Pemilu
1971, Demokrasi Semu
Ilham Khoiri ;
Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
11 Januari 2014
EMPAT tahun setelah
resmi menggantikan Soekarno sebagai Presiden RI, Soeharto menggelar pemilu
pada 5 Juli 1971. Hajatan politik nasional itu memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat provinsi dan
kabupaten. Ini pemilu pertama pada masa Orde Baru.
Total ada 10 partai
politik yang bertarung kali ini dan hanya delapan parpol yang meraih kursi.
Muncul dua partai baru, yaitu Golongan Karya (Golkar) dan Partai Muslimin
Indonesia (Parmusi). Beberapa parpol pada Pemilu 1955 tak lagi ikut serta
karena dibubarkan, seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai
Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pemilu menggunakan sistem
proporsional dengan daftar tertutup dan semua kursi terbagi habis di setiap
daerah pemilihan. Golkar menang dengan mengantongi 62,8 persen suara (236
kursi DPR). Disusul Nahdlatul Ulama (NU) dengan 18,6 persen suara (58 kursi),
Parmusi dengan 5,3 persen suara (24 kursi), Partai Nasionalis Indonesia (PNI)
dengan 6,9 persen suara (20 kursi), dan Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII) dengan 2,3 persen suara (10 kursi).
Menurut sejarawan Anhar
Gonggong, Golkar sudah diperkirakan bakal menang secara merata meski baru
kali pertama ikut pemilu. Sekretariat Bersama Golkar dijadikan kendaraan
politik Soeharto. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan seluruh
jaringannya, pegawai negeri sipil (PNS), Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI), serta birokrasi di semua tingkat menjadi alat untuk memobilisasi
rakyat dari pusat sampai ke desa-desa agar memilih Golkar.
Soeharto dengan berbagai
cara, kata Anhar, berusaha melemahkan kekuatan parpol besar lain sambil
membesarkan Golkar. Soal nama, misalnya, tidak digunakan istilah ”partai”,
tetapi ”golongan”. Padahal, dalam praktiknya, Golkar jelas-jelas partai
politik. Mulai tumbuh gagasan Dwifungsi ABRI sebagai kekuatan militer
sekaligus politik praktis penyokong Orde Baru.
Struktur panitia pemilu
diduduki para pejabat pemerintahan, terutama dari Departemen Dalam Negeri.
Saat hari pencoblosan, tempat pemungutan suara (TPS) dijaga ketat polisi dan tentara. Saat itulah, mulai dikenal istilah ”seranga fajar”,
yaitu pemberian uang kepada warga pada pagi hari sebelum datang ke TPS agar
mencoblos partai pemerintah. Dengan semua manuver itu, walhasil Golkar pun
menang telak.
Tujuan Pemilu 1971
sebenarnya baik, yaitu menciptakan kehidupan politik bangsa Indonesia yang
demokratis setelah tragedi politik 30 September 1965. ”Sayangnya, pemilu
direkayasa dengan cara-cara yang justru antidemokrasi. Berbagai aturan dan
tata cara dimanipulasi untuk memenangkan Golkar sebagai mesin politik rezim
Orde Baru. Inilah pseudo
democracy atau demokrasi semu
yang mengelabui rakyat,” kata Anhar, yang saat itu menjadi mahasiswa Jurusan
Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Dalam Pemilu 1971,
beberapa partai masih memperoleh suara cukup lumayan karena mampu
mempertahankan pendukung tradisionalnya.
NU masih punya basis kuat di pedesaan, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan. Parmusi, yang seakan merupakan penjelmaan dari politik eksponen Masyumi, masih berakar di masyarakat Islam perkotaan.
Menang pada Pemilu 1955,
NI justru anjlok suaranya pada 1971. Partai ini menerima tuduhan terkait
PKI—yang dikambinghitamkan dalam Peristiwa 30 September 1965. Basis pendukung
nasionalisnya, terutama di Jawa Timur, Bali, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara,
digerogoti oleh Golkar.
Kemenangan Golkar
dijadikan alat untuk melegitimasi rezim Orde Baru. Manuver politik demokrasi
semu ala Pemilu 1971 lantas dikembangkan oleh Orde Baru untuk pemilu-pemilu
berikutnya, bahkan dengan cara-cara lebih frontal.
”Tak ada pemilu yang
benar-benar demokratis selama Orde Baru. Semua sudah direkayasa dan tidak
mencerminkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya,” kata Anhar Gonggong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar