Pilih
Partai atau Tokoh?
Toeti Prahas Adhitama ;
Anggota
Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Januari 2014
TANYAKAN kepada orang kebanyakan,
mereka memilih partai atau tokoh? Umumnya akan menjawab, mereka memilih
tokoh. Bagi mereka, partai sesuatu yang sifatnya abstrak. Betapa pun hebatnya
ideologi partai dan gencarnya partai-partai itu mengampanyekan visi dan misi
mereka, tetap saja ide-ide yang diajukan tidak terjangkau oleh nalar
kebanyakan kontestan. Tapi ajukan kepada mereka nama tokoh-tokoh partai yang
mereka kenal atau dikenal masyarakat luas, nalar mereka akan menyambung.
Fenomena ini umum berlaku di
negara-negara berkembang. Ini antara lain menjelaskan mengapa acara Mata
Najwa yang mengajukan lima tokoh populer di forum Universitas Sebelas Maret
belum lama ini mendapat sambutan hangat. Selain kelima tokoh memang
memberikan kesan sejuk yang bisa dipercaya, rekam jejak mereka menunjukkan
bahwa mereka peduli terhadap kepentingan rakyat; umumnya tidak menyiratkan
ambisi untuk mendapatkan kekuasaan lebih, apalagi menjadi presiden.
Dalam sedikit waktu yang
tertinggal menjelang Pemilu 2014, kenyataan-kenyataan seperti itulah yang
diharapkan kontestan. Boleh saja kalangan politikus bermimpi tentang ideologi
partai yang muluk-muluk, atau visi dan misinya yang dianggap akan menyejahterakan
rakyat umum, tetapi dalam negara demokrasi yang mengandalkan keampuhan
partai-partai untuk menyatukan keinginan rakyat, yang akan berlaku tetap
pilihan setiap kontestan pada saat mencoblos.
Berulang kali kita dikembalikan
kepada premis bahwa lebih mudah memimpin di negara yang masyarakatnya
berpendidikan maju daripada memimpin di negara yang masyarakatnya terbelakang
dan miskin. Rakyat negara maju lebih bersemangat untuk tetap bekerja keras
karena ingin meningkatkan kesejahteraan mereka; atau paling tidak untuk
mempertahankan kesejahteraan yang sudah mereka capai sejauh itu.
Semangat
semacam itu yang seharusnya kita tiru. Para pemimpin kita yang memiliki
idealisme tinggi mudah-mudahan secara strategis memikirkan bagaimana memberi
motivasi, bimbingan, dan keteladanan agar masyarakat mampu dan mau maju.
Eksekutif
dan legislatif
Mengapa selama ini kita berpikir
bahwa lembaga ekskutif menjadi satu-satunya pusat berpikir dan penggerak
seluruh kegiatan kenegaraan demi pembangunan kesejahteraan rakyat? Pandangan
seperti itu bersifat konservatif. Dalam hal Indonesia, mungkin alasannya
karena umumnya kita berorientasi kepada kekuasaan; antara lain akibat
pengalaman dijajah kekuatan asing selama lebih 350 tahun. Kita cenderung
berpikir bahwa lembaga ekskutiflah pemegang kekuasaan tertinggi yang
menentukan segala-galanya.
Untuk pemilihan umum beberapa
bulan lagi ini konsentrasi kita pun ke sana; sangat heboh dan sangat peduli
pada siapa yang akan menjadi orang nomor satu, yang akan memimpin lembaga
eksekutif. Maka wajar bahwa para caleg tidak mendapat perhatian yang seimbang
dengan capres. Kita tidak terlalu memperhatikan siapa-siapa yang akan duduk di
Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam rangka pemilihan caleg, mungkin perhatian kita lebih tercurah kepada
partai-partai politik mana yang akan memenangi kursi terbanyak, dan
seterusnya.
Mungkinkah partai-partai politik
membangkitkan kesadaran para kontestan betapa besar fungsi perwakilan rakyat
dalam negara demokrasi? Para caleg yang terpilih nantinya bukan hanya menjadi
penampung aspirasi rakyat untuk kemudian diteruskan kepada lembaga eksekutif,
mereka juga menjadi pengawas sikap dan perilaku eksekutif. Karena itu, wajar
kalau para kontestan pun seharusnya memperhatikan siapa-siapa yang akan
mereka pilih sebagai wakil-wakil mereka. Banyak kepala negara di berbagai
negara dilengserkan perwakilan rakyatnya karena tindak-tanduk yang melanggar
fungsi eksekutif. Maka perwakilan rakyat yang berfungsi sakral dan menjadi
simbol moralitas jangan membiarkan anggota-anggotanya menyeleweng dari
fungsinya.
Sayangnya, seperti yang terjadi
akhir-akhir ini, ada segolongan anggota perwakilan rakyat kita yang justru
merusak citra lembaga; misalnya ada yang menyumbangkan kurang dari sepertiga
kemampuannya karena sistem melindunginya; sekalipun banyak yang mumpuni
karena latar belakang pengalaman dan pendidikan yang memadai. Maka dalam
hiruk pikuk pemilu beberapa bulan lagi, sebaiknya partai-partai politik
mengkaji dengan teliti caleg-caleg mana yang akan diusungnya; bukan karena
sekadar mereka kader partai yang setia, hendaknya juga diperhatikan latar
belakang dan motivasinya.
Yang ideal dan terpuji
Di zaman yang berubah demikian cepat,
rumit, dan penuh konflik mengenai gagasan ataupun kemauan, yang kita harapkan
Pemilu 2014 akan menghasilkan tokoh-tokoh idealis yang mungkin saja
mengimpikan utopia, masyarakat yang sempurna. Idealnya, tokoh-tokoh seperti itu
akan menginspirasi dan
menggerakkan masyarakat.
Banyak negara yang hancur dan porak-poranda oleh
perang seperti Jepang, atau yang dahulunya jauh terbelakang karena terjajah
lama, bahkan terjajah ratusan tahun seperti kita, akhirnya toh mampu bangkit
kembali. Andaikata semua pemimpin mampu menginspirasi bangsanya agar mau
memupuk semangat kebangsaan dengan menegakkan kehidupan beretika, tidak ada
yang tidak mungkin diatasi.
Pablo Neruda (1904-1973),
sastrawan Cile pemenang Hadiah Nobel bidang sastra 1971, pernah menulis ‘And so history teaches with her light,
that man can change which exists... and if he takes purity into battle, in
his honour blooms a noble spring...’. Sejarah mengajarkan bahwa manusia
bisa mengubah keadaan; dan bila perjuangannya dilakukan dengan kejujuran, dia
bukan hanya akan menghasilkan keluhuran, namanya pun akan tercatat dalam
sejarah sebagai sumber inspirasi yang luhur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar