SURVEI
KOMPAS (4)
Golkar
Bersaing dalam Satu Ceruk
Bestian Nainggolan ;
Litbang Kompas
|
KOMPAS,
11 Januari 2014
DALAM kurun waktu
setahun terakhir, penetrasi politik Partai Golkar pada massa pemilih
melambat. Namun, dibandingkan dengan partai lain, hanya Golkar yang
menghasilkan paling banyak calon presiden, yang kini satu sama lain bersaing
ketat.
Survei
pemilih Kompas menunjukkan kecenderungan stagnasi dukungan kepada
Golkar. Jika pada Desember 2012 Golkar masih menguasai posisi puncak, dengan
dukungan 15,4 persen pemilih, belakangan mulai tersalip Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan. Saat ini, dukungan terhadap Golkar diperkirakan 16,5
persen.
Jika kondisi demikian
tetap berlangsung, hal itu akan menjadi batu sandungan bagi Golkar dalam
Pemilu 2014. Padahal, dari sisi potensi massa pemilih, jika Golkar dapat
ditafsirkan sebagai induk genealogi partai-partai politik nasionalis ”tengah”
yang saat ini berkiprah, ceruknya lebar dan dalam.
Apabila proporsi
dukungan yang kini dikuasai Golkar dipadukan dengan karakter dukungan yang
dimiliki Partai Nasdem, Hanura, atau Gerindra yang para pemimpinnya pernah
memiliki peran di Golkar, tidak kurang dari 41 persen massa pendukung yang
terkuasai. Proporsi sebesar itu jelas menjadi ceruk dukungan yang sulit
ditandingi oleh kekuatan mana pun.
Ceruk tersebut diisi
kalangan beragam latar belakang. Hasil survei ini menunjukkan, baik dari sisi
jenis kelamin, jenjang pendidikan, status ekonomi, perimbangan agama, maupun
perimbangan geopolitik Jawa-luar Jawa, semua mencerminkan miniatur populasi
masyarakat negeri ini. Agak membedakan dengan ceruk kekuatan politik lainnya
jika dilakukan pemilahan psikografik.
Berdasarkan dikotomi
pragmatis-idealis, misalnya, warna pragmatisme mendominasi para pemilih di
ceruk ini. Di sisi lain, kecenderungan para pemilih yang bersifat konservatif
agak kuat melekat ketimbang mereka yang berkarakter progresif. Para
pendukungnya tampak lebih banyak yang mengagungkan nilai kesetaraan dalam
struktur sosio-politik masyarakat daripada yang bersifat hierarkis.
Namun, faktanya, ceruk
dukungan itu terkoyak. Terpecah, membentuk kelompok-kelompok dukungan dalam
naungan beberapa partai. Pengelompokan dapat diidentikkan dengan sosok yang
membangun partai itu.
Fakta historis
menunjukkan, pada saat sosok-sosok dominan merasa tidak sejalan satu sama
lain, saat itu pula partai baru dibentuk. Persoalan semacam ini seolah sudah
menjadi rumusan baku dari genealogi partai politik di negeri ini.
Pendukung rapuh
Ancaman stagnasi
dukungan bisa jadi kini tengah dihadapi Golkar. Namun, di sisi lain dalam
kontestasi politik, perebutan kursi kepresidenan masih berkilau. Empat dari
enam deretan atas popularitas calon presiden terkuasai oleh sosok Golkar atau
sosok yang pernah bersentuhan dengan partai ini.
Selain Aburizal Bakrie
yang dicalonkan Golkar sebagai presiden, sosok mantan Wakil Presiden Jusuf
Kalla masih menjadi rujukan dukungan para pemilih. Adapun mereka yang kini
berada di luar Golkar antara lain Prabowo Subianto, pendiri Gerindra, yang
sebelumnya pernah berkontestasi dalam konvensi calon presiden Golkar pada
2004. Terdapat pula Wiranto, yang pernah menjadi calon presiden dari Golkar
pada 2004, yang kini lekat dengan Partai Hanura. Kedua sosok itu berada di
papan atas dengan perolehan dukungan cukup signifikan. Di luar deretan papan
atas, masih ada sosok Surya Paloh, juga peserta konvensi presiden Golkar pada
2004, yang kini sosoknya identik dengan Partai Nasdem.
Dominasi jumlah sosok
dalam papan atas dukungan calon presiden mengindikasikan betapa produktifnya
rumah Golkar melahirkan petarung politik kelas wahid di negeri ini.
Persoalannya, Golkar
sebagai partai dengan begitu banyak jumlah calon presiden yang dihasilkan
tidak dengan sendirinya semakin mengefektifkan gerak penguasaan partai
ataupun setiap sosok dalam meningkatkan besaran dukungan. Yang terjadi,
justru pada momen menjelang Pemilu 2014 kali ini, Golkar ataupun calon-calon
presiden yang diproduksinya dihadapkan pada situasi rapuhnya pola dukungan.
Pertama, belum
solidnya pemilih partai ini dapat dilihat dari loyalitas pemilih dari waktu
ke waktu. Hasil survei menunjukkan, setidaknya baru separuh (54 persen)
pemilih Golkar yang tergolong loyal (Grafik). Yang berpindah dukungan masih
tergolong besar.
Di satu sisi, daya
tarik PDI- P mampu mengalihkan hingga 9 persen pendukung semula Golkar. Di
sisi lain, Hanura, Gerindra, dan Nasdem bahkan mampu mengambil alih hingga 21
persen pendukung Golkar.
Namun, kehilangan
dukungan Golkar masih terbalaskan dalam jumlah yang relatif sama dari para
pendukung baru yang juga berasal dari Hanura, Gerindra, Nasdem, ataupun dalam
jumlah yang lebih besar diperoleh dari masuknya para pendukung Demokrat.
Hanya saja, secara total sekalipun sirkulasi dukungan tidak defisit, Golkar
dihadapkan pada angka pertambahan yang relatif sedikit dengan mobilitas
pemilih besar.
Sosok Aburizal menguat
Kedua, rapuhnya
dukungan yang terjadi terkait dengan kualitas sosok yang diusung partai ini
sebagai presiden. Hasil survei terbaru memang menunjukkan, Aburizal Bakrie,
ketua umum partai yang diusung sebagai calon presiden, saat ini masih
terbesar pendukungnya. Dari semua responden survei yang mengaku memilih
Golkar, sebesar 40 persen memilih Aburizal. Dibandingkan dengan survei
sebelumnya (35 persen), tidak terbantahkan jika belakangan ini terjadi
penguatan sosok Aburizal dalam tubuh pemilih Golkar. Demikian pula hasil
survei menunjukkan, kadar resistansi pemilih terhadap sosok Aburizal relatif
menurun sekalipun kurang signifikan.
Akan tetapi, hasil
survei juga menunjukkan loyalitas dukungan Aburizal masih rapuh. Hanya 45
persen yang tergolong loyal. Kehadiran sosok Jokowi, misalnya, mampu menyedot
29 persen pendukung Aburizal.
Keberadaan Wiranto,
Prabowo, dan Jusuf Kalla juga tidak dapat diremehkan. Tidak kurang dari 14
persen pendukung Aburizal teralihkan oleh ketiga sosok tersebut. Bahkan,
ancaman terbesar saat ini justru semakin meningkatnya penetrasi Wiranto
bersama Hanura, yang mampu mengalihkan hingga 8 persen pendukung Aburizal.
Yang terjadi pada
Golkar dan Aburizal Bakrie sebenarnya juga berlangsung mirip dengan yang
terjadi pada para pendukung Partai Hanura, Nasdem, dan Gerindra. Barisan
pendukung partai juga tergolong rapuh. Dari sisi luar partai, tarikan magnet
Jokowi mampu mengalihkan pendukung Aburizal-Golkar, Wiranto-Hanura,
Prabowo-Gerindra, dan juga Nasdem.
Sementara dari sisi
internal, setiap sosok calon presiden dihadapkan pada derasnya mobilitas
dukungan. Pada akhirnya, partai-partai itu pun berkutat dengan perebutan
pengaruh di antara setiap sosok hingga cenderung mempertontonkan kondisi
”saling memakan” dalam ceruk yang sama.
Ketika diperhadapkan
pada kalkulasi politik pemilu mendatang, fenomena yang kini berlangsung pada
tubuh Golkar menunjukkan betapa terjal jalan yang harus dihadapi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar