Perjalanan
Panjang Anas
Khaerudin ;
Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
11 Januari 2014
HAMBALANG sejatinya adalah nama
sebuah desa di Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Nama
Hambalang tiba-tiba menyeruak ketika pada Juli 2011, mantan Bendahara Umum
Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menyebutnya dalam pelarian di luar negeri
setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi wisma atlet SEA Games di
Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan.
Nazaruddin pun menggebu menuding
bekas koleganya, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang
terlibat korupsi proyek Hambalang. Nilai proyek Hambalang memang jauh lebih
besar daripada pembangunan wisma atlet. Proyek Hambalang menelan biaya Rp 2,5
triliun, sementara nilai proyek wisma atlet hanya Rp 191,67 miliar. Sejak
itu, Hambalang mulai dikenal sebagai megaproyek yang dikorupsi.
Nazaruddin rupanya tak asal
menuduh. Anas, kini, menjadi tersangka kasus Hambalang dan sejak Jumat (10/1)
sore resmi ditahan di sel yang berada di basemen Gedung Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Kerja sama bisnis antara
Nazaruddin dan Anas rupanya terjalin sejak keduanya menjadi pimpinan Partai
Demokrat. Nazaruddin dan Anas berkongsi di Grup Permai, sebuah induk
perusahaan dengan banyak anak usaha. Perusahaan di bawah naungan Grup Permai
ini belakangan diketahui banyak menggiring proyek-proyek APBN sejak dibahas
di DPR, termasuk di dalamnya wisma atlet dan proyek Hambalang.
Menggiring proyek
Menggiring proyek berarti berusaha
dengan segala cara, termasuk menyuap pihak yang berkepentingan, agar proyek
tersebut dikerjakan oleh anak usaha Grup Permai, atau perusahaan lain yang
tak berafiliasi dengan mereka, tetapi telah membayar fee.
Ini, misalnya, terjadi dalam
proyek wisma atlet. Pemenang tender adalah PT Duta Graha Indah Tbk, tetapi
setelah itu mereka membayar fee kepada Grup Permai melalui Direktur
Marketing PT Anak Negeri (anak usaha Grup Permai) Mindo Rosalina Manulang dan
Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharram.
Itu pula yang dilakukan Nazaruddin
dengan Grup Permai dalam proyek Hambalang.
Nazaruddin dalam persidangannya
mengungkapkan, dirinya bersama Anas ikut terlibat mengatur proyek Hambalang
sejak awal. Dia menyebut Anas sejak awal ikut mengatur proyeknya. Dimulai
dengan mendapatkan sertifikat lahan proyek yang selama tiga tahun bermasalah.
Nazaruddin mengungkapkan, pada
Desember 2009, ia dan Angelina Sondakh dipanggil Anas untuk bertemu dengan
Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. Pertemuan itu dilakukan untuk
membicarakan proyek Hambalang. Dalam pembicaraan tersebut, disepakati Andi
dan anggota Fraksi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, bersama anggota Badan
Anggaran DPR lainnya akan membuat anggaran khusus untuk proyek Hambalang.
Hasil pertemuan tersebut
dilaporkan Nazaruddin kepada Anas. Nazaruddin juga menyebut Anas kemudian
memerintahkannya memanggil anggota Komisi II DPR dari FPD, Ignatius Mulyono,
untuk mengurus sertifikat tanah proyek Hambalang yang terbelit sengketa
dengan meminta bantuan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto.
Ignatius ditugaskan karena mitra kerja Komisi II salah satunya ialah BPN.
Belakangan, Ignatius mengakui
dalam pertemuan di ruangan kerja Anas selaku Ketua Fraksi Partai Demokrat di
DPR saat itu, atasannya di DPR tersebut memerintahkan agar dia mengurus
sertifikat tanah Hambalang dengan menghubungi Kepala BPN Joyo Winoto. Setelah
tiga minggu, sertifikat tanah proyek Hambalang jadi dan diserahkan Ignatius
kepada Anas yang ditemani Nazaruddin.
Terima uang dan mobil
Dalam persidangan Nazaruddin pula,
terungkap pertama kali soal pemberian mobil Toyota Harrier kepada Anas.
Nazaruddin membeli Toyota Harrier melalui PT Pacific Putra Metropolitan, anak
usaha PT Anugerah Nusantara yang juga bagian Grup Permai, di sebuah dealer
mobil di Pecenongan, Jakarta Pusat, pada September 2009 seharga Rp 520 juta.
Mobil itu kemudian diatasnamakan Anas dengan nomor polisi B 15 AUD.
Dalam pengembangan penyidikan, KPK
menemukan bahwa Anas tak hanya diberi Toyota Harrier. Anas juga diduga
menerima pemberian Toyota Vellfire. Dalam sidang, Nazaruddin pernah
menunjukkan fotokopi buku kepemilikan kendaraan bermotor (BPKB) Toyota
Alphard tahun pembuatan 2007 atas nama Anas. Fotokopi BPKB tersebut juga
mencatat ada perubahan identitas kepemilikan Toyota Alphard dari sebelumnya
dimiliki oleh PT Anugerah Nusantara menjadi milik Anas.
Rupanya, pengembangan penyidikan
KPK juga tak hanya menemukan dugaan pemberian mobil. Anas diduga menerima
uang dari PT Adhi Karya. Perusahaan BUMN ini menggelontorkan uang Rp 14,601
miliar untuk memenangkan pekerjaan fisik proyek Hambalang.
Sebagian uang tersebut Rp 6,925
miliar berasal dari PT Wijaya Karya, yang digandeng PT Adhi Karya dalam kerja
sama operasi (KSO) proyek Hambalang. Dari uang Rp 14,601 miliar itu, sebagian
diberikan kepada Anas Rp 2,21 miliar untuk membantu pencalonan sebagai ketua
umum dalam Kongres Partai Demokrat tahun 2010.
KPK menyebut Anas juga menerima
sesuatu dari proyek-proyek lain. Pengacara Anas sempat memprotes penggunaan
frasa proyek-proyek lainnya itu. Ini pula yang membuat Anas mangkir saat
hendak diperiksa sebagai tersangka, Selasa lalu.
Soal proyek-proyek lainnya ini,
Anas diduga menerima pemberian sesuatu dari proyek PT Bio Farma. Dia juga
diduga menerima sesuatu dari proyek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di
Jawa Timur. Bahkan, nilai pemberian dari proyek Hambalang terhitung paling
kecil ketimbang pemberian dari proyek-proyek lain itu.
Selama ini Anas selalu mengelak
terlibat dalam kasus korupsi proyek Hambalang. Dia bahkan sempat menantang
dengan mengatakan, ”Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas
di Monas.”
Bersalah atau tidaknya Anas,
tinggal menunggu putusan hakim setelah melihat bukti yang dibeberkan jaksa
KPK maupun sanggahannya oleh tim pengacara. Selama ini, KPK tak pernah gagal
membuktikan kesalahan terdakwa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar