luas, khususnya wilayah perbatasan. Tahun 2013
anggaran BIN sekitar Rp1,145 triliun, dan anggaran Densus 88 termasuk
anggaran Polri tahun 2014 sebesar Rp 41,5 triliun atau turun dari tahun 2013
sebesar Rp 45,6 triliun.
Ke depan anggaran untuk BIN dan Densus 88
harus terus ditingkatkan, dan kaderisasi dan penambahan personel Densus 88
mutlak diperlukan. Yang tak kalah penting adalah penanganan terpadu, operasi
intelijen deteksi dini, dan upaya pencegahan terhadap terorisme. Secara
psikologis masyarakat sangat terganggu bila teror terus mengintai.
Densus 88 dan aparatur intelejen terpadu
harus dikoordinasikan dan disempurnakan terus-menerus, dan tidak salah bila
melibatkan tim antiteror Kopassus atau antiteror TNI lainnya. Yang penting
ada pembagian kerja, dan kontinuitas pelaksanaan. Sejauh ini peran Densus 88
sudah optimal, namun perlu memperluas personelnya dan memadukan dengan pasukan-pasukan
antiteror lainnya.
Terutama koordinasi intelejen terpadu guna
mendeteksi dini supaya tidak ada istilah kecolongan. Terorisme
adalahkejahatan luar biasa, selain korupsi dan penyalahgunaan narkotika.
Seperti pada korupsi dan narkotika, ternyata penindakan tidak menyelesaikan
masalah, bahkan ada kecenderungan kian merebak. Maka upaya preventif amat
diperlukan.
Pemerintah juga telah membuat perencanaan
kontraterorisme lewat media, terutama internet. Upaya itu guna mengimbangi
gencarnya propaganda terorisme lewat dunia maya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar